Sebagai madzhab paling moderat di antara sekte-sekte ekstrem lain, Ahlusunah berpandangan bahwa bi’tsatu al-anbiyâ’ (terutusnya para nabi) kepada semua makhluk adalah rentetan dari beberapa hal yang jaiz bagi Allah secara akal. Jaiz berarti hal itu tidak memiliki tuntutan sama sekali bagi Allah untuk melakukannya. Bahasa kitab untuk menggambarkan sifat jaiz Allah sebagaimana yang sering dipakai dan kita dengar adalah:
فِعْلُ كُلِّ مُمْكِنٍ اَوْ تَرْكَهُ
“Allah berhak mengerjakan atau meninggalkan apapun perkara yang mungkin”[1]
Bahasa singkatnya, jaiz itu suka-suka Allah. Kalau mau, dia akan mengadakan. Jika tidak, maka tidak. Dua hal ini sama-sama mungkin[2]. Selama hal itu masih berupa perkara mungkin, maka hukum kausalitas yang terkandung dalam sifat jaiznya Allah seperti yang telah disebutkan masih berlaku. Termasuk mengutus para rasul untuk seluruh makhluk. Mengutus para rasul adalah hal mungkin bagi Allah secara akal. Berarti natijah yang ditelurkan dari hal ini adalah mengutus para nabi itu tidak wajib bagi Allah karena mengutus nabi adalah bagian dari perkara yang mungkin, dan tidak ada perkara mungkin bagi Allah yang wajib atau mustahil dilakukan oleh-Nya. Mengerjakan atau meninggalkan perkara mungkin secara akal adalah hak prerogatif Allah sepenuhnya. Demikian itu adalah hukum mengutus nabi ditinjau dari mungkin tidaknya secara akal.
Baca Juga: Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalil Ahlusunah
Ada beberapa dalil baik akli maupun naqli yang menunjukkan bahwa mengutus para nabi itu jaiz (tidak wajib) selain dalil yang telah disebutkan. Berikut salah satu contohnya:
1. Firman Allah yang menceritakan ucapan Nabi Ibrahim, “Ya Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang utusan dari golongan mereka” (Q.S al-Baqarah [02]: 129). Andaikan mengutus para nabi itu wajib, niscaya Nabi Ibrahim tidak akan pernah memintanya.
2. Andaikan mengutus nabi itu adalah hal yang wajib bagi Allah, nisacaya tidak mungkin pernah ada suatu zaman yang kosong dari seorang nabi. Karena meninggalkan perkara wajib adalah hal yang muhal bagi Allah. Padahal ada banyak ayat yang menjelaskan tentang zaman fatrah; zaman ketika Allah tidak mengutus seorang nabi pun berikut dengan jejak-jejaknya di zaman itu. Seperti ayat, “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S al-Mâidah [05], 19)[3]
Badruttamam|Annajahsidogiri.id