Dunia tasawuf (sufi) selalu menekankan kezuhudan dan ketulusan, karena menurut mereka, kezuhudan dan ketulusan menjadi kekuatan bagi keimanan. Maka dari itu, keimanan, kezuhudan dan ketulusan menjadi amat penting bagi manusia di dalam menjalani bahtera kehidupan, sehingga tanpa hal itu kehidupan umat dengan sesuatu yang ia miliki bisa menjadi bahaya. Sebab tak jarang mereka bertikai hanya karena kepentingan nafsu mereka masing-masing.
Baca Juga: Maksud Ungkapan “Apa Kata Yang di Atas”
Kehidupan sufi sebenarnya sudah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, meskipun pada waktu itu istilah tasawuf belum ada. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad menjalani hidupnya dengan penuh kesederhanaan. Makanan Nabi dan keluarganya sehari-hari adalah sepotong roti kering yang terbuat dari tepung kasar, ditambah sebutir atau dua butir kurma dan segelas air putih. Di rumah beliau tidak ada meja makan. Nabi makan duduk di atas tanah. Alas yang dipakai untuk tidur pun hanya sepotong tikar yang akan membekas di pipinya ketika bangun dari tidur.
Suatu hari Nabi keluar ke masjid, lalu bertemu dengan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar. Nabi menanyai mereka:
“Mengapa kalian pergi ke masjid?”
“Untuk meringankan rasa lapar kami.”
“Aku pun ke sini untuk meringankan rasa laparku,” sabda Nabi.
Pada masa perjalanannya, banyak kalangan yang menuduh bahwa tasawuf itu diserap dari filsafat ketuhanan yang diambil dari pandangan teologis agama-agama yang berkembang di Timur Tengah dan India sebelum kedatangan Islam, seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu dan Budha. Jelas tuduhan tersebut tidak benar! Sebab ajaran Islam sendiri sangat kaya dengan ajaran pola hidup sufistik seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh sufi.
Berikut landasan-landasan tasawuf yang tertera, baik di dalam al-Qur’an dan hadis:
1. Dalil Pertama
Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mendorong orang Islam untuk berperilaku tasawuf, seperti dalam Q.S. al-Baqarah ayat 186:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan yang memohan kepada-Ku.”
2. Dalil Kedua
Atau Q.S. Qaf ayat 16 yang mempunyai arti:
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepada dia daripada urat lehernya.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang selaras dengan dua ayat ini.
Adapun hadis yang mendorong untuk bertasawuf itu juga banyak, semisal hadis Qudsi berikut ini.
3. Dalil Ketiga
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan permusuhan-Ku kepadanya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka aku menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar, dan penglihatan yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangan yang dengannya ia memukul, dan menjadi kaki yang dengannya ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permohonannya. Jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi dia.”
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut, sudah jelas bahwa kehidupan sufi itu tergugah dari al-Qur’an dan hadis yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan sahabatnya.
Epilog
Bukti lain yang mengokohkan bahwa tasawuf itu murni ajaran Islam adalah, pertanyaan seseorang kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id (Alam Kunyah Hasan al-Bashri), engkau menjelasakan ilmu ini dengan cara yang belum pernah kami dengar dari seorang pun sebelum engkau. Dari siapa engkau mendapatkannya?” Hasan al-Bashri menjawab, “Dari Hudzaifah bin al-Yaman.”
Sudah jelas bahwa tuduhan jika tasawuf adalah praktek yang bersumber dari filsafat, dan ajaran agama di luar Islam itu ngawur dan tidak beralasan. Mereka hanya memahami jagat tasawuf dari luarnya saja, tanpa tau apa-apa tentang akar dan prinsip tasawuf, sehingga mereka hanya melihat tasawuf sekadar yang terpampang di luar saja.