Sudah di singgung pada tulisan sebelumnya bahwa muktazilah termasuk salah satu firqah tertua dalam Islam yang mempunyai pemikiran menyimpangm dan mempunyai banyak sekte atau cabangnya. Pada artikel sebelumnya juga sudah didiskusikan tentang Muktazilah yang berbasis Al-Washiliyyah, untuk artikel kali ini kami akan sedikit mengajak para pembaca mengenal Muktazilah berbasis An-Nadzamiyyah.
Muktazilah basis An-Nadzamiyyah
Pendiri dari An-Nadzamiyyah sendiri adalah Ibrahim bin Yasar bin Hani’ An-Nadzam. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid tahun 185 H. di kota Basrah. Pada masa remajanya, ia terkenal sebagai seorang yang cerdas dan pandai. Julukan an-Naddzam ini karena pada masa mudanya ia menata tasbih dan menjualnya di pasar Bashra, dan ia meninggal pada tahun 231 H.
Ibrahim bin Yasar an-Nadzam ini telah banyak mempelajari tentang agama Brahmana serta ilmu filsafat, terutama filsafat ketuhanan dan filsafat alam serta dijuluki sebagai seorang penyair sastra yang fasih[1]. Maka tak heran jika pemikiran beliau telah banyak mengandung paham-paham Brahmana dan ilmu filsafat, sekaligus banyak karangannya yang bersebrangan dengan Ahlussunnah wal Jamaah.
di antara beberapa pemikiran Ibrahim bin Yasar an-Nadzam yang sudah masyhur kesesatannya adalah, bahwa ijma’ dan qiyas itu tidak bisa dijadikan hujjah dalam syariat, namun yang hanya dapat digunakan hujjah syariat ialah perkataanya imam maksum yang dua belas. Ia Juga mengingkari sifat i’jaz dari al-Quran dan tidak mempercayai terhadap mukjizat Nabi Muhammad ﷺ.
dari pendapat yang masyhur ini bisa di analisis, selain sebagai seorang teolog Brahmana dan filsuf, Ibrahim bin Yasar an-Nadzam juga nampaknya sudah terkontaminasi dengan pemikiran Syiah Rafidhah.
Pendapat Ibrahim bin Yasar yang menyimpang
- Dalam pembahasan qadar, Ibrahim menyatakan bahwa segala perkara jelek dan perbuatan maksiat itu tidak bisa disandarkan kepada Allah ﷻ. Tapi pendapat ini bertentangan dengan para ashabnya yang mengatakan bahwa Allah itu mampu untuk mentakdirkan seorang hamba untuk melakukan perbuatan maksiat, namun Allah tidak akan melakukannya, sebab hal itu termasuk perkara yang tercela dan Allah mustahil melakukannya.
Menurut Ibrahim, qudrat Allah itu terbagi menjadi dua, yakni qudrat di dunia dan qudrat di akhirat.
Adapun qudrat di dunia: Allah tidak akan berbuat buruk kepada hamba-Nya yang masih ada dunia, dengan arti, bahwa tindakan maksiat itu datangnya bukan dari Allah. Juga dengan berlandaskan, bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Adil, setiap yang bersifatan adil maka tidak akan melakukan perbuatan zalim (mentakdirkan hamba-Nya untuk melakukan maksiat). Allah pasti mentakdirkan sesuatu yang maslahat bagi hamba-Nya dan tidak mungkin melakukan kehendak yang tidak ada kemaslahatannya sama sekali terhadap hamba-Nya.
Sedangkan qudrat di akhirat adalah Allah tidak bisa menambah siksaan para penduduk neraka, dengan arti, kalau Allah sudah menetapkan siksaannya maksiat ini adalah ini, maka Allah tidak bisa menambah siksaan tersebut dengan lebih pedih lagi. Begitu juga Allah tidak bisa mengurangi kepada nikmat-nikmat yang telah dijanjikan kepada penduduk surga, dan Allah juga tidak bisa mengeluarkan satupun penduduk surga yang telah ditetapkan menjadi penduduk surga.
Baca Juga: Telaah Cabang-Cabang Muktazilah
- Allah itu tidak bersifatan iradah secara hakik Ketika disebutkan dalam kitab-kitab bahwa Allah itu punya sifat iradah, maka yang dimaksud adalah Allah sendiri yang menciptkan iradah dan kemunculan iradah itu sesuai dengan Ilmu Allah. Jika Allah bersifat yang berkehendak (muridan) kepada perbuatan hamba, maka maksudnya adalah Allah lah yang memerintahkan hal itu dan sekaligus yang melarangnya.
- Semua perbuatan hamba adalah pergerakan saja. Keheningan adalah gerakan ketergantungan (السكون حركة اعتماد), sedangkan pengetahuan dan kemauan adalah gerakan jiwa (والعلوم والإرادات حركات النفس), namun yang dimaksud gerakan (الحركة) disini bukanlah gerakan untuk sebuah perpindahan, melainkan sebuah prinsip dari suatu perubahan sebagaimana yang dikatakan oleh para falasifah yang membuktikan gerakan secara kualitas, kuantitas, situasi, di mana, dan kapan.
- Ibrahim juga berpendapat bahwa sejatinya manusia adalah jiwa dan ruh, sedangkan tubuh hanyalah alat dan kerangkanya saja. Namun, ia terlalu jumud dalam memahami doktrin ini dan lebih condong kepada pendapat alamiah, bahwa roh adalah substansi yang halus yang terhubung dengan tubuh, menjadi pintu masuk ke dalam hati dengan bagian-bagiannya yang mengalir sebagaimana air dalam bunga, lemak dalam biji wijen, dan kental dalam susu. Ibrahim juga menyatakan bahwa ruh-lah yang memiliki kekuatan, kemampuan, kehidupan, dan kehendak, serta dapat bertindak sendiri, dan kemampuan itu ada sebelum adanya perbuatan.
- Diceritakan dari Imam Ka’bi bahwa Ibrahim mempunyai gagasan pemikiran bahwa setiap perbuatan yang melewati batas kemampuan biasanya, maka perbuatan itu termasuk dari perbuatan Allah dengan melalui kewajiban penciptaan (بإيجاب الخلقة). Artinya, Allah secara alamiah menciptakan batu, jika didorong maka batu itu akan terdorog, dan jika gaya dorong mencapai batasnya, maka batu tersebut akan kembali ke tempatnya. Dalam persoalan hakikat dan hukumnya, beliau mempunyai kerancuan dan doktrin yang berbeda dengan para teolog dan filosof.
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1] Khoiruddin az-Zarkali, al-A’lam lil Zarkali, hlm.43