Semua orang yang berakal meyakini bahwa kematian itu nyata. Mata dan telinga telah menjadi saksi konkrit tentang hal tersebut. Allah berfirman dalam surah Al-A’raf:
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” QS. Al-A’raf. 34
Lalu, bagaimana dengan hadis yang seakan memberi pemahaman bahwa umur bisa bertambah. Sebagaimana hadis berikut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ أَوْ يٌنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturahmi.”
Meskipun hadis pada atas secara zahir mengatakan bahwa umur bisa bertambah, tetapi tetap tidak bisa dijadikan landasan. Sebab hadis tersebut berstatus hadis ahad, lebih-lebih bertentangan dengan nas al-Qur’an.
Maka dari itu, ulama menggiring hadis tersebut pada pemahaman lain:
Pertama: Yang dimaksud dengan bertambahnya umur dalam hadis tersebut adalah bertambah kebaikan dan berkahnya. Kedua: Bertambah atau berkurangnya umur jika dinisbatkan pada hal yang ada di buku catatan malaikat. Misalnya, dalam buku catatan malaikat, umur fulan 55 tahun dan jika ia melakukan suatu kebaikan maka umurnya akan ditambah menjadi 60 tahun. Nah, bertambah umur itu hanya di catatan malaikat. Sedangkan Allah, sudah mengetahui bahwa umur fulan memang hanya 60 tahun. Sebab, pengetahuan Allah tidak mungkin berubah. Allah berfirman:
يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” QS. Ar-Ra’du. 39
Baca Juga; Bijak Menyikapi Kemaksuman Nabi
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa apa yang ada di lauhul-mahfudz itu bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan ilmu-llah itu selamanya tidak akan pernah berubah.
Kesimpulannya, Ahlusunah Waljamaah berpandangan bahwa semua orang yang meninggal sudah sesuai ajal yang Allah tentukan sejak zaman azali. Sekalipun mati sebab dibunuh.
Bedahalnya dengan pandangan al-Ka’by, salah satu pemuka Muktazilah. Ia beranggapan bahwa orang yang mati sebab dibunuh, kematiannya tidak sesuai dengan ajalnya. Sebab pembunuhan tersebut merupakan pekerjaan makhluq, sedangkan kematian itu dari allah. Al-Ka’by menyandarkan pendapatnya pada ayat berikut:
وَلَىِٕنْ قُتِلْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Dan sungguh, sekiranya kamu gugur di jalan Allah atau mati, sungguh, pastilah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) daripada apa (harta rampasan) yang mereka kumpulkan. (Q.S. Ali Imran 157)”
A. Sholahuddin Al Ayyubi | Annajahsidogiri.id
Comments 0