Tidak jarang sebagian masyarakat berpikir tentang Indonesia yang tidak menjadikan Syariat Islam sebagai undang-undang negara, padahal mayoritas penduduk negara Indonesia adalah beragama Islam. Pembahasan tema khusus tentang hal ini sangatlah perlu. Mengingat, diantara penyebab gerakan semacam Hizbut Tahrir yang memaksakan khilafah dengan cara radikal adalah berangkat dari ketidakpahaman mereka akan hal ini.
Namun, tema yang akan kami tulis tidak sampai membahas hukum undang-undang yang terjadi di NKRI. Kami hanya akan menyajikan secara global bahwa hukum Islam, jika di dalamnya terdapat uzur, maka boleh tidak diberlakukan. Semisal Nabi Muhammad yang tidak mengembalikan pondasi kakbah sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dikarenakan orang-orang quraisy baru masuk agama Islam.
لَوْ لَا حَدَثَانُ قَوْمِكَ بِالْكُفْرِ لَأَتْمَمْتُ الْبَيْتَ عَلَى قَوَاعِدِ اِبْرَاهِيْمَ
“Jika bukan karena mereka (Orang-orang Quraisy) baru meninggalkan ajaran kufurnya, maka aku akan menyempurnakan Baitullah sebagaimana pondasi yang dibuat Nabi Ibrahim.”
Hadis ini dijadikan landasan oleh para ulama untuk menunda ajaran syariat, jika menyebabkan orang-orang malah enggan dan tidak mau terhadap agama Islam. Hal itu sebagai strategi untuk mendakwahkan agama Islam agar bisa diterima oleh semua orang; baik dari ras, suku, dan bangsa yang berbeda-beda.
Jika mengaca pada sejarah larangan khamr secara bertahap, bahwa Allah memulai dengan penjelasan tentang bahaya dan manfaat khamr. Kemudian muncul larangan salat bagi orang yang mabuk. Baru pada tahapan berikutnya, Allah melarang minum khamr secara mutlak.
Maka setidaknya ada dua poin yang bisa kita petik dari sejarah di atas. Pertama, Untuk melarang suatu hal, perlu melakukannya sedikit demi sedikit, agar tidak terasa memberatkan. Kedua, Situasi juga menjadi pertimbangan dalam menerapkan suatu hukum, jika kondisi sudah mendukung, maka harus menerapkannya.
Selaras dengan pembahasan ini, ada cerita unik dalam kitab Shahih-Bukhari. Dahulu, Nabi Muhammad membiarkan Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik, yang jelas-jelas memusuhi Nabi dari belakang. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul-Bari Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan beberapa alasan kenapa Nabi Muhammad membiarkan Abdullah bin Ubay bin Salul:
يَأْخُذُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِقَوْلِهِ وَ صَلَّى عَلَيْهِ إِجْرَاءً لَهُ عَلَى ظَاهِرِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ كَمَا تَقَدَّمَ تَقْرِيْرُهُ وَاصْتِصْحَابًا لِظَاهِرِ الْحُكْمِ وَلِمَا فِيْهِ مِنْ إِكْرَامِ وَلَدِهِ الَّذِيْ تَحَقَّقَتْ صَلاَحِيَتُهُ وَمَصْلَحَةِ الْإِسْتِئْلَافِ لِقَوْمِهِ وَدَفْعِ الْمَفْسَدَةِ
“Nabi menerima pendapatnya (Abdullah bin Ubay bin Salul) dan mensalati jenazahnya karena memberlakukan zahir hukum dalam Islam, sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dan melihat pada hukum secara zahir, juga sebagai bentuk memuliakan putranya (Abdullah bin Abdullah bin Ubay) yang sangat baik perangainya, serta adanya kemaslahatan persetujuan bersama kaumnya, dan menolak keburukan yang akan terjadi.”
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id
Comments 0