Meyakini adanya manusia pilihan yang menjadi kekasih Allahﷻ –Waliyullah– merupakan salah satu ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Selayaknya kekasih, seorang Waliyullah tentu memiliki kedekatan khusus antara dirinya dengan Allah ﷻ. Mengenai Waliyullah Allah ﷻ berfirman:
أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus: 62).
Baca Juga; Wali dan Karamah [3/3]
Waliyullah terdiri dari beberapa tingkatan. Mulai dari wali abdal, wali autad, wali nuqaba’, wali nujaba’, sampai wali qutb al-aqthab. Yang mana masing-masing dari mereka sama-sama memiliki satu tujuan, yakni menggapai ma’rifatullah (mengenal Allah ﷻ).
Dalam dunia kewalian, ada fase di mana seorang wali tidak memiliki kendali atas dirinya. Dalam fase ini, Ia banyak melakukan hal-hal ganjil yang agaknya sulit untuk ditolelir, seperti berjalan di tempat umum dalam keadaan telanjang, minum khamr, dan berkelakuan selayaknya orang gila. Wali dalam fase ini dinamakan dengan wali jazdab
Apa itu wali jadzab?
Secara etimologi istilah Jadzab berasal dari kata jadzb yang berarti tarikan atau penarikan. Sedangkan secara epistemologi, Syekh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim dalam al-Kasyf an Haqîqah as-Shûfiyyah (juz. 1, hal. 244) mendefinisikan dengan pengertian berikut:
الجَذْبَةُ هِيَ التَّجَلِّي الإِلٰهِيُّ، وَفِيهَا يَحْصُلُ التَّحْقِيقُ بِالأَسْمَاءِ الإِلٰهِيَّةِ، وَالِاسْتِشْعَارُ بِالِاسْمِ الصَّمَدِ.
“Jadzab adalah tampaknya sifat-sifat ilahi. Ketika dalam kondisi jadzab, akan betul-betul tampak secara nyata sifat-sifat Allah ﷻ dan (seseorang) mampu merasakannya.”
Baca Juga; Buletin Tauiyah 307
Dalam suluk, pertama kali yang dikenal oleh wali Jadzab adalah hakikat Allah ﷻ, kemudian menyaksikan sifat-sifat-Nya, lalu keterkaitan nama-nama Allah ﷻ dengan atsar-atsar-Nya (makhluk-makhluk-Nya), dan pada akhirnya dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini berbanding terbalik dengan jalan para Salikin yang dimulai dari menyaksikan atsar-atsar Allah ﷻ (makhluk-makhluk-Nya), kemudian Tajalli af’al (penampakan atas perbuatan-perbuatan Allahﷻ), kemudian tajalli asma’ (penampakan asma-asma Allah ﷻ), kemudian tajalli sifat (penampakan sifat-sifat Allah ﷻ) yang diakhiri dengan tajalli dzat (penampakan atas kesempurnaan dzat Allah ﷻ)[1]. Ke-berbalikan jalan inilah yang membuat seorang wali jadzab melakukan hal-hal nyeleneh yang diluar kendalinya, sebab kondisi dirinya masih belum siap untuk menyaksikan dzat Allah ﷻ sedang dirinya mendapatkannya.
Bagaimana cara membedakan orang yang melakukan hal aneh karena jadzab dengan yang pura-pura?
Untuk membedakan keduanya kita bisa melihat keadaan dia ketika normal. Jika dalam keadaan normal dia cenderung melakukan hal-hal yang berorientasi pada fisik atau status duniawi maka dapat dipastikan keanehan yang ia lakukan bukan karena faktor jadzab. Lain halnya apabila yang ia lakukan dalam kondisi normal adalah suatu hal yang berorientasi pada akhirat, seperti semakin memperbanyak mendekat pada Allah ﷻ, baik dengan melakukan salat ataupun puasa, maka bisa dipastikan bahwa keanehan yang ia lakukan adalah karena faktor jadzab. Kedua karakter ini sebagaimana pernyataan Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi dalam manifestonya, Zâd al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhâri wa Muslim (juz. 3, hal. 155) perihal menari saat berdzikir:
وَاعْلَمْ أَنَّ الرَّقْصَ فِي حَالِ الذِّكْرِ لَيْسَ مِنَ الشَّرْعِ وَلَا مِنَ الْمُرُوءَةِ، وَلَمْ يُعْذَرْ فِيهِ إِلَّا الْفَرْدُ النَّادِرُ مِنْ أَهْلِ الْأَحْوَالِ وَالْجَذْبِ، وَلَهُ عِنْدَ الْقَوْمِ عَلَامَةٌ يُمَيِّزُونَ بِهَا بَيْنَ مَا كَانَ مِنْهُ عَنْ جَذْبٍ حَقِيقِيٍّ، وَبَيْنَ مَا كَانَ عَنْ تَلَاعُبٍ وَتَلْبِيسٍ عَلَى النَّاسِ.
فَقَدْ قَالُوا: إِنَّ الْمَجْذُوبَ إِذَا كَانَ بَعْدَ الصَّحْوِ يُوجَدُ مُعْرِضًا عَنِ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا، مُقْبِلًا عَلَى ذِكْرِ اللهِ وَعِبَادَتِهِ، فَهَذَا جَذْبُهُ حَقِيقِيٌّ، وَيُعْذَرُ فِي رَقْصِهِ.
وَإِذَا كَانَ بَعْدَ الصَّحْوِ مِنْ تَجَاذُبِهِ وَرَقْصِهِ يُوجَدُ مُقْبِلًا عَلَى الدُّنْيَا، مُتَأَنِّسًا بِأَهْلِهَا، لَا فَرْقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ فِي الْأَحْوَالِ وَاللَّهْوِ، فَهُوَ مُتَلَاعِبٌ كَاذِبٌ فِي دَعْوَى جَذْبِهِ، صَاحِبُ رَقْصٍ وَلَعِبٍ، فَهُوَ مِمَّنِ اتَّخَذَ دِينَهُ هُزُوًا وَلَعِبًا.
“Ketahuilah bahwa menari pada saat berdzikir bukan bagian dari ajaran syariat dan bukan bagian dari akhlak yang baik. Tindakan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk dibenarkan oleh siapa pun kecuali bagi orang khusus dari kalangan ahli ahwal (pemilik spiritual keislaman yang tinggi) dan orang jadzab. Menurut sebagian ulama tasawwuf jadzab memiliki tanda-tanda tertentu yang membedakan antara perilaku jadzab yang hakiki dan tindakan yang berangkat dari main-main dan tipu daya di hadapan manusia. Mereka berkata bahwa orang yang jadzab ketika setelah sadar ia berpaling dari dunia dan menghadap untuk berdzikir pada Allah dan beribadah kepada-Nya, maka perilaku jadzabnya adalah sikap jadzab yang sungguhan, perilakunya menari saat berdzikir dianggap udzur. Sedangkan ketika setelah sadar dari jadzab dan selesai menari saat dzikir, ia lantas condong pada dunia dan merasa senang berjumpa dengan orang yang tergiur dengan dunia, hingga tidak ada perbedaan antara dirinya dan orang yang tergiur dengan dunia dalam perbuatan dan sikap main-mainnya, maka ia adalah orang yang bermain-main dan berdusta atas pengakuannya sebagai majdzub ketika ia menari ketika berdzikir, ia hanyalah bagian dari orang yang menjadikan agamanya sebagai ejekan dan permainan”[2]
Muhammad Aminulloh | Annajahsidogiri.id
[1] Syarhul hikam, juz 2 hlm. 74
[2] Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi, Zâd al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhâri wa Muslim, juz 3, hal. 155































































