Adalah hal yang sudah maklum di kalangan mukmin, bahwa Allah ﷻ ialah sebaik-baiknya Zat yang memberi. Hal itu sudah masuk dalam salah satu Asmaul Husna yang berjumlah 99, yaitu ar-Razzaq; Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki.
Dalam Kitab Suci umat Islam dinyatakan:
وَمَا مِن دَاۤبَّةࣲ فِی ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَیَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلࣱّ فِی كِتَـٰبࣲ مُّبِین
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-Hud [11]: 6)
Namun, fakta itu seakan-akan bertabrakan jika kita melihat kasus lain, yaitu adanya orang yang mati karena kelaparan.
Jika dalam Al-Quran tadi Allah ﷻ sudah menetapkan, bahwa Ia akan menanggung semua rezeki hambanya, lalu mengapa, pada waktu yang bersamaan, kita masih melihat fenomena mengenaskan, yaitu adanya orang mati kelaparan.
Bagaimana kita menanggapi kejanggalan ini?
Hal ini menuntut kita untuk segera membuka kembali lembaran-lembaran kitab tafsir otoritatif, guna tidak salah dalam memahami ayat Al-Quran dengan murni pola pikir kita yang sangat terjangkau.
Baca Juga: Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat (part 2)
Problematika seperti ini sudah pasti telah dibahas oleh mutakallimin sejak tempo dulu. Salah satu mutakallimin yang memberikan jawaban atas permsalahan ini adalah al-Imam Fakhruddin al-Razi Dalam manifestonya, Mafatih al-Ghaib (hal. 193). Beliau menjelaskan, bahwa yang dimaksud kata “ala” pada ayat di atas memang bermakna wajib ataupun lazim, sebagaimana pendapat sebagian ulama, bahwa ada beberapa pekerjaan Allah ﷻ yang bersifat wajib berdasarkan ayat tersebut. Namun, hal itu masih ada embel-embel tergantung pada Ihsan (perbuatan baik) Allah ﷻ, keutamaan-Nya, kehendak-Nya.
Jadi, Allah ﷻ memang menanggung semua rezeki hamba-Nya sebagaimana yang Ia firmankan, namun sangat perlu digarisbawahi di sini, bahwa menanggung tersebut tetap atas kehendak Allah ﷻ sebagaimana konsep awal dalam pemahaman Ahlusunnah, yakni tidak ada suatu pekerjaan yang bersifat wajib bagi Allah ﷻ sebagai Tuhan semesta alam.
Ada satu pendapat mengatakan bahwa kalimat ‘ala’ pada ayat tersebut bukanlah bermakna wajib, melainkan bermakna min (dari), yang ketika diartikan adalah, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dari Allah rezekinya”. Al-Imam Mujahid mengatakan “setiap sesuatu yang datang berupa rezeki itulah dari Allah. Dan terkadang jika Ia tidak memberikan rezeki, maka matilah dalam keadaan lapar”.[1]
Maka dalam konteks ini, janganlah kita hanya fokus pada kata-kata kelaparan, sehingga nantinya akan menggugat mana letak keadilan dan janji Allah ﷻ sebagaimana yang Ia firmankan. Bahkan kita juga perlu melihat pada konsekuensi dari kata tersebut, yaitu mati. Maka jika seorang hamba yang sudah berusaha mencari rezeki ke sana dan ke mari, lalu ia tak kunjung usai dalam menemukan rezeki yang ia usahakan dan kemudian mati, maka kita langsung tetapkan bahwa yang Allah ﷻ takdirkan padanya adalah hamba tersebut mati dalam keadaan lapar. Maka dalam hal ini, ajal telah menjemput seorang hamba tadi. Jika demikian, hanyalah sia-sia belaka usaha hamba tadi, sebab ia telah didatangi ajal yang tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.
Baca Juga: Dilema Karma; Antara Doktrin Hindu dan Ajaran Islam
Allah ﷻ tidak akan pernah lupa hanya untuk masalah kecil seperti memberi rezeki kepada setiap makhluk-Nya. Jikalau alam semesta semegah ini yang meliputi matahari, langit, gunung, bumi, dataran tinggi, dataran rendah, jurang, lautan mampu Ia atur dengan hanya sepatah kata “kun”, lalu apakah mungkin Ia tidak mampu hanya untuk memberi jatah makan untuk makhluk kecil-Nya. Tentu hal ini sudah final di kalangan Muslimin. Jikapun memang ada kasus seperti mati kelaparan yang kita bahas pada kali ini, maka sudah barang tentu di balik itu ada rencana Allah yang lain, yaitu ajal menjemput yang sudah ditetapkan dengan perantara “kelaparan”.
Ada satu kisah inspiratif yang diceritakan dalam kitab-kitab tafsir yang berkenaan dengan surah Hud di atas yaitu;
رُوِيَ أَنَّ مُوسَى عليه السلام عِنْدَ نُزُولِ الْوَحْيِ إِلَيْهِ تَعَلَّقَ قَلْبُ بِأَحْوَالِ أَهْلِهِ، فَأَمَرَهُ اللَّه تَعَالَى أَنْ يَضْرِبَ بِعَصَاهُ عَلَى صَخْرَةٍ فَانْشَقَّتْ وَخَرَجَتْ صَخْرَةٌ ثَانِيَةٌ. ثُمَّ ضَرَبَ بِعَصَاهُ عَلَيْهَا فَانْشَقَّتْ وَخَرَجَتْ صَخْرَةٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ ضَرَبَهَا بِعَصَاهُ فَانْشَقَّتْ فَخَرَجَتْ مِنْهَا دُودَةٌ كَالذَّرَّةِ وَفِي فَمِهَا شَيْءٌ يَجْرِي مَجْرَى الْغِذَاءِ لَهَا، وَرُفِعَ الْحِجَابُ عَنْ سَمْعِ مُوسَى عليه السلام فَسَمِعَ الدُّودَةَ تَقُولُ: سُبْحَانَ مَنْ يَرَانِي، وَيَسْمَعُ كَلَامِي، وَيَعْرِفُ مَكَانِي، وَيَذْكُرُنِي وَلَا يَنْسَانِي.
“Diriwayatkan bahwa ketika Musa menerima wahyu, hatinya menjadi terikat pada urusan keluarganya, sehingga Allah memerintahkannya untuk memukulkan tongkatnya ke sebuah batu, lalu batu itu terbelah dan batu kedua keluar. Kemudian dia memukulnya dengan tongkatnya, lalu terbelah dan keluarlah batu yang ketiga, kemudian dia memukulnya dengan tongkatnya, lalu terbelah, dan keluarlah dari batu itu seekor ulat sebesar biji jagung, dengan sesuatu di mulutnya yaitu makanan, lalu tersingkaplah tabir dari pendengaran Musa, dan dia mendengar ulat itu berkata: Segala puji bagi Dia yang melihat aku, yang mendengar perkataanku, yang mengetahui tempatku, yang mengingat aku dan yang tidak melupakan aku.”[2]
Sebagai penutup, kisah di atas memberikan kita gambaran jelas, bahwa Allah ﷻ tidak akan pernah lupa berbuat baik pada makhluk-Nya. Namun, perbuatan baik-Nya itu bukan karena kewajiban bagi-Nya, melainkan karena belas kasih dan rahmat sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Moch Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id
[1] Sulaiman bin Umar al-Ajili, Futuhat al-Ilahiyyah, juz. 3, hal. 410
[2] Fakruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr, cet. 1994 H., hal. 193
































































