Pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, kerap mewarnai sikap sebagian besar penduduk negara di belahan dunia. Bahkan suatu budaya dan tradisi yang telah menjamur sekalipun bisa menjadi langka di tengah terjangan arus modernisme dan rasionalisme hari ini. Indonesia sebagai negeri yang kaya akan budaya dan mayoritas umat Islam, turut merasakan dampaknya. Banyak masyakat kita, khususnya penduduk wilayah urban, yang cenderung skeptis dan emoh terhadap budayanya sendiri, bahkan terhadap konsep metafisika dalam agama dan yang terkait dengannya –seperti kewalian, wali dan, karamah.
Meninjau fakta di lapangan, sebenarnya banyak masyarakat kita yang masih awam tentang pengertian karamah, wali, dan seperti apa konsep kewalian itu. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membawa mereka pada kesembronoan dalam menstatuskan orang lain sebagai wali. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka bahkan memiliki anggapan bahwa wali dan karamah tidak lain hanyalah fiktif belaka.
Baca Juga; Kemakhlukan Al-Quran Versi Muktazilah dan Liberal
I.Mengenal Wali: Definisi, Dalil Eksistensi, dan Ciri-cirinya
A. Definisi Wali
Dalam ilmu derivasi linguistik, Kata wali (ولي) yang terbentuk dari huruf waw-lam-ya’, menunjukkan arti dekat. Namun, karena “dekat” dalam konteks tempat dan arah tidak bisa diterapkan pada Allah (mustahil), maka maksud dari ungkapan وَلِيُّ اللَّه (“dekat dengan Allah”) adalah; dimana ketika hati seorang hamba telah tenggelam dalam samudera cahaya makrifat kepada Allah ﷻ.[1]
Secara term aqidah dan tasawuf Aswaja, para teolog mendefinisikan wali Allah dengan; orang yang memiliki keyakinan sahih yang berlandaskan dalil atau argumen yang jelas, serta konsisten melakukan amal-amal salih yang sesuai dengan ketetapan syariat[2].
B. Landasan Realitas Wali
Dalil dan bukti realitas wali dalam Al-Qur’an dan hadis sangat melimpah. Berikut diantaranya:
1. QS. Yunus [10]: 62-63
إِنَّ أَوْلِيَاءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut terhadap mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.”
2. HR. Bukhari: 6137
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ).
“Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya. Aku tidak pernah ragu terhadap sesuatu yang Aku lakukan sebagaimana keraguan-Ku terhadap nyawa orang mukmin, ia tidak suka kematian dan Aku tidak suka menyakitinya.”
Baca Juga; Apa Yang Menjadi Dalil Boleh Baca Al-Quran di Kuburan?
C. Ciri-ciri Wali Allah
Dari pemaparan definisi dan dalilnya, Ciri-ciri wali Allah sudah bisa kita ketahui yakni tidak lain adalah ketekunan dalam beribadah, bukan sekedar kesaktian dan bersikap nyeleneh! Dalam Mizânul ‘Amal Imam al-Ghazali mengingatkan:
“وَأَنَّ الْمُحَقِّقِينَ قَالُوا: لَوْ رَأَيْتَ إِنسَانًا يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ، وَهُوَ يَتَعَاطَى أَمْرًا يُخَالِفُ الشَّرْعَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ شَيْطَانٌ، وَهُوَ الْحَقُّ.”
“Dan para ulama muhaqqiqīn berkata: Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air, namun ia masih melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa ia adalah setan. Dan ini adalah kebenaran.”[3]
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa eksistensi wali dan konsep kewalian dalam islam adalah nyata. Dan bahwa wali Allah adalah mereka yang meimiliki konsistensi kuat dalam menjalankan ketaatan kepadanya. Tidak hanya dalam ibadah wajib, mereka bahkan akan beristighfar dan menyesali jika sampai lupa mengerjakan ibadah sunnah. Dari sini kita juga akan memiliki patokan yang jelas dan tidak mudah gegabah dalam menobatkan orang lain sebagai wali.
Muhammad Asrori | Annajahsidogiri.id
[1] فخر الدين الرازي – كتاب تفسير الرازي مفاتيح الغيب أو التفسير الكبير- ص276 – سورة يونس الآيات إلى – المكتبة الشاملة
https://shamela.ws/book/23635/3003#p2
[2] Ibid
[3] ص401 – كتاب ميزان العمل – من منازل السائرين إلى الله تعالى – المكتبة الشاملة































































