Diskusi kita pada tulisan sebelumnya telah mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah, yang hakikatnya tak lain adalah kemurnian dan keutuhan agama Islam itu sendiri, pada akhirnya dalam aspek akidah dirumuskan oleh al-Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi. Karena rumusan kedua imam tersebut sesuai dengan al-Quran dan hadis yang dipahami dan diamalkan oleh para ulama sejak generasi sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan sesudahnya hingga saat ini. Maka ketika para ulama di berbagai belahan dunia membaca rumusan kedua imam itu, mereka pun akhirnya berafiliasi pada kedua imam tersebut dalam aspek akidah, dan kini kita membahas pentingnya bermazhab.
Baca Juga: Mengapa Asy’ariyah dan Maturidiyah?
Artinya, rumusan akidah Asyairah dan Maturidiyah itu tidak mengubah apapun dari apa yang telah ada sebelumnya. Fakta bahwa para ulama Islam di berbagai belahan dunia berlapang dada dan tanpa keraguan mengikuti rumusan akidah Asyairah dan Maturidiyah, tak lain karena sebelum ada rumusan itu, faham mereka dalam akidah memang sudah seperti itu. Rumusan itu hanya membantu memperjelas dan mempertegas terhadap apa yang selama ini mereka yakini, serta menunjukkan dengan dalil yang kuat dan nalar yang logis, bahwa faham yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok sempalan seperti Khawarij, Syiah, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan sebagainya itu tidak benar.
Jika muncul pertanyan: sebelum dirumuskan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, umat Islam dalam akidahnya mengikuti siapa? Jawabannya mengikuti ulama-ulama (mayoritas) sebelum beliau, di mana mayoritas ulama itu menegaskan perbedaan mereka dengan kelompok-kelompok sempalan. Pada zaman sahabat, misalnya, sebelum muncul sekte-sekte yang sesat, umat Islam zaman itu mengikuti (bermazhab pada) ulama sahabat, terutama Khulafa’ur-Rasyidin.
Ketika pada zaman Sayyidina ‘Ali muncul kelompok Khawarij, umat Islam zaman itu ada yang mengikuti (bermazhab pada) Sayyidina ‘Ali, ada yang mengikuti Sayyidina Mu’awiyah, ada yang mengikuti Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari, dan ulama-ulama sahabat yang lain. Namun tidak ada masyarakat yang mengikuti Khawarij, kecuali segelintir saja dari pengikut Khawarij yang sesat itu sendiri.
Pada zaman tabi’in, ketika muncul Muktazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha’, masyarakat Islam saat itu bermazhab kepada Imam Hasan al-Bashri, dan karena itu mereka mengetahui sepenuhnya bahwa Washil dan segelintir pengikutnya itu sesat. Bahkan ketika Muktazilah didukung sepenuhnya oleh penguasa dan dijadikan mazhab resmi negara, masyarakat Muslim pada saat itu justru bermazhab kepada para ulama Ahlussunnah wal Jamaah seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, bukan kepada kadi Muktazilah seperti Ahmad bin Abi Dawud al-Mu’tazili.
Begitulah seterusnya, hingga kelak muncul al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari, di mana beliau menegaskan bahwa pandangannya dalam akidah yang beliau rumuskan itu pada hakikatnya adalah sama dengan pandangan al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan, pemaparan di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa bermazhab, dalam segala bidang, adalah sebuah keniscayaan. Itulah sebabnya mengapa para ulama mengatakan, bahwa salah satu ciri Ahlussunnah wal Jamaah adalah “bermazhab”.
Karena “bermazhab” (pada salah satu mazhab mu’tabar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam) adalah merupakan ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah, maka jika kini muncul segelintir kelompok, organisasi, atau apapun yang mendaku tidak butuh pada mazhab, dan bersikeras merujuk langsung pada al-Quran dan hadis – sedangkan mereka sama sekali tidak mampu berijtihad – maka bisa dipastikan itu adalah kelompok sesat, yang menyimpang dari kesepakatan ulama (ijma’ ulama), dan dengan begitu mereka telah keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah.
Sebetulnya, keniscayaan bermazhab ini merupakan sesuatu yang aksiomatis; bisa kita ketahui tanpa harus berpikir panjang, dan dapat kita saksikan buktinya di sekitar kita. Hal demikian karena Allah SWT. menjadikan pengetahuan dan keilmuan manusia itu bertingkat-tingkat. Mayoritas mereka adalah kelas awam. Di atas itu adalah kelas menengah; mereka berpengetahuan, namun pengetahuannya biasa-biasa saja. Jumlah mereka lebih sedikit dibanding kelas yang pertama. Dan di atasnya lagi adalah kelas elite, di mana mereka adalah orang-orang jenius, para penemu dan pencipta, yang penemuannya kemudian digunakan dan diikuti oleh banyak orang. Jumlah mereka sangat sedikit sekali. Makanya dalam setiap bidang keilmuan kita lihat ada mazhab-mazhab yang diikuti dan dijadikan rujukan oleh banyak orang. Dalam bidang filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Maka dalam agama dan keilmuan Islam juga begitu. Mayoritas umat Islam adalah kelas awam, lebih sedikit lagi adalah kelas berilmu namun tidak sampai pada tingkatan mujtahid muthlaq, dan lebih sedikit lagi adalah mereka yang keilmuannya sangat mendalam hingga sampai pada tingkatan mujtahid muthlaq, dan kelas terakhir yang tertinggi inilah yang kemudian diikuti oleh mayoritas umat Islam, karena sudah teruji manhaj atau metodologi berpikirnya, produk hukum yang dihasilkannya, dan akhirnya semua orang dari berbagai belahan dunia dan berbagai generasi mengakuinya.
Jika tadi sudah diuraikan secara singkat bagaimana umat Islam bermazhab dalam bidang akidah sejak zaman sahabat hingga al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, maka kini dalam fikih dapat sedikit penulis uraikan, bahwa pada zaman sahabat, dalam bidang fikih umat Islam bermazhab pada sebagian kecil sahabat yang memiliki kemampuan berijtihad dan diakui oleh para ulama zamannya, seperti Khulafa’ur-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan lain-lain.
Kemudian pada generasi berikutnya, umat Islam bermazhab pada para mujtahid dari ulama tabi’in, seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, Sulaiman bin Yasar, Nafi‘ maula Ibni ‘Umar, an-Nakha’i, Masruq, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Hingga kemudian muncul para imam mujtahid muthlaq pada generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi, yang kelak mereka menjadi para imam yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas umat Islam hingga hari ini, yaitu al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi’i, dan al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Dengan melihat fakta-fakta di atas, maka untuk bidang-bidang keilmuan dan aspek keagamaan yang lain bisa dikiaskan pada apa yang telah penulis uraikan tersebut. Karena tidak ada satu bidang keilmuan dan aspek ajaran keagamaan pun, melainkan ia pasti terikat oleh keniscayaan bermazhab. Maka di dalam bidang tasawuf, kita mengenal mazhab-mazhab tertentu dan imam-imam tertentu sebagaimana diterangkan misalnya dalam Risâlah al-Qusyairiyah. Dalam bidang hadis kita mengenal enam kitab induk di samping kitab-kitab hadis mu’tabarah yang lain. Di dalam bidang qira’ah kita mengenal tujuh bacaan mutawatir oleh tujuh imam (qirâ’ah as-sab‘), dalam bidang nahwu kita mengenal mazhab Bashrah, mazhab Kufah, dan lain-lain berikut imam-imam mazhab tersebut. Dan begitu seterusnya.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)