Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi pernah mengungkapkan, “Orang awam banyak yang mengabaikan ‘azmul-âm ini, maka hendaknya sering disampaikan kepada orang awam untuk melakukan ‘azmul-âm.” Sudahkah Anda melakukan ‘azmul-âm dalam hidup Anda? Kalau belum, segera lakukan! Karena ‘azmul-âm ini adalah syathrul-îmân (separuh dari iman). Agar tidak sampai menjadi separuh iman yang terlupakan.
Mengenal Apa Itu ‘Azmul-‘Âm
Pendapat yang kuat di dalam Ahlussunah waljamaah iman terdiri dari dua bagian yang tidak terpisahkan, yaitu; iktikad dan amal.
Baca juga: Kenapa Menggunakan Nama “Ahlussunnah”?
Bagian iman yang pertama adalah iktikad. Seorang Mukmin harus meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT itu ada, dan Dia adalah satu-satunya Zat yang berhak disembah. Sedangkan bagian yang kedua adalah amal. Yang dimaksud amal menurut Ahlussunah wal Jamaah adalah ‘azmul-âm.
‘Azmul-‘âm adalah inqiyâd atau menancapkan tekad di dalam hati untuk menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya selagi mampu. Tidak sama dengan Muktazilah yang mengatakan bahwa amal adalah perbuatan seorang Mukmin. Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi yang jauh berbeda seperti yang akan dijelaskan.
Apa Pentingnya ‘Azmul-‘Âm
Sebagaimana dijelaskan di depan, ‘azmul-âm adalah separuh dari iman. ‘Azmul-‘Âm adalah syarat sahnya keimanan. Maka orang yang meyakini bahwa Allah I itu ada beserta segenap sifat-sifatnya, dianggap belum cukup untuk dikatakan sebagai seorang Mukmin, karena masih ada aspek kedua, yaitu amal atau ‘azmul-âm. Dan melaksanakan ‘azmul-âm ini hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan ulama.
Bagaimana mungkin seseorang dikatakan Mukmin hanya dengan meyakini Allah itu wujud tanpa mau tunduk dan patuh pada perintah-Nya?
Bagaimana Tatacara Melakukan ‘Azmul-‘Âm?
Seorang Mukmin dikatakan telah memenuhi kewajiban ‘azmul-âm dengan cara mengatakan dalam hati, “Saya bertekad untuk melaksanakan segenap perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya selama saya mampu.”
Khilaf Mengenai Amal dalam Iman
Tentang masalah iman yang terdiri dari dua bagian; iktikad dan amal, Ahlussunah wal Jamaah sama seperti Muktazilah. Namun terdapat perbedaan pemaknaan yang menyebabkan konsekuensi yang juga jauh berbeda, sehingga jika seorang mukmin belum melakukan azmul-‘am ini maka ia disebut separuh iman yang terlupakan.
Muktazilah mengartikan amal adalah melakukan segenap perintah dan menjauhi segenap larangan (perbuatan), bukan tekad. Artinya jika seorang Mukmin meninggalkan amal, tidak melaksanakan salat misalnya, atau melakukan zina, maka dia dianggap tidak beriman. Dari sinilah lahir pemahaman Muktazilah bahwa murtakibul-kabâ’ir (pelaku dosa besar) bukanlah orang yang beriman.
Hal itu tentu berbeda dengan Ahlussunah wal Jamaah yang mengartikan amal sebagai ‘azmul-âm atau tekad untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan. Maka dalam kasus di atas (seseorang yang meninggalkan salat dan melakukan zina) terdapat penafsilan: Jika dia hanya sekadar meninggalkan salat, dan tetap meyakini bahwa salat ini wajib atasnya, maka dia tetap dihukumi Mukmin. Lain halnya jika dia sudah tidak mau meyakini kewajiban salat, maka saat itu dia sudah dianggap tidak beriman lagi.
Ahlusunah sama dengan Muktazilah dalam syathrul- îmân tapi berbeda dalam kualitas kamâlul-îmân (kesempurnaan iman). Karena amal di sana bukan artinya diamalkan, tapi dalam ashlul- îmân cukup dengan ‘azmul-âm. Pelaku dosa besar selama dia yakin bahwa perbuatannya salah, dia tetap dianggap mukmin. Kalau meninggal, maka orang yang meninggalkan salat tetap dianggap mukmin, selama dia meninggalkan salat karena malas, bukan jâhidan (ingkar pada kewajiban salat).
Kesimpulan
Menurut Ahlusunah ashlul-îmân cukup dengan iktikad dan juga ‘azmul-‘âm. Namun kamâlul-îmân tentunya membutuhkan adanya amal. Iman melahirkan inqiyâd (kepatuhan), tanpa iman tidak akan ada inqiyâd.
Amal itu syathrul-îmân tapi tidak harus diamalkan, tapi cukup ‘azmul-‘âm. Tidak dilaksanakan, tetap mukmin tapi tidak sempurna. Wallâhu a’lam
*Ditranskrip dari ngaji Jauharatut-Tauhid bersama KH. Muhibbul Aman Aly
Comments 0