Jika kita melihat dalam beberapa kitab yang biasa dikaji di pesantren-pesantren seperti Fathul-Qarîb al-Mujîb, Tuhfatuth-Thullâb dan Fathul-Mu’în, kita akan menemukan teks seperti ini;
وَالتَّرَاوِيْحُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً
“Shalat tarawih adalah sunah muakadah dan berjumlah 20 rakaat”.
Baca Juga: Gagal Paham Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Hal senada ternyata juga terdapat di dalam kitab-kitab dari mazhab lain dengan redaksi yang berbeda, seperti dalam Hâsyiyah Ibnu ‘Âbidîn (Hanafi) dan al-Mughnî (Hanbali). Bahkan di dalam Hâsyiyah Ibnu ‘Âbidîn (II/45), Imam Muhammad Amin Ibnu ‘Abidîn (1198-1252 H) menyebutkan bahwa, “Pendapat ’20 rakaat’ itu adalah pendapat jumhur ulama, dan pendapat inilah yang diamalkan oleh semua orang di timur dan di barat”.
Di dalam kitab al-Mughnî (I/833), Imam Abdullah bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali (541-620 H) menyebutkan bahwa, “Orang pertama yang mensunahkan-nya adalah Rasulullah ”.
Hanya di dalam Mazhab Maliki yang berbeda. Di dalam asy-Syarhul-Kabîr lid-Dardîri, Imam ad-Dardîri menyebutkan bahwa, “Shalat tarawih jumlah rakaatnya adalah 36 rakaat”. Itupun meninjau pada ‘Amalu Ahlil-Madînah (hal yang dilakukan oleh penduduk Madinah). Kesimpulannya, jumhur ulama berpendapat bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Sebagian orang terkadang bertanya; apa dalilnya? Nah, dalam tulisan singkat ini, kita akan sedikit membahas kenapa ulama sampai pada kesimpulan itu.
Hadist
Dalam hadis riwayat Sayyidah ‘Aisyah diriwayatkan bahwa, pada suatu malam (bulan Ramadhan) Rasulullah r shalat di masjid, lantas para sahabat ikut shalat di belakangnya. Kemudian di malam-malam selanjutnya semakin banyak sahabat yang ikut shalat. Di malam ketiga dan keempat, para sahabat berkumpul lagi. Ternyata Nabi r tidak keluar untuk shalat bersama mereka.
Ketika subuh, Rasulullah berkata pada para shahabat, “Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian perbuat tadi malam, maka tidak ada yang mencegahku untuk keluar menemui kalian kecuali saya khawatir shalat itu akan difardukan pada kalian.” (HR. al-Bukhari & Muslim)
Dalam al-Fiqhu ‘alâ Madzâhibil-Arba’ah (I/523), Syekh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) menjelaskan bahwa pada waktu itu Nabi Muhammad r shalat berjamaah bersama para shahabat sebanyak delapan rakaat. Kemudian menyempurnakan-nya di rumah masing-masing. Al-Jaziri berkesimpulan, “Dengan ini, jelaslah bahwa Nabi mensunahkan tarawih kepada para sahabat secara berjamaah. Hanya saja Nabi tidak menyempurnakan berjamaah sempurna hingga 20 rakaat”. Kemudian beliau melanjutkan, “Juga telah menjadi jelas bahwa hitungan rakaatnya tidak lantas teringkas menjadi 8 rakaat dengan adanya dalil bahwa mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah masing-masing”.
Hadis yang menjelaskan berapa rakaat yang mereka lakukan adalah hadis dalam Sahih Bukhari riwayat Sayidina Umar yang menyatakan bahwa Sayidina Umar pada waktu itu menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk shalat bersama para sahabat sebanyak 20 rakaat. Dan ini diteruskan oleh Khulafâur-Râsyidûn dan generasi setelahnya tanpa satu pun yang ingkar (Lihat: al-Fiqhu ‘alâ Madzâhibil-Arba’ah, I/523).
Maka dalam Tuhfatul-Muhtâj, Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Hajar al-Haitami (909-974 H) menyebutkan bahwa hal ini telah menjadi Ijmâ’ Sukûtî-nya para shahabat (Lihat: Tuhfatul-Muhtâj bi-Syarhil-Minhâj, VII/330).
Maka untuk lebih mudahnya, para ulama dalam kitab-kitab yang ditujukan untuk Mubtadi’în (pemula) biasanya langsung mengatakan كَمَا فَعَلَ بِهِ عُمَرُ “Sebagaimana dilakukan oleh Sayidina Umar” tentu dengan tanpa melewati nalar seperti tadi. Wallâhu a’lam.
Abdul Muid | Annajahsidogiri.id