Beberapa hal saya temui dalam tulisan Umar Shahab, Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia yang berjudul Dibilang Syiah, Siapa Takut? Tulisan ini terpublikasikan dalam portal ahlulbaitindonesia.or.id. Saya menemukan beberapa tambahan ilmu, terutama dalam mengenai klaim-klaim aneh dari Syiah. Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas dua saja. Semua yang akan saya sebutkan ini, sudah lebih dari cukup untuk mewakili klaim aneh Syiah Indonesia.
Syiah itu Mayoritas, Hanya Saja Taqiyah
Dalam poin pertama, Umar Shahab menganggap banyak kelompok setuju kepada Syiah, hanya saja mereka taqiyah. Ini tertuang jelas dalam pembukaan artikel beliau yang berbunyi:
Salah satu teori yang coba dibangun beberapa kalangan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing di negeri ini ialah, “Tuding lawan atau pesaing Anda sebagai Syiah. Jika orang mulai percaya bahwa dia adalah Syiah maka itu adalah awal kejatuhannya.”
Kendati teori ini masih sangat mentah dan dengan mudah dapat dibantah, tetapi paling tidak telah membuat banyak pihak takut berbicara tentang Syiah dan atau berhubungan dengan orang-orang Syiah. Pada saat Munas MUI di Surabaya tahun 2015 lalu misalnya, banyak ulama anggota MUI yang sesungguhnya tidak sejalan dengan agenda anti-Syiah yang dipaksakan sebagian pimpinan Munas MUI Surabaya, tetapi karena khawatir dicap Syiah atau paling tidak pro-Syiah merekapun lebih memilih diam dan atau malah “setuju” dengan rekomendasi Munas MUI 2015 yang anti-Syiah.
Cuplikan artikel yang berjudul Dibilang Syiah, Siapa Takut?
Dari tulisan tersebut terpampang jelas klaim dari Umar Shahab bahwa banyak ulama yang beridiolagi Syiah atau minimal pro-Syiah tetapi memilih diam, atau malah menyetujui gerakan anti-Syiah, karena khawatir dirinya dicap Syiah atau pro-Syiah.
Begitulah kirnya mereka ingin mengklaim Syiah sebagai kelompok mayoritas, dengan berlindung dalam topeng taqiyyah. Sebagaimana karakter Syiah karakter al-Kulaini yang ‘katanya’ dari maqalah Sayyid Ja’far ash-Shadiq:
التَّقِيّةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
“Taqiyyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyyah”
Mengatakan setuju, padahal sebenarnya tidak, sangat erat kaitannya dengan definisi taqiyyah Syiah yang berbunyi: merahasiakan kebenaran dan berbaur dengan para penentang serta tidak mengusik mereka dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia. Definisi tersebut sangat mudah Anda temukan dalam kitab Tashhihul-I’tiqâd, salah-satu kitab ulama Syiah.
Baca Juga: Lima Kesalahan Umar Shahab dalam Satu Paragraf
Jika kita lihat definisi ini, kita akan juga melihat bahwa Umar Shahab menganggap kebanyakan ulama Indonesia ber-taqiyyah, dengan berkamuflase dengan ulama yang anti-Syiah, dan menyetujui gerakan anti-Syiah, padahal sebanarnya mereka tidak setuju.
Apa keuntungan mengangap banyak ulama ber-taqiyyah?
Kalangan Sunni sudah meyakini bahwa kebenaran berada pada kelompok mayoritas, serta umat Nabi Muhammad tidak akan sepakat dalam kesesatan. Dengan begitu, ajakan Syiah berikutnya, bahwa sebenarnya Syiah itu kelompok muslim mayoritas Indonesia, dan marilah bergabung dengan kelompok mayoritas, karena mayoritaslah yang benar.
Gaung ajakan semacam ini sudah terdengar, saat tirto.id meliput Ahlulbait Indonesia dengan judul berita Ahlulbait Indonesia: Warga Syiah Bukan Minoritas di Indonesia dengan mewawancarai Umar Shahab. Petikan wawancaranya, “Kita merasa Syiah adalah bagian integral umat Islam yang tak terpisahkan karenanya kita merasa bahwa penganut Syiah di Indonesia ini bukan lah dalam tanda kutip, bukan masuk kategori kaum minoritas,” begitu kata Umar Shahab.
Masih menjadi pertanyaan besar ialah atas dasar apa Umar Shahab mengklaim kebanyakan ulama ber-taqiyah? Atas dasar apa beliau menuduh para ulama sebagai Syiah, atau minimal pro-Syiah, hanya seaja ber-taqiyah?
Membenturkan Ahlulbait dengan Sahabat Nabi
Jurus Ahlulbait kerap mereka lontarkan sebagai jurus pamungkas. Mereka sendiri mengklaim Syiahlah sebagai mazhab Ahlulbait, sedangkan Sunni sebagai kelompok yang ‘hanya’ berpegang kepada sahabat Nabi. Pemilahan ini tertulis secara samar dengan kalimat berikut ini:
Pada masa awal itu perbedaan Sunni-Syiah terbatas pada masalah kecenderungan politik di atas, belum melebar ke persoalan-persoalan teologis apalagi fikih. Perbedaan teologis dan kemudian fikih baru mulai setelah umat Islam berakulturasi dengan umat dan budaya luar yang sedikit demi sediit mempengaruhi cara pandang umat Islam terhadap berbagai persoalan. Kaum Syiah yang merujuk kepada Keluarga Nabi (Ahlulbait), setelah Alguran dan Sunnah, menjadikan penjelasan-penjelasan Ahlulbait sebagai sumber utama dalam memahami agama, sedangkan kaum Sunni merujuk kepada Sahabat-sahabat Nabi dan memilih di antara pandangan-pandangan yang berbeda di antara para Sahabat yang di kemudian hari berhasil dirumuskan oleh a-mam Abu Hasan al-Asyari dalam apa yang dinamakan sebagai Itigad Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang teologi dan oleh empat imam utama, Malik, Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad Ibn Hanbal dalam bidang fikih.
Cuplikan artikel yang berjudul Dibilang Syiah, Siapa Takut?
Perlu Umar Shahab ketahui, bahwa Ahlusunnah Waljamaah tidak hanya berdasarkan kepada sahabat saja, seakan anti-ahlulbait. Ini terbukti, banyak sekali rumusan hukum agama yang berdasarkan hadis riwayat ahlulbait. Namun, Sunni tidak membatasi kepada Ahlulbait saja, melainkan menerima pula hadis melalui riwayat Ahlulbait.
Perbedaan Sunni-Syiah bukan terletak pada kecintaan kepada Ahlulbait, melainkan Syiah membenci sahabat Nabi, sedangkan Sunni mencintai sahabat Nabi. Ini terangkai indah dalam sebuah kasidah Sunni:
Baca Juga: Takfir ala Syiah
حُبُّ النَّبِي عَلَی الإِنْسَانِ مُفْتَرَضٌ | وَ حُبُّ أَصْحَابِهِ نُوْرٌ بِبُرْهَانِ
مَنْ گانَ يَعْلَمُ أَنَّ اللهَ خَالِقُهُ | لَا يَرْمِيَنَّ أَبَا بَکْرٍ بِبُهْتَانِ
“Mencintai nabi, diwajibkan kepada segenap insan. Mencintai sahabat Nabi merupakan cahaya berdasarkan dalil. Barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu yang menciptakan mereka, mereka tidak akan menuduh Abu Bakar dengan sebuah kedustaan.”
Mengenai kecintaan Sunni kepada Ahlulbait, tidak perlu disangsikan lagi, lantaran disetiap mukadimah kitab pastilah selawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi, Ahlulbait, sekaligus sahabatnya. Ini menjadi bukti nyata, perihal kecintaan Sunni kepada Ahlulbait.
Juga, jangan kira Sunni hanya berpegang kepada para shaabt Nabi saja. Faktanya, banyak hadis riwayat Ahlulbait yang menjadi pijakan hukum kalangan Sunni.
Muhammad ibnu Romli |Pemimpin Redaksi Annajahsidogiri.id