Dalam studi akidah Islam, para shahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar memahami akidah dari al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah, karena mereka telah mengerti tentang legalitas sifat-sifat yang pantas bagi dzat Allah dan yang tidak pantas bagi dzat-Nya dengan memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Tak heran pada masa Sahabat itu tidak pernah terjadi kontroversi mengenai permasalahan akidah, terlebih permasalahan tentang perbuatan manusia, apakah Allah yang menciptakan atau manusia sendiri.
Perdebatan seputar dzat Tuhan, hakikat sifat-sifat-Nya, dan pembicaraan tentang perbuatan manusia, telah menodai kemurnian agama Yahudi, Nasrani, dan agama-agama sebelum Islam.
Inilah yang menyebabkan agama-agama itu terpecah menjadi pelbagai macam sekte yang saling kontradiksi. Pembicaraan tentang persoalan-persoalan itu pulalah yang mengantarkan mereka ke lembah kesesatan.
Pada masa Rasulullah, sebagaimana yang Imam As-Syahrasytani jelaskan dalam kitab al-Milal wan Nihal, menjelaskan bahwa beliau melarang para sahabat menyoalkan seputar dzat Tuhan dan memperingatkan orang-orang yang berbantah tentang Allah agar memikirkan keagungan Allah, sehingga dapat membangkitkan rasa takut dalam hati mereka.
Baca Juga: Sahabat Nabi Sebagai Komunitas Terbaik
Dalam kitab Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Imam Muhammad Abu Zahrah memiliki statement, meskipun beriman kepada qadar merupakan perkara yang wajib, akan tetapi Rasululah melarang shahabatnya membicarakan seputar qadar, karena dapat menyesatkan akal dan menetaskan banyak pendapat. Demikianlah sikap para shahabat terkait persoalan yang berhubungan dengan akidah, yakni mereka langsung beriman tanpa menanyakannya.
Sedangkan kontroversi terkait persoalan akidah pada zaman shahabat pada dasarnya timbul dari kaum musyrikin dan munafiqin. Abu Zahrah memaparkan bahwa perbincangan mengenai qadar justru muncul dari kaum musyrikin, berlandasan firman Allah yang mengonfirmasikan bahwa benih pemikiran Jabariah muncul dari kaum musyrikin:
سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا لَوْ شَاءَ اللهُ مَا اَشْرَكْنَا وَلَا اَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun…’.” (QS al-An’am: 148)
Baca Juga: Hakikat Ahlussunnah wal Jamaah
Al-Alusy seperti yang Abu Zahrah kutip, menafsirkan QS al-An’am ayat 148 tersebut dengan, “Kaum musyrikin dengan ucapan mereka, ‘jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu apapun,’ menisbatkan perbuatan-perbuatan syirik mereka dengan takdir Allah. Dengan kata lain, Allah-lah yang menghendaki mereka kafir. Mereka ingin membuat hujah bahwa apa yang mereka lakukan merupakan sebuah kebenaran yang Allah ridai.
Mereka, lanjut al-Alusy, menetapkan iradah (kehendak Allah) sama dengan ‘amr (perintah), sehingga dengan demikian mereka akan mendapatkan rida Allah, serta perbuatan syirik dan dosa yang mereka lakukan tidak lain adalah bagian dari iradah Allah. Dengan demikian, perbuatan mereka tentunya benar (masyru’) dan diridai Allah.
Sejurus dengan itu, benih-benih pemikiran Qadariah pada dasarnya juga timbul dari ucapan golongan munafiqin mana kala menghadapi perang Uhud, sebagaimana diabadikan dalam firman Allah:
لَوْ كَانُوْا عِنْدَنَا مَا مَاتُوْا وَمَا قَتَلُوْا
“Kalau mereka tetap bersama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (QS Ali Imran: 156)
Dari keterangan di atas bisa ditarik benang merah bahwa akidah para shahabat merupakan akidah murni, karena para shahabat tidak terpengaruh dengan jurus mabuk kaum musyrikin dan munafiqin yang menyesatkan dan menggoyahkan akidah. Fokus para shahabat pada kurun itu adalah membela dengan sekuat tenaga perjuangan Nabi Muhammad, menyiarkan ajaran Islam, dan melindungi beliau dari serangan dan tipu daya kaum musyrikin, munafikin, Yahudi, dan Nasrani. Alasan lain, selain alasan di muka, mengapa para shahabat tidak mau mempersoalkan hal-hal yang berhubungan dengan dzat dan hakikat sifat-sifat Allah, karena membicarakan hal itu dapat memusingkan pikiran hingga dapat menghambat laju dakwah Islam. Wallahu a’lam
Ahmad Zaini|Annajahsidogiri.id