Ada banyak pemikiran Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi yang membuat saya takjub, di antaranya soal jihad. Saat banyak kelompok hendak mengesankan jihad sebagai sesuatu yang keras; yang hanya berkaitan dengan senjata, kitab Syekh al-Buthi mengingatkan saya untuk kembali ke jalan yang benar: mengartikan jihad dengan semestinya.
Syekh al-Buthi menjalaskan dalam kitab al-Jihâd fil Islâm (2×4.74/But/j/C.01) halaman 19, kebanyakan orang beranggapan bahwa jihad baru muncul setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sebelum hijarah, tidak ada jihad.
Namun, kenyataan berkata lain. Banyak sekali ayat jihad yang tercantum dalam surah ‘yang semua ayatnya’ makiyah, alias turun sebelum Nabi Muhammad hijrah. Salah-satu ayat jihad yang turun sebelum hijrah ialah:
فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS. al-Furqan[25]: 52)
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl[16]: 110)
Keselahpahaman semacam itu, muncul dari benih-benih radikal yang mulai mempersempit pandangan dalam memahami jihad. Pemikiran tersebut, mengambarkan di otak kita, seolah-olah jihad hanyalah perang, tidak lain.
Dengan beragam aneka jihad yang telah disyariatkan semajak Nabi Muhammad di Mekah Syekh al-Buthi dalam kitab yang sama pada halaman 20 mengungkapkan dengan jelas:
وَسَبَبُ هَذَا الَّذِي اسْتَقَرَّ فِي أَذْهَانِ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ أَنَّهُمْ حَصَرُوا الجِهَادَ فِي مَعْنَاهُ القِتَالِيّ ؛ وَلَا شَكَّ أَنَّ مُقَاتِلَةَ المُشْرِكِيْنَ إِنَّهَا شُرِعَتْ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ رَسُوْلِ اللهِ فِي المَدِيْنَةِ فَظَنُّوا أَنَّ الجِهَادَ عُمُوْماً إِنَّمَا شُرِعَ بَعْدَ الهِجْرَةِ .
“Penyebab yang mendorong pemikiran semacam ini terbesit di benak mereka ialah: mereka menyempitkan makna jihad ke dalam makna berperang. Tidak diragukan lagi, perang melawan orang musyrik itu disyariatkan usai Rasulullah hijarah ke Madinah. Lalu, mereka beranggapan, bahwa jihad secara umum disyariatkan setelah hijarah.”
Salah paham semacam ini, bukanlah perkara yang remeh. Dengan menyempitkan makna mulia jihad, secara otomatis dia menghilangkan ciri khas jihad, bahkan melupakan jihad yang paling penting. Beliau menulis:
وَلَقَدْ أَدَّى هَذَا التَّصَوُّرِ إِلَى إِزَالَةِ سِمَّةِ الجِهَادِ عَنْ كَثِيْرٍ مِنْ أَنْوَاعِهِ بَلْ عَنْ أَهَمِّ أَنْوَاعِهِ . إِذْ لَا شَكَّ أَنَّ اَهَمَّ أَنْوَاعِ الجِهَادِ هُوَ ذَاكَ الَّذِي اِسْتَقَرَّ وُجُوْدُهُ مَعَ فَجْرِ الدَّعْوَةِ الإِسْلَامِيَّةِ فِي مَكَّةَ المُكَرَّمَةِ فَكَانَ أَسَاساً لِمَا تَفَرَّعَ عَنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ
“Penggambaran semacam ini mengakibatkan penghapusan kepada ciri khas jihad dari berbagai ragamnya, lantaran tidak ada keraguan bahwa jihad paling penting ialah jihad pada periode awal Islam di Mekah. Jihad ketika itu menjadi asas dari segala cabang setelahnya”
Konon, ketika berada di Mekah, Rasulullah sudah menyuarakan jihad, lantaran jihad memang sudah disyariatkan. Namun, kata jihad di sini sama-sekali tidak mengandung makna perang, dan tidak seorang sahabat pun tergambar dibenaknya, bahwa yang digaungkan Rasulullah ialah perang. Makna jihad seperti inilah yang menurut Syekh al-Buthi merupakan jihad yang paling penting; sebagai asas dari pertumbuhan Islam berikutnya.
Makna Jihad yang Hakiki
Ingatlah baik-baik makna jihad yang benar, sebagaimana diutarakan Syekh al-Buthi. Beliau di dalam Fiqhus-Sîrah, saat membahas seputar sejarah pensyariatan jihad dalam bab Kalimah ‘Âmah ‘anil-Jihâd wa Masyru’iyatihi halaman 185. Beliau mendefinisikan jihad dengan:
أَمَّا مَعْنَى الجِهَادِ : فَهُوَ بَذْلُ الجُهْدِ فِي سَبِيْلِ إِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ وَإِقَامَةِ الاِجْتِمَاعِ الإِسْلَامِي وَبَذْلُ الجُهْدِ بِالقِتَالِ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِهِ .
“Makna jihad adalah: pengorbanan yang serius di jalan Allah, untuk meninggikan agama Allah, serta untuk menciptakan lingkungan yang islami. Pengorbanan yang bersifat perang itu satu macam dari beraneka ragam jihad”
Perang itu memang bagian dari jihad, hanya saja jihad bukan hanya perang. Kita mendalami agama dalam rangka i’lâu kalimatil-Lâh juga tergolong jihad. Lupakah kita dengan dawuh KH Abd. Djalil bin Fadlil yang berbunyi:
اطْلُبْ عُلُوْمًا وَاجْتَهِدْ كَثِيْرًا
“Carilah ilmu sebanyak-banyaknya dan bersungguh-sungguhlah!”
Akankah dengan perkataan itu, Anda berpikir bahwa beliau mengajak berjihad dengan cara berperang? Tentu tidak! Memahami jihad, tidak sedangkal itu.
Masih dalam Fiqhus-Sîrah halaman 186 beliau mengatakan:
وَمِنْ هُنَا تَعْلَمُ أَنَّهُ لَا مَعْنَى لِتَقْسِيْمِ الجِهَادِ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلَى حَرْب دِفَاعِيَّةٍ وأُخْرَى هُجُوْمِيَّةٍ إِذْ مَنَاطُ شرْعَة الجِهَادِ لَيْسَ الدِّفَاعَ لِذَاتِهِ وَلَا الهُجُوْمَ لِذَاتِهِ » إِنَّمَا مَنَاطُهُ الحَاجَةُ إِلَى إِقَامَةِ الاِجْتِمَاعِ الإِسْلَامِي بِكُلِّ مَا يَتَطَلَّبُهُ مِنَ النَّظْمِ وَالمَبَادِئ الإِسْلَامِيَّةِ
“Dari sini, kamu tahu bahwa jihad sama-sekali tidak terbagi pada peperangan bersifat defensif (harb difa’iyah) dan peperangan yang bersifat menyerang (harb hujûmiyah). Syariat jihad tidak menuntut pada penyerangan atau pertahanan itu sendiri, melainkan jihad terdorong untuk menciptakan lingkungan islami yang sesuai dengan sistem islami.”
Baca Juga: Taat Pada Pemerintah
Pernyataan beliau, sebenarnya menjadi pertanyaan besar kepada sebagian kelompok, yang ‘katanya’ ingin membuat Negara Islam, tetapi tidak dengan cara yang Islam. Apakah dengan membangkang pemerintah itu cara yang Islam? Mencaci-maki pemerintah, apakah itu juga cara yang Islam? Lebih lanjut dari itu, ‘azlul-imâm yang zalim, yang kepemimpinannya sah, apakah itu juga metode Islam?
Ada satu kuis menarik yang perlu dilontarkan kepada kelompok kelompok tersebut. Kuis ini berbentuk pertanyaan mengenai pemahaman hadis yang sering mereka bawa saat berorasi mencaci-maki pemerintah. Hadis itu berbunyi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah perkataan yang hak kepada pemimpin yang zalim.” (HR. an-Nasai)
Pertanyaan pertama, bagaimana dia memahami kata jihad? Bila jawaban mereka adalah perang, jangan ragukan lagi kedangkalan pemikirannya. Pertanyaan kedua, bagaimana dia memahami lafal kalimatu-haq (kata yang benar) dalam hadis di atas? Jika mereka menjawab bahwa hadis tersebut menjadi dalil diperbolehkannya caci-maki, perkataan kasar, serta provokasi, tentu jawaban tersebut menandakan akal-pikirannya masih terlalu sempit. Mereka hanya membayangkan ‘sesuatu yang benar’ dengan ‘sesuatu yang kasar’.
Hal inilah yang juga menjadi keresahan tersendiri bagi Syekh al-Buthi. Beliau menuangkan keresahannya dalam kitab al-Jihâd fil Islâm halaman 22:
غَيْرَ أَنَّ هَذِهِ الحَقِيْقَةِ » تَظَلُّ » عَلَى الرَّغْمِ مِنْ وُضُوْحِهَا » مَحْجُوْبَةٌ عَنْ أَفْكَارِ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ .. فَمَا أَكْثَرُ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ أَمَامَهُمْ الجِهَادُ لَمْ يَفْهَمُوا مِنْهُ إِلَّا الجِهَادَ القِتَالِيَّ » وَلَمْ يَخْطُرُ جَذْعُهُ الأَسَاسِيّ هَذَا مِنْهُمْ عَلَى بَالٍ !.. وَكَمْ فِي هَؤُلَاءِ النَّاسِ مَنْ إِذَا ذُكِرَ بِحَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ : « أَفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ» وَظَّفَهُ لِلْجِهَادِ القِتَالِيّ » وَلَمْ يَفْهَمْ مِنْ كَلِمَةِ الحَقِّ فِي الحَدِيْثِ إِلَّا المَعْنَى الزَجَرِي البَاعِثِ عَلَى التَّرَبُّصِ وَالمُنَازَلَةِ وَالقِتَالِ .. مَعَ أَنَّ كَلِمَةَ الحَقِّ هُنَا » وَفِي هَذَا الحَدِيْثِ بِالذَّاتِ لَا تَحْمِلُ شَيْئاً مِنْ هَذِهِ الدَلَالَةِ . بَلِ الحَدِيْثِ فِي مُجْمَلِهِ يَبْرُزُ أَهَمِّيَةَ الصُمُوْدِ بِالكَلِمَةِ اللَّيِّنَةِ أَمَامَ جَوْرِ السُّلْطَانِ وَزَجْرِهِ .
“Makna sejati dari jihad ini tertutupi dengan pemikiran kebanyakan manusia. Dari mereka, kebanyakan saat disebutkan di depan mereka kata jihad, mereka tidak memahami arti jihad kecuali jihad dengan cara berperang. Sama-sekali tidak terbesit pilar asas jihad di benak mereka.
Baca Juga: Etika Suara Rakyat kepada Pemerintah
Berapa banyak dari kalangan mereka, yang apa bila disebutkan hadis, ‘jihad yang paling utama adalah perkataan yang hak kepada pemimpin yang zalim.’ Mereka mengarahkan kata jihad untuk jihad dengan cara berperang. Mereka juga tidak memahami kata perkataan yang benar (كلمة الحق) di dalam hadis itu, kecuali makna caci-maki yang memprovokasi untuk melakukan pertengkaran dan peperangan, padahal kalimatul-haq di dalam hadis ini sama-sekali tidak mengarah ke sana. Secara keseluruhan hadis tersebut menekankan keharusan tabah dengan perkataan yang lemah-lembut di hadapan pemimpin yang kejam.”
Tentu, keterangan Syekh al-Buthi tersebut sangat cukup menjadi tamparan keras bagi lisan yang dengan mudah mencaci-maki seseorang. Perkataan lemah-lembut, khususnya kepada pemimpin, tetap diutamakan, meski memiliki kebijakan di luar batas.
Ajaran seperti ini, bukanlah pemikiran Syekh al-Buthi saja. Allah menuangkan ajaran semacam ini dalam kisah Nabi Musa dengan Firaun. Ketika Allah memerintah Nabi Musa dan Nabi Harun menghadap Firaun, Allah masih menambah dengan firman-Nya:
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia (Firaun) ingat atau takut” (QS. Taha[20]:44)
Kenapa Nabi Musa masih tertuntut untuk mengatakan qaulan-layyina? Apakah Nabi Musa masih lemah, padahal kita tahu sendiri kisah beliau bila sekali menampar orang, kematian bisa saja menjemput? Apakah Firaun itu pemimpin yang adil? sehingga Nabi Musa harus bertingkah sopan. Apakah syariat zaman Nabi Musa lebih longgar dari syariat zaman Nabi Muhammad, sehingga kepada pemimpin kerajaan yang dengan terang mengaku tuhan, diharuskan sopan?
Baca Juga: Memahami Jihad dengan Benar
Perlu Anda ketahui, Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus-Sîrah halaman 52 sampai 53 menerangakan bahwa syariat ketika zaman Nabi Musa terkenal keras, menyesuaikan kehidupan Bani Israel.
فَقَدْ بُعِثَ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ مَثَلًاً إِلَى بَنِي إِسْرَائِيْلِ وَكَانَ الشَأْنُ يُقْضِي بِالنِّسْبَةِ لِحَالِ بَنِي إِسْرَائِيْلِ إِذْ ذَاكَ أَنْ تَكُوْنَ شَرِيْعَتُهُمْ شَدِيْدَةٌ قَائِمَةٌ فِي جُمُوْعِهَا عَلَى أَسَاسِ العَزَائِمِ لَاالرّخَص . وَلَمَّا مَرَّتْ الأَزْمِنًةُ وَبُعِثَ فِيْهِمْ سَيِّدُنَا عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَحْمِلُ إِلَيْهِمْ شَرِيْعَةً أَسْهَلَ وأَيْسَرَمِمًّا كَانَ فَقَدْ بُعِثَ بِهِ مُوْسَى مِنْ قَبْلُ ٠ وَانْظُرْ فِي هَذَا إِلَى قَوْلِ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ عِيْسَى عَلَيْهِ السًّلَامِ وَهُوَ يُخَاطِبُ بَنِيْ إِسْرَائِيْل :
“Nabi Musa diutus kepada kalangan Bani Israel, dan keadaan ketika itu menuntut—dengan meninjau keadaan Bani Israel—untuk menerapkan syariat yang tegas, yang berdiri atas asas ‘azimah, tanpa rukhsah.
Ketika zaman berganti, yakni ketika terutusnya Nabi Isa, beliau membawa syariat yang mudah dan ringan dibandingkan dengan ketika zaman Nabi Musa”
Perkataan beliau mengenai syariat Nabi Musa lebih keras ketimbang nabi setelahnya terbukti jelas dengan firman Allah, yang berbunyi:
وَمُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَلِأُحِلَّ لَكُم بَعْضَ ٱلَّذِى حُرِّمَ عَلَيْكُمْ ۚ وَجِئْتُكُم بِـَٔايَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُونِ
“Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Ali Imran[3]: 50)
Dengan pemaparan di atas, sangat jelas bahwa syariat Nabi Musa jauh lebih keras daripada syariat yang berlaku sekarang. Lantas, bila konon Nabi Musa saja dituntut untuk mengajak dengan perkataan yang bagus, bagaiamana dengan kita?
Kembali kepada kisah Nabi Musa di atas. Allah menyuruh Nabi Musa untuk mengajak Firaun dengan perkataan yang lemah-lembut. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juz 11 halaman 200 menjelaskan:
فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : { فَقُوْلَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا } دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ الأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ وَأَنَّ ذَلِكَ يَكُوْنُ بِاللَّيِّنِ مِنَ القَوْلِ لِمَنْ مَعَهُ القُوَةُ وَضَمِنَتْ لَهُ العِصْمَةُ أَلَّا تَرَاهُ قَالَ : { فَقُوْلَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا } وَقَالَ : { لَا تَخَافَا إنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى } فَكَيْفَ بِنَا فَنَحْنُ أَوْلَى بِذَلِكَ [اِلَى أَنْ قَالَ] قُلْتُ : القَوْلُ اللَيِّنُ هُوَ القَوْلُ الَّذِي لَا خُشُوْنَةَ فِيْهِ [اِلَى أَنْ قَالَ] فَإِذَا كَانَ مُوْسَى أَمَرَ بِأَنْ يَقُوْلَ لِفِرْعَوْنَ قَوْلًا لَيِّنًا فَمَنْ دُوْنَهُ أَحْرَى بِأَنْ يَقْتَدِي بِذَلِكَ فِي خِطَابِهِ وَأَمَرَهُ بِالْمَعْرُوْفِ فِي كَلَامِهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى : { وَقُوْلُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا } [ البقرة : 83 ]
“Firman Allah yang berbunyi, ‘berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut,’ itu menjadi dalil pembolehan amar makruf nahi mungkar, dengan cara perkataan yang lemah lembut bila ditujukan kepada orang yang memiliki power dan memiliki pelindung. Apakah kamu tidak melihat, firman Allah, ‘berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut,’ (QS. Taha[20]:46) dan firman Allah, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat,’ (QS. Taha[20]:46) bagaimana dengan kita. Kita lebih layak untuk melakukan seperti itu (berkata yang lemah-lembut).
Baca Juga: Salah Kaprah Jihad
Saya (Imam al-Qurthubi) berkata: al-qaul al-layyin adalah perkataan yang tidak kasar sama-sekali…. Apabila Nabi Musa diperintah untuk berkata lemah-lembut kepada Firaun, bagaimana dengan orang yang derajatnya lebih rendah derajatnya ketimbang Nabi Musa, tentu lebih layak untuk meneladani beliau, alias berbicara dan memerintah dengan cara perkataan yang baik. Allah berfirman, ‘bertuturkatalah yang baik kepada manusia,’ (QS. al-Baqarah[2]:83)”
Tentu dari sini, sangat jelas, bangaimana sopan-santun Nabi Musa dalam berdakwah kepada raja pada zamannya. Beliau mengesampingkan keperkasaannya saat berhadapan dengan pemimpin.
Aneh sekali, bila sekarang ada yang berorasi penuh caci-maki kepada pemerintah, dengan dalil ini merupakan al-qaul al-haq. Apakah dia merasa lebih tahu, dan merasa lebih mulia derajatnya daripada Nabi Musa?
Semoga Allah mengampuni dosa orang yang mempersempit makna jihad dan al-qaul al-haq. Amin!
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri,id
Comments 0