Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman, menyatakan, sebagaimana kutipan Tim Karya Ilmiah 2008 dalam buku Aliran-aliran Teologi Islam, “Kebutuhan manusia terhadap agama berawal dari ketakjuban mereka terhadap fenomena keteraturan dan keunikan alam semesta. Dengan pikiran dan perasaan yang ia miliki, manusia berusaha memahami dan memecahkan fenomena tersebut yang akhirnya memunculkan rasa tentang yang gaib, yaitu ada kekuatan besar yang mengatur alam semesta dan kehidupan mereka yang hakikatnya tak mampu dijangkau oleh akal pikiran.”
Baca Juga: Allah “Wajib” Wujud
Begitulah kata Otto yang sejatinya manusia memang butuh pada Tuhan yang menciptakan alam semesta. Alasannya, sebagaimana kursi pasti ada yang menciptakan, alam juga begitu, pasti ada yang menciptakan. Maka dari itu, dunia serta isinya tak luput dari genggaman Sang Pencipta.
Golongan Ateis memandang akal adalah segalanya. Mereka menuhankan akal dan berdogma bahwa setiap sesuatu yang tak bisa diolah oleh akal akan keberadaannya, maka sesuatu tersebut tidak ada. Seperti itulah penilaian mereka terhadap Allah, Sang Maha Pencipta, yang wujud-Nya tak nampak oleh mata. Hal ini disebabkan kaum Ateis terlalu ceroboh dalam mengaplikasikan akal sehingga memasuki zona yang tidak mampu dijangkau oleh akal.
Mengapa kaum Ateis lebih memprioritaskan akal pada semua perkara termasuk perkara ketuhanan? Pakar perbandingan agama abad V Hijriah, Imam as-Syahrastani telah memecahkan pertanyaan ini. As-Syahrastani menjelaskan bahwa kaum Ateis menganggap segala fenomena yang terjadi di alam, baik bersangkutan dengan tuhan atau makhluk, masuk akal atau tidak, pasti memiliki penafsiran secara materialis. Sebab materi tidak mungkin diciptakan dan tidak mungkin rusak. Paham ini telah menjamur di kalangan ilmuan sehingga mereka berkesimpulan bahwa segala sesuatu tercipta dari materi.
Untuk meluruskan dogma serampangan mereka, Imam al-Ghazali memberikan pemahaman bahwa manusia tidak mungkin dapat mengetahui keberadaan Tuhan dengan akal. Jika mereka terlalu memaksakan diri untuk mengungkap hal itu, maka akan menyebabkan dirinya masuk pada lubang kesesatan bahkan kekafiran.
Baca Juga: Mengintip Sejarah Pejuang Akidah dari Masa ke Masa #1
Barangkali dalam konteks ini, cukup relevan jika penulis mengutip Imam al-Ghazali yang memberi contoh sebagai pembuktian akan kelemahan manusia untuk memikirkan Zat Tuhan. Beliau mencontohkan pada ketidakmampuan manusia memandang langsung keberadaan matahari. Manusia hanya bisa mengetahui keberadaan matahari dengan pengaruh sinarnya yang menerpa bumi. Begitu pula dengan Tuhan, manusia tak bisa langsung memandang Zat-Nya yang mulia, melainkan dengan melalui ciptaan-Nya yang berada di dunia ini.
Masih selaras dengan perumpamaan di atas, Imam al-Ghazali memberikan gambaran pada udara yang hadir menyelimuti bumi. Andai kata angin dengan jumlah yang tak terbatas ini dapat dilihat yang selanjutnya ia memiliki warna, maka manusia tak akan nampak pada apa pun.
Dari dua contoh di atas, Imam al-Ghazali ingin menjelaskan akan ketidakmampuan makhluk mengetahui Tuhannya melalui akal. Memang keberadaan-Nya tak bisa dikasat oleh mata, tetapi pada hakikatnya, alam beserta isinya ini sebagai bukti akan eksistensi Tuhan.
Ghazali | Annajahsidogiri.id