Baca Artikel Sebelumnya
Kehadiran definisi ilmu yang baru membuat seseorang rancu dalam menentukan mungkin atau tidaknya sesuatu, tidak terkecuali para tokoh cendikiawan Muslim yang terpengaruh oleh Barat, seperti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Husain Haikal, Farid Wajdi, Musthafa al-Maraghi dan para tokoh liberalis muslim lainnya. Mereka membawakan definisi ilmu versi Barat tersebut ke dalam akidah Islam yang sangat erat dan dominan dengan hal ghaib dan mistis. Akibatnya, banyak nas qath’i yang diingkari, seperti mukjizat para Nabi, keberadaan malaikat, setan, jin dsb.
Mungkin mereka melakukan itu sebagai respon kepada Barat yang menuduh Islam sebagai agama yang tidak rasional dan jauh dari kata ilmiyah. Namun kebablasan hingga mengiyakan konsepsi Barat dan banyak merugikan Islam itu sendiri. Dengan bahasa lain tujuannya baik, tapi caranya salah. Hal ini sebagaimana yang dialami Haikal Husain dalam bukunya yang bertajuk ‘Hayatu Muhammad’. Dalam kitab tersebut, Husain Haikal berupaya untuk menerjemahkan kehidupan Nabi Muhammad SAW secara ilmiyah. Akibatnya ia melepaskan kehidupan Nabi Muhammad SAW dari hal-hal yang tidak ilmiyah dalam perspektif Barat, seperti mukjizat dan khawariq al-adah (di luar kebiasaan). Menurut Husain Haikal, kehidupan Nabi Muhammad tidak lebih dari mukjizat al-Qur’an saja. Kehadiran buku tersebut menjadi kontroversi di kalangan para cendikiawan muslim Mesir pada waktu itu. Anehnya, syeikh Musthafa al-Maraghi, syeikh al-Azhar pada waktu itu, menyambut hangat kehadiran buku tersebut dan memberikan apresiasi.
Baca Juga: Liberalisme Berkedok Kebebasan Berpikir
Al-Buthi menolak keras buku Husain Haikal tersebut, al-Buthi mengatakan: “Buku Husain Haikal telah mendapatkan sambutan dari syeikh al-Maraghi, dan disebarluaskan oleh Farid Wajdi sebagai upaya pembaharuan pemahaman Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW yang dikaji secara ilmiyah, meskipun upaya tersebut meniscayakan ia ingkar pada nas-nas al-Qur’an dan hadis. Menurutnya, akal tidak dapat membenarkan hal-hal ghaib, khawariq al-adah, dan mukjizat meski telah disebutkan dalam nas-nas mutawatir, seakan-akan ilmu hanya didapatkan ketika engkau mengingkari sesuatu yang tidak terjadi menurut inderawi dan perasaanmu”.
Menurut al-Buthi, menerima mukjizat al-Qur’an, tetapi di waktu yang sama mengingkari mukjizat lain, merupakan kerancuan berpikir dan kesalahan yang fatal. Hal ini karena kepercayaan kita terhadap mukjizat para Nabi berdasarkan al-Qur’an itu sendiri.
Para ulama mutakallimin memasukkan mukjizat ke dalam hukum Jaiz Aqli (mungkin secara akal) dan Mustahil Adi (tidak mungkin secara kebiasaan). Menurut mereka hukum akal adalah suatu pertimbangan akal atas mungkin atau tidaknya suatu pekerjaan bagi Allah SAW. Dengan demikian, yang menjadi barometer adalah kemungkinan itu sendiri ketika dikaitkan dengan sifat qudrah Allah SWT. Misal, api tidak bisa membakar. Menurut literatul ilmu kalam, sifat api yang dapat membakar adalah jaiz aqli sekaligus mustahil adi. ini artinya, akal dapat membenarkan seandainya api tidak dapat membakar, meskipun menyalahi kebiasaan hukum kuasalitas (sebab musabbab). Segala mungkin atau tidak sesuatu tidak bisa diukur oleh panca indera yang selalu menyaksikan terjadinya kebiasaan, tetapi dipertimbangkan oleh akal yang lepas dari pertimbangan kebiasaan. Pertimbangan ini juga dipengaruhi oleh keyakinan bahwa Allah SWT adalah Zat pencipta segala sesuatu, semua hukum alam yang terjadi tak lain karena murni kehendak Allah SWT, tak terkecuali sebab akibat.
Berbeda dengan hal itu, menurut epistemologi Barat, api tidak bisa membakar adalah suatu yang mustahil terjadi. Hal ini karena tidak dapat dibenarkan oleh panca indera dan tidak memiliki nilai epistemologis. Jadi, mungkin atau tidaknya sesuatu menurut Barat lebih cenderung dipertimbangkan oleh panca indera dari pada akal. Ilmu seakan menjadi suatu aktivitas panca indera bukan akal. Tentu ini pemikiran yang rancu dan sangat dangkal.
Bahrul Widad | Annajahsidogiri.id