Akhir-akhir ini rebana menjadi alat dakwah yang mempersatukan umat. Sudah begitu banyak majelis salawatan dan maulidan dikagumi oleh semua kalangan masyarakat di setiap daerah. Dimulai dari Habib Syekh as-Seggaf yang pendukungnya terkenal dengan Syekher Mania, Majelis Rasulullah yang dirintis oleh al-Marhum Habib Mundzir al-Musawa, Riyadlul Jannah, Ar-Ridhwan, Nurul Musthafa, dan banyak lagi lainnya.
Baca Juga: Kumandang Syair Sebelum Shalat
Rebana di Indonesia ini sudah sangat sesuai dengan ketentuan syariat, apalagi digunakan sebagai alat dakwah untuk mempersatukan umat, agar mereka senantiasa membaca salawat kepada Rasulullah e. Tentu, pahala yang didapatkan akan menjadi berlimpah. Karena orang yang mengajak kepada kebaikan (salawat) akan mendapat pahala sebagaimana orang yang membaca salawat.
Namun, apakah rebana dianjurkan dalam Islam? Jawabannya adalah iya. Hadis dari Sayyidah Aisyah Radiyallu anha menjelaskan:
“Siarkanlah pernikahan ini, dan laksanakanlah masjid-masjid, serta pukullah rebana dalam acara tersebut”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dari hadis ini, para ulama sepakat akan kebolehan menabuh rebana. Imam at-Tirmidzi dan Ibn Hibban juga meriwayatkan: “Bahwasannya Nabi Muhammad ketika pulang ke Madinah dari sebuah peperangan, didatangi oleh seorang gadis berkulit hitam, kemudian gadis itu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar apabila Allah telah mengembalikan engkau dari medan perang dengan selamat, aku akan memukul rebana di depanmu, maka Rasulullah bersabda kepadanya: Kalau engkau memang bernadzar seperti itu, laksanakanlah nadzarmu”.
Rebana Boleh Dimainkan Setiap Saat
Di tengah semakin semaraknya acara festival rebana yang diselenggarakan di beberapa daerah. Kemudian ada kaum Wahabi menentang. Mereka berdalih bahwa acara tersebut tidak sesuai dengan hadis yang menjelaskan bahwa rebana hanya khusus dalam acara pernikahan dan penyambutan saja. Maka, kita bisa bantah dengan argumen berikut ini:
Abi Yusuf, pengarang kitab Fatawi Hindiyah, pernah ditanya tentang rebana: Apakah dimakruhkan di selain pernikahan? Beliau menjawab : “Tidak dimakruhkan.” (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352). Juga Imam al-Ghazali dalam kitab Zawajir menerangkan: “Bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut hari raya, menyambut kedatangan, dan setiap momen kebahagiaan.” (Zawajir 2/291).
Sementara, jika ada yang protes rebana khusus bagi wanita saja, karena dalam hadis penabuh rebana adalah shahabat wanita. Maka Imam Subki menjawab, bahwa pendapat yang mengkhususkan bagi wanita adalah lemah, dan dikuatkan dari kitab Idlahud Dalalah (halaman 44-45), “Menabuh rebana hukumnya boleh secara mutlak walaupun dengan alat jalail (rebana khas Arab), dan ini sudah jelas kehalalannya dari keharamannya serta tidak ada bedanya antara yang menabuh laki-laki dan perempuan”.
Namun, meski demikian ada batasanbatasan syariat yang perlu diwaspadai. Seperti menimbulkan fitnah ketika kaum wanita menabuh rebana, rebana difungsikan sebagai pembukaan acara maksiat, dan semacamnya.
siat, dan semacamnya. Nah, dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa dakwah dengan rebana jelas diperbolehkan. Karena dengan cara dakwah seperti inilah, masyarakat bisa tertarik untuk terus membaca salawat kepada Nabi Muhammad.
Bagus Zuhdi | Annajahsidogiri.id
Comments 0