Mengenal hak-hak wanita dalam Islam: Pendekatan konsep yang benar.
Dalam mahakaryanya Syekh Ramadhan al-Buthi terdapat penjelasan secara spesifik hak-hak wanita dalam agama islam, seperti hak untuk berdagang, menjalankan hartanya atau berinvestasi dll. Tentunya beliau melakukan pendekatan melalui dalil-dalil nash dan sejarah yang ada. Toh, kalau pun ada keterangan atau data fakta bahwa di salah satu daerah yang dikuasai oleh pemerintahan Islam terdapat pengekangan terhadap wanita berarti itu terpengaruhi oleh budaya daerah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali dalam kitabnya “Qadaya Al Mar’ah baina Al Taqaalid Al Raakidah wa Al Wafidah” menuliskan:
Sesungguhnya di sana (di dalam sebagian masyarakat muslim) ada dogma-dogma yang dibuat oleh manusia dan bukan dibuat oleh Tuhan yang lama kelamaan dogmadogma itu menjadi budaya dan aturan sosial bagi perempuan, dan dogma dogma tersebut bahkan melebihi kezaliman-kezaliman bangsa jahiliyah sebelumnya” (Muhammad Al Ghazali, 2005: 16).
Jadi sebenarnya diskriminasi terhadap kaum hawa yang terjadi di Islam bukan berasal dari syariat Islam itu sendiri namun dari budaya dan adat yang masih dipelihara sebagian pemeluk Islam. Dan Islam sebenarnya punya misi merubah adat dan budaya diskriminatif terhadap kaum perempuan ini dengan berbagai syariat yang menyamakan derajat perempuan dan laki-laki.
Dalam kitab Yugholithunaka Idz Yaquluun, diterangkan bahwa ketika perempuan-perempuan Eropa dan Amerika baru merasakan kebebasan dalam lapangan kerja, pemberian jam kerja yang proposional, gaji yang memadai, berkesempatan menikmati pendidikan, dan boleh menggunakan hak pilih dalam politik yaitu kira-kira sekitar tahun 1830-1840, Islam jauh sudah lebih dulu membebaskan kaum perempuan dari perbudakan, memberi kesempatan bekerja, melegalkan hak kepemilikan harta, hak waris, ikut serta dalam pendidikan, dan berhak atas aktifitas politik dan dakwah.
Anggapan bahwa perempuan hanya mengurusi rumah tangga ternyata sudah didobrak oleh Islam sejak permulaannya, terbukti isteri Rasulullah SAW, Khadijah binti Khuwailid ra. yang merupakan Perempuan dari delapan puluh satu saudagar kaya di jazirah arab, yang bahkan Nabi sendiri pernah bekerja padanya.
Dalam bidang pendidikan sudah tidak terhitung banyaknya tokoh-tokoh intelektual muslim yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan (lihat lengkap di Mar’ah Baina Takrimil Islam Wa Ihanatil Jahiliyyah). Salah satunya adalah Al Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa (Kebanggaan kaum wanita) yang merupakan guru dari Imam Syafi’I, salah satu pendiri madzhab yang empat. Abu Hayyan ‘Ali bin Muhammad bin al-‘Abbas at-Tauhidi al-Baghdadi mencatat setidaknya ada tiga nama perempuan yang menjadi guru Imam Syafi’I yaitu Mu’annisat Al Ayyubiyah (puteri al-Malik al-Adil saudara Shalahuddin al-Ayyubi) Syamiyat Attaimiyah, dan Zainab puteri sejarawan Abdul Lathif al-Baghdadi.
Dalam bidang politik, Al-Qur’an sebagai pedoman utama Islam sudah lebih dulu mengakui hak politik perempuan dibanding bangsa Barat, seperti yang diuraikan di surat Al-Mumtahanah ayat 12 tentang masalah baiat para perempuan kepada Nabi SAW.
Selain itu sejarah sudah membuktikan tentang adanya Sultanah di dalam kerajaan Islam seperti Sultanah Sajarat, yang memimpin Mesir melewati masa transisi dari Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamalik.
Wanita yang Ikut Berperang dalam Perspektif Islam
Sudah jamak kita ketahui bahwa pada masa Rasulullah banyak sahabat wanita yang ikut andil dalam peperangan. Tentu data fakta tersebut banyak menuai sorotan dan kontroversi, mengingat para dedengkot kaum liberal menjadikannya tendensi bahwa mereka adalah feminisme sejati sehingga tidak menutup kemungkinan ideologi persamaan gender antara pria dan wanita dipraktekkan secara sempurna dalam agama Islam. Lantas benarkah anggapan kaum liberal tersebut?
Imam ath-Thabarani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa saat ada seorang wanita yang ingin mengikuti perang, Rasulullah menolak dengan tegas. Ternyata wanita itu menjelaskan bahwa ia hanya akan membantu mengobati prajurit yang terluka di medan pertempuran kemudian Rasulullah memperbolehkan dan menjelaskan bahwa itu sunah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ummu Kabsyah. (lihat al-Kabir Wal-Ausath)
Meninjau hadis tersebut, berarti peran wanita dalam peperangan bukanlah sebuah pelanggaran Batasan wanita dalam Islam, melainkan sebuah kesunnahan yang beroleh pahala apabila melakukan. Dalam al-Quran juga ditegaskan:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Lantas mengapa Rasulullah melarang untuk ikut terjun langsung ke peperangan? Penyebabnya tentu karena wanita tidak memiliki keahlian dalam berperang sehingga beliau takut mereka terbunuh di medan perang. Beliau sangat melindungi betul kaum wanita sehingga prajurit Islam sendiri dilarang membunuh wanita dalam peperangan. Hal itu juga dibuktikan dengan redaksi hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah sudah menegaskan bahwa jihad-nya seorang wanita cukup dengan umroh dan haji. Pahalanya sama dengan prajurit Islam yang berperang. Pun, juga Sayyidina Ali dalam kitab hikam menyimpulkan, ketaatan yang baik dari seorang wanita pada suaminya adalah jihad.
Garis Bawah Feminisme Sayyidah Khadijah: Sebuah Diferensiasi
Meninjau data sejarah yang ada di Sirah Nabawiyah, maka kita akan menemukan mutiara dalam biduk kehidupan Sayyidah Khadijah. Memang beliau didefinisikan dengan wanita yang memiliki kekayaan banyak dan profesi yang mentereng dan memiliki banyak pekerja laki-laki. Nah, yang demikian ini menurut kelompok pendukung pemikiran feminisne dijadikan sebagai justifikasi bahwa Sayyidah Khadijah merupakan wanita pertama pengusung pemikiran feminisme.
Imad al-Hilali dalam buku Ensiklopedia Wanita al-Quran menjelaskan, kisah mengenai Sayyidah Khadijah pun diabadikan di dalam al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 207, hal itu tak lepas dari peran dan kontribusi beliau. Bahkan Syaikh Muhammad Ahmad Muqaddam mengatakan bahwa beliau adalah wanita yang paling berpengaruh dalam agama Islam sebagaimana pengaruhnya beliau di hati Rasulullah yang tak pernah lekang dan hilang.
Syaikh Ramadhan al-Buthi menulis bahwa Sayyidah Khadijah berasal dari suku Quraisy. Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah. Sayyidah Khadijah akhirnya menikah dengan Hindun bin Al-Nabbasy atau yang dikenal dengan nama Abu Halah. Sosok Sayyidah Khadijah yang dikenal terhormat ini pun sangat terpercaya mulai dari orang tuanya. Ayah kandung Sayyidah Khadijah juga dikenal sebagai pribadi terpandang. Baik di tengah kaumnya maupun di tengah masyarakat Makkah. Ayahnya bersekutu dengan Bani Abdud dar bin Qushai. Yang mana di antara kebiasaan orang-orang Quraisy adalah menikahkan putra mereka dengan orang-orang yang bersekutu dengan mereka. Setelah memiliki anak bernama Halah dan Hindun, Abu Halah meninggal. Kemudian, Sayyidah Khadijah menikah kembali dengan Atiq bin Abid dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hindun.
Pada masa Jahiliyah, nama Sayyidah Khadijah dikenal dengan sebutan Al-Afifah Al-Thahirah sebagaimana pandangan Imam as-Suyuthi. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Quraish Shihab (Pengarang buku Mungkinkah Sunnah – Syiah Bergandengan Tangan?) dalam buku-nya Sirah Nabawiyah. Di samping itu Sayyidah Khadijah dikatakan memiliki karakter mulia dan tegas. Karakter tersebut melukiskan besarnya penghormatan kaum Quraisy pada sosok Khadijah seperti ditulis dalam buku Sirah dari Abd al-Malik ibn Hishām.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, Rasulullah menjelaskan bahwa Sayyidah Khadijah-lah yang menginfak-kan hartanya untuk menunjang kesuksesan beliau dalam berdakwah, di saat semua orang mengindahkan. ( keterangan lebih lengkap bisa dilihat – kitab Mar’ah Baina takrimil Islam Wa Ihanatil Jahiliyyah.)
Pun, portal situs seperti dw.com, islami.co, riauonline.co.id, conten.co.id, yang menyebut Sayidah Khadijah adalah tokoh feminisme bergantung pada kenyataan kekayaan dan memiliki posisi penting dalam perdagangan.
Tentu justifikasi tersebut rancu karena terdapat diferensiasi mengenai garis-garis label feminisme itu sendiri. Sebagaimana yang penulis sebutkan di atas bahwa dalam kekayaan dan perdagangan, sejatinya Islam melegalkan. Baru kalau dalam tubuh agama Islam itu sendiri menganggap bahwa kekayaan dan jabatan penting yang membawahi banyak pria dikatakan tabu maka fakta sejarah Sayyidah Khadijah di atas masuk akal dijadikan referensi penguat pemikiran feminisme. Toh, Syaikh Zakariya al-Ansari dalam mahakarya-nya yang bertajuk Lubbul Ushul bahwa hakikatnya pria memang lebih Tangguh dari wanita tapi tidak menutup kemungkinan sebaliknya. Hanya saja, itu terjadi sebagai sesuatu yang jarang. Pendapat tersebut diperkuat dengan memoar Syaikh Ramadhan al-Buthi. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa peran di atas sekiranya tidak menerjang kodrat mereka sebagai wanita.
Alaek Mukhyiddin | Annajahsidogiri.id