Di sebagian masyarakat awam, ada saja yang berasumsi bahwa Allah bertempat di atas. Bukan hanya masyarakat awam, asumsi tersebut ternyata juga berasal dari salah satu firqah Islam yang terlalu kaku dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Lantas bagaimana sebenarnya kita menyikapi fenomena tersebut? Berikut hasil wawancara Ismail dari Buletin Tauiyah Sidogiri dengan K.H. Muqtafi Aschol, Pengasuh Pondok Pesantren Sirrul Cholil Geger Bangkalan.
Ada sebagian masyarakat awam, juga salah satu kelompok Islam yang berasumsi bahwa Allah berada di atas. Pandangan Kiai?
Pernyataan bahwa Allah I di atas itu terdapat dua kemungkinan. Pertama, apabila yang dimaksud dari pernyataan tadi adalah sifat Allah yang Maha Tinggi, sifat Allah yang Maha Luhur, bukan Dzat-Nya yang berada di atas langit, maka itu tidaklah keliru. Karena pada dasarnya, Allah itu mempunyai sifat al-‘Ali, yakni Dzat yang Maha Luhur, betul kalau seperti itu. Kemungkinan yang kedua, apabila yang dimaksud adalah posisi Allah ada di atas, Dzat-Nya ada di atas, maka hal ini sangat keliru, sesat dan menyesatkan. Karena Allah itu Maha Suci dari sifat makhluk. Apabila dikatakan bahwa Allah berada di atas, berarti Allah butuh pada sesuatu yang lain, yakni tempat. Itu jelas salah.
Kemudian bagaimana dengan ayat yang secara lafaz mengatakan bahwa Allah berada di atas, seperti surah al-Mulk ayat 16?
Ayat semacam ini memang menjadi hujah-hujah bagi mereka, kaum Mujassimah, Musyabbihat. Sebagai contoh:
ءَاَمِنۡتُمۡ مَّنۡ فِىۡ السَّمَآءِ اَنۡ يَّخۡسِفَ بِكُمُ الۡاَرۡضَ فَاِذَا هِىَ تَمُوۡرُۙ
Kalau kita terjemahkan secara tekstual, “Apakah kalian semua merasa aman bahwasannya Dia yang ada di langit tidak akan membuat kalian ditelan oleh bumi ketika bumi bergoncang”. Ini dalam tafsir-tafsir yang standar saja, ini masih dita’wil, yaitu yang dimaksud man di langit itu adalah amruhu, qadhâuhu, qadaruhu, mamlakatuhu, sulthânuhu, dan bahkan adzâbuhu. Bukan Dzat Allah I. Dan ayat-ayat seperti ini banyak dalam al-Quran, semisal :
وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالۡمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
“Dan datanglah Tuhanmu dan para malaikat dengan berbaris”. Tidak bisa kita pahami secara lafaz.Atau begini saja, ini masalah tentang kita mengorelasikan ayat tersebut dengan ayat-ayat yang lain. Coba kita telaah, kita kaji dulu. Ada ayat :
وَهُوَ الَّذِىۡ فِى السَّمَآءِ اِلٰـهٌ وَّفِى الۡاَرۡضِ اِلٰـهٌ
Tahu ayat ini kan, kalau kita artikan secara tekstual maka begini, “Tuhan yang ada di langit dan Tuhan yang ada di dalam bumi”. Jika kita artikan secara tekstual atau secara zahir maka maknanya akan kacau. Kalau Tuhan ada di atas langit masih mendingan, kalau yang ada di dalam bumi, berarti Tuhan kita injak-injak, bagaimana kalau seperti itu? Jadi kesimpulannya, man alladzî lahu fahmun shahîh atau orang yang pemahamannya benar, yang tidak rusak, yang dimaksud dengan man dalam ayat tadi adalah para malaikat yang ada di langit yang menyembah Allah I. Sedangkan yang di bumi ini yang menyembah Allah adalah jin dan manusia. Ittifâq ulamâ’ul muslimîn yang dimaksud man di situ bukan Dzat Allah I, akan tetapi malaikat.
Pesan Kiai?
Ya harus perbanyak kajian-kajian, pelatihan-pelatihan Aswaja, terutama kepada ustaz-ustaz dan kiai-kiai di kampung. Kalau berpidato jangan masalah sedekah saja, masalah sedekah dijelaskan panjang dan lebar habis itu minta sumbangan. Ya sekali-sekali masalah akidah, sifat-sifat Allah dan akidah yang lain. Itu tugas kita bersama. Dan kita harus bersabar menghadapi mereka semua, mudah-mudahan kita dan teman-teman santri selalu dalam bimbingan ulama kita, ulama Ahlusunah walJamaah. Amin.
Ismail | Annajahsidogiri.id