Peredebatan mengenai legalitas bidah hasanah menjadi pembahasan yang tak pernah usai, terutama pada momen-momen tertentu seperti maulid Nabi, tahun baru Islam, dan hari-hari penting lainnya dalam Islam. Di Indonesia khususnya, terdapat beragam tradisi dan perayaan yang sebenarnya tidak pernah dilakukan pada masa Nabi dan shahabat, karena itulah golongan yang anti bidah hasanah akan melabeli segala tradisi yang tidak ada pada masa Nabi sebagai bidah tercela dan dilarang dalam Islam.
Adapun landasan mereka adalah hadis Nabi yang berbunyi;
وَشَرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Paling buruknya urusan adalah hal-hal baru. Setiap bidah adalah kesesatan.” (Sahih Muslim. No. 867).
Mayoritas ulama Ahlusunah memahami bahwa bidah yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah bidah dhalalah; bidah yang menyalahi ajaran al-Qur’an dan hadis, dengan arti bukan berarti segala hal yang tidak ada contohnya pada era Rasulullah itu tercela. Pendapat ini selaras dengan keterangan Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin;
لَيْسَ كُلُّ مَا اُبْدِعَ مَنْهِيَّا عَنْهُ بَلْ المَنْهِيُ عَنْهُ بِدْعَةٌ تَضَادُ سُنَّةً ثَابِتَةً وَتَرْفَعُ اَمْرًا مِنْ الشَرْعِ
“Tidak semua hal baru itu dilarang, yang dilarang itu bidah yang menyalahi sunah dan perintah syarak.”
Penguat bidah hasanah adalah beberapa hal yang sahabat lakukan, tetapi Nabi tak melakukannya. Andaikan semua bidah adalah tercela seharusnya para shahabat tidak melakukakan, dan jika mereka melakukan tentunya hal itu bukanlah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena Rasulullah sendiri yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh terhadap ajaran shahabat.
“Sahabatku bak bintang,” dawuh Nabi, “Bagaimanapun kalian mengikutinya maka kalian akan mendapat hidayah,” lanjut Nabi.
Berikut beberapa kebijakan sahabat Nabi yang tidak ada pada masa Rasulullah
Pertama, pengumpulan al-Qur’an pada masa kepemimpinan Abu Bakar atas saran Umar merupakan hal yang tidak pernah Rasulullah lakukan.
Cerita mengenai pengumpulan al-Qur’an ini sudah familiar dan ada dalam kitab Sahih Bukhari nomor: 6768.
Kedua, shahabat Usman juga menambah azan kedua pada shalat Jumat karena semakin banyaknya jemaah, sebagaimana keterangan dalam Sahih Bukhari dari Saib bin Yazid;
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ
“Awalnya, azan pada hari Jumat dilaksanakan saat imam duduk di atas minbar. Ini berlangsung pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Pada masa kekhalifahan Usman, jemaah semakin membeludak hingga beliau menambahkan azan ketiga.”
Redaksi hadis tersebut menggunakan kata ketiga karena menganggap ikamah sebagai azan.[1]
Ketiga, kebijkan Umar mengumpulkan shalat tarawih secara berjemaah. Sebelumnya umat Islam shalat tarawih sendiri, kemudian Umar berinisiatif mengumpulkan mereka secara berjemaah karena melihat maslahah yang ada. Beliau bahkan, mengakui bahwa kebijakannya merupakan perbuatan bidah hasanah (baik), sebagaimana perkataan beliau saat melihat umat Islam shalat tarawih dengan berjemaah;
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Ini adalah sebaik-baiknya bidah”[2]
Perkataan Sayidina Umar di atas secara eksplisit menjelaskan bahwa beliau mengakui adanya bidah hasanah, bahkan beliau juga banyak membuat kebijakan baru pada masa pemerintahannya. Selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan subtansi al-Qur’an dan hadis serta mengandung maslahah bagi umat Islam.
Jika para sahabat khususnya para Khulafaur-Rasyidin mengakui dan mengamalkan bidah hasanah, seharusnya kita tidak perlu mempertanyakannya, karena mereka adalah orang-orang yang telah Allah beri petunjuk, sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id
[1]Al-Bukhori hadis nomor 870.
[2] Al-Inshof Fima Utsira Haulahul-Khilaf hal.405, mengutip dari Sahih Bukhori.
Comments 0