Sifat salbiyah adalah sifat yang menafikan perkara yang tidak pantas bagi Allah. Sifat tersebut berjumlah 5 yaitu kidam, baka, mukhalafah lil hawadits, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah. Dalam keseharian kita, mayoritas orang sudah benar mengartikan keempat sifat di atas kecuali makna qiyamuhu binafsihi. Pandangan mereka mengangap makna sifat ini adalah “Allah berdiri sendiri”. Jika diartikan mentah-mentah, ini berakibat fatal, dan jika tidak dibenahi bisa gagal faham dan akan mewariskan arti tak mendasar ini kepada generasi mendatang.
Allah memiliki sifat qiyamuhu binafsih merupakan salah satu sifat kesempurnaan bagi zat-Nya. Namun jika salah memaknai, justru mengarahkan kepada sifat kerendahan bagi Allah. Seperti, cara masyarakat menerjemahkan qiyamuhu binafsihi dengan “Allah berdiri sendiri”. Sekilas tampil enak di telinga, tetapi di baliknya, akal menggambarkan ada zat yang berdiri di suatu tempat, dan ia sendirian. Kesalahpahaman ini karena menempatkan zat Allah butuh kepada tempat berdiri, dan ini dikecam oleh Ulama Ahlusunnah Waljamaah.
Sayid Muhammad bin Alawi menjelaskan makna qiyamuhu binafsihi sebagai zat Allah tidak butuh kepada tempat berdiri, zat di mana dia berada, atau sesuatu yang mewujudkan-Nya. Bahkan Allah adalah zat yang tidak butuh pada selain-Nya, dan selain Allah butuh pada-Nya[1]. Sayid Muhammad bin Alawi berlandasan pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ اْلفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ، وَاللهُ هُوَ اْلغَنِيُ الحَمِيْدُ
“Wahai Manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah yang maha kaya dan lagi maha terpuji.” (Q.S al-Fatir [35]: 15).
Imam Syihabuddin Ahmad al-Muraqqi membuat rangkuman nazam untuk mempermudah memahami qiyamuhu Binafsih. Ringkasan ini mencakup terhadap makna qiyamuhu binafsih yang dipaparkan oleh Sayid Muhammad:
وَوَاجِبُ القِبَامِ بِالنَّفْسِ جَلّ # أَيْ لَا مُخَصِّصَ لَهُ وَلَا مَحَلْ
“Allah wajib qiyamuhu binnafsih # yaitu tidak ada nukhassis dan nahal”[2]
Baca Juga : Kesalahan Fatal Memahami Qiyâmuhu bi Nafsihi
Melihat bait di atas, zat Allah harus terbebas dari belenggu mahal dan nukhassis, karena keduanya penyebab Allah tidak memiliki kesempurnaan. Padahal kesempurnaan Allah tidak bisa dihitung dan diringkas Oleh karena itu, memahami sifat qiyamuhu binafsihi, perlu mengetahui dua hal, yaitu; kenapa Allah mustahil bersangkutan dengan Mahal dan Mukhassis, berikut penjelasannya:
- Mahal
Allah mustahil membutuhkan mahal yaitu; zat di mana wujud Allah bersemayam padanya. Butuhnya Allah kepada Mahal menjadikan wujud Allah berupa sifat, dan sifat tidak akan bersifatan dengan sifat ma’ani (qudrat, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam,) dan ma’nawiyah (qadiran, muridan. aliman, hayan, samian, basyiran, mutakalliman), karena semua itu wajib dimiliki Allah. Kendati demikian Allah mustahil butuh kepada mahal.[3]
- Mukhassis
Mukhassis adalah pelaku pekerjaan. Pertama, Ketidakpantasan Allah menyandar kepada mukhassis karena ketetapan ini menjadi sinyalir Allah itu baru. Padahal wujud Allah wajib bersifatan dengan kidam, baka baik secara zat dan sifat. Jadi Allah tidak akan memiliki keterkaitan dengan mukhassis. Karena hal itu penyebab Allah baru[4]. Kedua, pelaku pekerjaan akan menentukan sesuatu yang boleh menimpanya, sebagaimana makhluk menentukan ukuran, gambar, zaman, tempat, dan arah dari macam-macam penentuan. Sementara Allah mustahil ditentukan, karena zat yang bergantung pada selainnya itu makhluk, dan Allah adalah khalik, bukan makhluk[5].
Dari sini diambil kesimpulan, pemahaman orang awam mengenai cara mereka mengartikan qiyamuhu binafsihi tidak akurat. Karena pemaknaan mereka ‘Allah berdiri sendiri’ mengarahkan Allah butuh pada mahal. Padahal Allah tidak demikian. Oleh karenanya, perlu diluruskan supaya masyarakat awam tidak terjerumus kepada pemahaman salah. Kita harus mengubah haluan makna “Allah berdiri sendiri” menuju Allah tidak butuh pada selain-Nya dan selain Allah butuh kepada-Nya.
Aris Daniyal | Annajahsidogiri.id
[1] Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Jalaul Afham Syarhu Aqidatil Awam. hal 24
[2] Imam Syihabuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad al Muraqqi, Nadham Raihatul Jannah. Hal 53
[3] Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul Murid Bisyarhi Jauharatut Tauhid. hal 68
[4] Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul Murid Bisyarhi Jauharatut Tauhid. hal 68
[5] Syekh abdul Ghani bin Ismail an-Nasabulisiy, Idha’atud Dujjanah fi Aqaidi Ahlis Sunnah. Hal 53