Dalam memahami cara kerja petunjuk (hidayah) dan pemilihan Ilahi (ijtabā) dalam Al-Qur’an, kita menemukan dua bentuk perlakuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang berbeda secara prinsip. Keduanya disebutkan, misalnya, dalam firman Allah:
اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
“ Allah memilih kepada-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada-Nya siapa yang kembali (bertaubat).” (QS. Asy-Syūrā: 13)
🟦 1. Ijtabā: Anugerah Tanpa Syarat
Kata “يجتبي” berasal dari akar kata j-b-w yang berarti memilih atau menyaring secara khusus. Dalam konteks ayat di atas, ijtabā merujuk pada pemilihan langsung oleh Allah terhadap seseorang untuk menerima kemuliaan atau kedudukan tertentu, sebagaimana halnya para nabi, wali, dan hamba-hamba pilihan lainnya.
Para ulama tafsir seperti al-Ālūsī[1] dan ar-Rāzī[2] menjelaskan bahwa ijtabā adalah pemberian Ilahi murni, yaitu bentuk anugerah (fadl) yang Allah berikan tanpa syarat atau usaha sebelumnya dari manusia. Artinya, Allah memuliakan siapa yang Dia kehendaki tanpa terlebih dahulu menuntut amalan tertentu dari hamba itu. Ini adalah wilayah hak prerogatif Allah yang tidak bisa dimasuki oleh penilaian manusia. Maka sangat betul apa yang disampaikan al-Buthi dalam kitabnya al-Insan Musayyar aw Mukhayyar:
فَهِيَ عَطِيَّةٌ إلَهِيَّهٌ يُكْرِمُ اللهَ بِهَا مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ ، دُوْنَ سَابِقِ شَرْطٍ أوْ سُلٌوْكِ سَبِيْلٍ
“Maka ijtabā adalah anugerah Ilahi yang diberikan tanpa syarat dan tanpa harus menempuh jalan tertentu sebelumnya.[3]”
🟦 2. Hidayah: Hadiah yang Disesuaikan dengan Kelayakan
Berbeda halnya dengan ijtabā, hidayah (petunjuk) adalah sesuatu yang diberikan berdasarkan kelayakan, bukan secara mutlak. Allah telah menetapkan dalam sunnah-Nya bahwa siapa yang layak untuk menerima hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Sebaliknya, siapa yang tidak layak, maka ia akan luput darinya.
أمَّا الهِدَايَةُ فَقَدْ قَضَى اللهُ تَعَالَى أنْ تَكُوْنَ نَتِيْجَةً لِاسْتِحْقَاقٍ، فَمَنِ اسْتَحَقَّ الْهِدَايَةَ نَالَهَا ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِقَّهَا لَمْ يَنَلْهَا
“Adapun hidayah, maka Allah telah menetapkan bahwa ia merupakan hasil dari kelayakan. Siapa pun yang layak menerimanya akan diberi, dan yang tidak layak, tidak akan mendapatkannya[4].”
Baca Juga; Membedah Hadis Syiah
Lalu, apa ukuran kelayakan itu? Ukurannya bukan formalitas agama, nasab, atau kecerdasan, melainkan:
- Tunduknya hati terhadap kebenaran
- Tingginya tekad untuk mengikuti kebenaran walau pahit
- Bersih dari kesombongan intelektual dan keangkuhan spiritual
- Tidak dikendalikan oleh kepentingan pribadi atau hawa nafsu
Mereka yang meninggalkan sikap angkuh, membuang keras kepala, dan menjauh dari motivasi egoistik, ialah orang-orang yang layak mendapatkan hidayah Allah. Sebaliknya, orang yang mempertahankan warisan keyakinan hanya karena kebiasaan atau kepentingan, tanpa kemauan untuk merenung dan menimbang secara rasional, bukanlah termasuk pengikut keridaan Allah.
Penutup
Dalam konsep Al-Qur’an, terdapat dua bentuk hubungan Allah dengan hamba-Nya terkait jalan kebenaran:
- Ijtabā (Pemilihan Ilahi) adalah bentuk anugerah murni dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Pemilihan ini tidak tergantung pada usaha manusia, melainkan merupakan pemuliaan langsung yang datang dari rahmat Allah, sebagaimana terjadi pada para nabi dan hamba-hamba pilihan-Nya. Ia bersifat eksklusif dan prerogatif Ilahi.
- Hidayah (Petunjuk) adalah hasil dari kelayakan spiritual dan moral Allah memberi hidayah kepada mereka yang menyucikan hati dari kesombongan, keangkuhan, dan kepentingan pribadi, serta memiliki tekad tulus untuk mengikuti kebenaran. Hidayah merupakan balasan atas kesiapan jiwa, bukan hadiah yang datang tanpa sebab.
Dengan demikian, ijtabā adalah anugerah tanpa sebab, sementara hidayah adalah balasan atas kesiapan. Memahami perbedaan ini penting agar tidak menyalahpahami konsep takdir, dan agar kita tetap menyadari bahwa meskipun sebagian anugerah bersifat murni, petunjuk menuju kebenaran tetap terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh mencarinya dengan hati yang bersih.
Abdulloh AG | Annajahsidogiri.id
[1] Imama Shihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni al-Ālūsī, Rûhul-Ma`ani, (XIII/23)
[2] Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Kabir/ Mafatihul-ghaib, (XXVII/558)
[3] Said Ramdhan al-Buthi, al-Insan Musayyar am Mukhayyar, Dar Fikr, Cet. 17, 1445H./2024 M. Hlm.109
[4] Said Ramdhan al-Buthi, al-Insan Musayyar am Mukhayyar, Dar Fikr, Cet. 17, 1445H./2024 M. Hlm.109