Para pengkaji ilmu kalam, tentu sangat sering menenjumpai lafal azali di beberapa bacaannya. Mirisnya, tidak sedikit dari mereka yang masih kebingungan memberikan dafinisi kongkret perihal azali.
Biasanya, mereka menyimpulkan bahwa azali merupakan ungkapan dari zaman yang tidak berawal. Namun, jika demikian, terjadi paradoks dalam satu definisi tersebut. Karena yang namanya zaman tentu memiliki awal, lantaran kehadiran ‘zaman’ merupakan sesuatu ukuran jarak terkait masa. Jika tidak berawal, tentunya tidak berjarak.
Untuk itu, dalam #SerialAkidahAwam kali ini, kita akan membahas terlebih dahulu perihal azali. Karena pemahaman yang utuh tentang azali, sangat dibutuhkan untuk pembahasan #SerialAkidahAwam pada kemudian hari.
Perbedaan Kadim dengan Azali
Jika ada orang bertanya, “Apakah ada zat yang kidam selain Allah?” Jawablah dengan tegas dan lugas, “Tidak ada”. Namun, bila Anda ditanya, “Selain Allah, apakah ada yang tidak berawal?” Tentu jawaban yang tepat ialah: ada, yaitu ketiadaan.
Selaku barang hadis, keberadaan kita berawal. Hal ini sesuai dengan takrif hadits dalam Hasyiyah ad-Dasûqî Syarah Ummil-Barâhîn (hlm. 149):
وَاَمَّا الْحُدُوْثُ فَهُوَ الْوُجُوْدُ الْمَسْبُوْقُ بِعَدَمٍ
“Perkara baru adalah keberadaan yang didahului ketiadaan.”
Nah, keberadaan kita memang ada awalnya. Akan tetapi, ketiadaan kita, tentunya tidak berawal. Seperti contoh, keberadaan saya sejak tahun 2002. Sebelum 2002, saya tidak ada. Ketiadaan saya tersebut tidak berawal.
Syekh Nawawi, Banten pernah membagi perkara menjadi empat hal, ditinjau dari masanya (berawal-berakhir). Empat hal itu sebagaimana berikut:
- Tidak berawal dan tidak berakhir, yakni Allah dan sifat-Nya.
- Berawal dan berakhir, seperti keberadaan makhluk.
- Tidak berawal tetapi berakhir, yaitu ketiadaan kita sebelum diciptakan (azali).
- Berawal tetapi tidak berakhir, yakni sesuatu yang ‘dikekalkan’. Misalnya, surga dan neraka.
Syekh Nawawi mengungkapkan hal tersebut saat menyarahi nazam kedua ‘Aqîdatul-Awâm yang berbunyi:
فَالْـحَـمْـدُ ِللهِ الْـقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ اْلآخِـرِ الْـبَـاقِـيْ بِلاَ تَـحَـوُّلِ
“Maka segala puji bagi Allah Yang Maha Dahulu, Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Tetap tanpa ada perubahan”
Beliau dalam Nurudz-Dzalâm (hlm. 52) saat menyarahi nazam tersebut mengungkapkan seperti berikut:
اِعْلَمْ اَنَّ الْاَشْيَاءَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَقْسَامٍ شَيْءٌ لاَ اَوَّلَ لَهُ وَلاَ اَخِرَ لَهُ وَهُوَ ذَاتُ اللهِ وَصِفَاتُهِ. وَشَيْءٌ لَهُ الْاَوَّلُ والاَخِرُ لَهُ وَهُوَ ذَاتُ الْمَخْلُوْقِيْنَ وَصِفَاتُهُمْ. وَشَيْءٌ لَيْسَ لَهُ اَوَّلٌ وَلَهُ اَخِرٌ وَهُوَ عَدَمُنَا الْاَزَلِيِّ فَيَنْتَهِيْ بِوُجُوْدِنَا. وَشَيْءٌ لَهُ اَوَّلٌ وَلَيْسَ لَهُ اَخِرٌ وَهُوَ الدَّارُ الْاَخِرَةُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya sesuatu itu terbagi menjadi empat. Pertama, sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir, yaitu zat Allah beserta sifat-Nya. Kedua, sesuatu yang berwal dan berakhir yaitu zat dan sifat makhluk. Ketiga, sesuatu yang tidak berawal, tetapi berakhir, yaitu ketiadaan kita yang azali, itu berakhir saat kita ada. Keempat, sesauatu yang ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya, itu adalah yang adalah alam akhirat.”
Alhasil, ketiadaan kita sebelum diciptakan, tidak berawal. Namun, bukan berarti ketiadaan tersebut kidam. Mengapa demikian? Karena ungkapan tidak berawal, belum tentu kidam. Hubungan sekaligus penjelasan antara ‘tidak berawal’ dengan kidam bisa Anda temukan jika mempelajari perbedaan antara azali dengan kidam.
Perbedaan antara kidam dengan azali sudah sangat terang dari kedua definisi masing-masing. Memang, ulama masih terbagi menjadi tiga kelompok perihal definisi dari kidam dan azali. Perselisihan pendapat perihal azali dengan kidam dapat ditemukan dalam Tuhfatul-Murid Syarh Jauharatut-Tauhid (hlm. 65).
وَاعْلَمْ أَنَّ لَهُمْ فِيْ الْقَدِيْمِ وَالْأَزَلِيِّ ثَلاَثَةَ أَقْوَالٍ الأَوَّلُ أَنَّ الْقَدِيْمَ: هُوَ الْمَوْجُوْدُ الَّذِيْ لاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ. وَالْأَزَلِيَّ: ماَ لاَ أَوَّلَ لَهُ عَدَمِيًا أَوْ وُجُوْدِيًا فَكُلُّ قَدِيْمٍ أَزَلِيٌّ وَلاَ عَكْسٌ . الثَّانِيْ: أَنَّ الْقَدِيْمَ هُوَ الْقَائِمُ بِنَفْسِهِ الَّذِيْ لاَ أَوَّلَ لِوُجُوْدِهِ. وَالْأَزَلِيَّ: ماَ لاَ أَوَّلَ لَهُ عَدَمِيًا أوْ وُجُوْدِيًا قَائِمًا بِنَفْسِهِ أَوْ بِغَيْرهِ وَهَذَا هُوَ الَّذِيْ يُفَهَمُ مِنْ كَلاَمِ السَّعْدِ. الثَّالِثُ: أَنَّ كُلاًّ مِنْهُمًا ماَ لاَ أَوَّلَ لَهُ عَدَمِيًّا أَوْ وُجُوْدِيًّا قَائِمًا بِنَفْسِهِ أَوْ لاَ. وَعَلَى هَذَا فَهُمَا مُتَرَادِفَانِ؛ فَعَلَى الْأَوَّلِ الصِّفَاتُ السَّلْبِيَّةُ لاَ تُوْصَفُ بِالْقِدَمِ وَتُوْصَفُ بِالْأَزَلِيَّةِ بِخِلاَفِ الذَّاتِ الْعَلِيّةِ وَالصِّفَاتِ الثُّبُوْتِيَّةِ فَإِنَّهَا تُوْصَفُ بِالْقِدَمِ وَالْأَزَلِيَّةِ وَعَلَى الثَّانِيْ الصِّفَاتُ مُطْلَقًا لاَ تُوْصَفُ بِالْقِدَمِ وَتُوْصَفُ بِالْأَزَلِيَّةِ.. بِخِلاَفِ الذَّاتِ العَلِيَّةِ فَإِنَّهَا تُوْصَفُ بِكُلٍّ مِنْهُمَا وَعَلَى الثَّالِثِ كُلٌّ مِنَ الذَّاتِ وَالصِّفَاتِ مُطْلَقًا يُوْصَفُ بِالْقِدَمِ وَالْأَزَلِيَّةِ فَتَدَبَّرْ
“Ketahuilah bahwa ada tiga kubu pendapat ulama perihal takrif dari azali dan kadim. Pendapat pertama, kadim adalah sesauatu yang ada yang keberadaanya tidak berawal. Sedangkan azali adala setiap sesuatu yang tidak ada awalnya, baik berupa ketiadaan atau pun keberadaan. Setiap kadim itu azali, tetapi tidak sebaliknya.
Pendapat kedua, bahwa kadim merupakan sesuatu yang berdiri sendiri (tidak membutuhkan yang lain), yang tidak ada mula bagi keberadaanya. Sedangkan azali adalah setiap sesuatu yang tidak ada awal, baik berupa ketiadaan mau pun keberadaan. Baik pula berupa berdiri sendiri atu pun masih membutuhkan kepada yang lain. Pendapat semacam itu didapatkan dari Imam Sa’duddin
Pendapat ketiga, ialah antara azali dan kadim sama saja, yaitu: setiap sesuatu yang tidak berawal, baik keberadaan mau pun ketiadaan. Dengan begitu, keduanya merupakan kata yang sinonim.
Oleh karenaya, menurut pendapat yang pertama, sifat salbiyah tidak bersifat dengan kidam, melainkan bersifat azali. Berbeda dengan zat Allah dan sifat yang tsubut, maka bersifat kidam sekaligus azali.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua, yang namanya sifat tidak bisa bersifat kidam, melainkan bersifat azali. Berbeda dengan zat Allah, yang bersifat kidam sekaligus azali.
Berbeda dengan pendapat yang ketiga yang mengatkaan bahwa zat dan sifat semuanya bersifat kidam dan azali. Renungkanlah!”
Secara garis besar dari perselisihan tadi—selain pendapat ketiga—ialah, kidam merupakan ungkapan dari: keberadaan yang tidak berawal. Berbeda dengan azali yang merupakan istilah dari: tidak berawal secara umum. Dengan demikian, setiap yang tidak berawal pasti azali, tetapi belum tentu kidam. Karena kidam hanya tertentu kepada keberadaan.
Pembagian Azali
Setelah mengetahui perbedaan azali dengan kidam, Anda telah memiliki tangga ‘paling’ dasar untuk mengetahui azali. Untuk memahami lebih lanjut, Anda terlebih dahulu harus memahami pembagian azali.
“Setiap yang kidam pasti azali,” begitu kesimpulan setelah Anda memahami perbedaan azali dangan kidam. Allah kidam dan azali, lantaran Allah tidak berawal. Lantas, apakah ‘saat ini’ Allah azali, mengingat maksud dari azali adalah tidak berawal? Jika iya, apakah berarti ‘saat ini’ kita hidup pada zaman azali?
Jika pertanyaan itu didengar oleh orang yang memahami azali secara utuh, pastinya akan tertawa geli. Pasalnya, pertanyaan tersebut muncul akibat tidak memahami masing-masing definisi dari pembagian azali. Seakan jika ia menemukal lafal azali, pasti mengacunya pada satu definisi. Padahal bisa jadi kata azali dengan kata azali yang lain memiliki arti dan definisi yang berbeda.
Dalam ilmu kalam, azali setidaknya terpakai dalam dua keadaan. Pertama, ketika berkaitan dengan Allah. Kedua, ketika berkaitan dengan selain Allah.
Kenapa dibedakan? Karena bila sudah berkaitan dengan Allah, berarti sama-sekali tidak membahas zaman. Keberadaan Allah tentu tidak terikat dengan masa. Berbeda dengan makhluk. Bila terdapat kata azali saat pembahasan makhluk, tentunya di sana akan membahas masa. Karena keberadaan makhluk “terbungkus” dengan zaman.
Dari dua keadaan tersebut, kata azali memiliki perbedaan arti dan definisi. Definisi untuk kata azali dalam keadaan yang pertama adalah: sebuah ungkapan dari ketidakberawalan Allah yang selaras dengan kesempurnaan-Nya.
Kata azali yang ini, tetap berlangsung sampai saat ini. Karena sampai kapan pun, Allah tetap tidak barawal, lantaran Allah memiliki sifat kesempurnaan.
Untuk keadaan kedua, istilah azali digunakan untuk mengungkapkan waktu sebelum keberadaan makhluk. Setiap makhluk memiliki azalinya masing-masing. Azali tersebut terus berubah-ubah seiring dengan “pembaruan”.
Semisal, Anda menanam biji apel. Biji apel adalah perkara hadits. Biji tersebut memiliki waktu azalinya tersendiri, yaitu sebelum terciptanya. Saat tercipta, maka azalinya sudah hilang. Ia pun dengan tersendirinya menjadi azali bagi pohon apel. Karena pohon tersebut belum ada.
Saat biji apel tersebut Anda tanam, lalu tumbuhlah pohon apel, maka azali tersebut sudah berganti menjadi azali dari buah apel. Karena pohon tersebut belum berbuah. Saat berbuah, maka azalinya pun akan terus berganti, seiring “pembaruan” dari perkara baru tersebut.
Pembagian definisi dari dua kata azali terbut bisa Anda rujuk dalam kitab al-Insân al-Kamîl fi Ma’rifatil-Awâil wal Awâkhir adikarya Syekh ‘Abdul Karim bin Ibrahim. Dalam bab khusus menerangkan azali (hlm. 147) beliau menerangkan:
اَلْاَزَالِيُّ عِبَارَةٌ عَنْ مَعْقُوْلِ الْقَلْبِيَّةِ الْمَحْكُوْمِ بِهَا اللهُ تَعَالَى مِنْ حَيْثُ مَا تَقْتَضِيْهِ فِيْ كَمَالِهِ, لاَ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ تَقَدَّمَ عَلَى الْحَادِثَاتِ بِزَمَانٍ مُتَطَاوِلِ الْعَهْدِ, فَعَبَّرَ عَنْ ذَلْكَ بِالْاَزَلِ كَمَا يَسْبَقُ ذَلِكَ اِلَى فَهْمِ مَنْ لَيْسَ لَهُ مَعْرِفَةٌ بِاللهِ تَعَا لَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبْيْراً, وَقَدْ بَيَّنَّا بُطْلَانَهُ فِيْمَا سَبَقَ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ. فَاَزَلُهُ مَوْجُوْدٌ اَلْاَنَ كَمَاكَانَ مَوْجُوْداً قَبْلَ وُجُوْدِنَا, وَلَمْ يَتَغَيَّرْ عَنْ اَزَلِتِهِ وَلَمْ يَزَلْ اَزَلِيًّا فِيْ اَبَدِ الْاَبَادِ, وَسَيَاْتِيْ بَيَانُ الْاَبَدِ فِيْ الْبَابِ التَّالِيْ اِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى.
هَذَا الْحُكْمُ الْاَزَالُ فِيْ حَقِّ اللهِ تَعَالَى, وَاَمَّاوُجُوْدُ الْحَادِثِ فَلَهُ اَزَلٌ, وَهُوَ عِبَارَةٌعَنْ وَقْتِ الَّذِيْ لَمْ يَكُنْ لِلْحَادِثِ فِيْهِ وُجُوْدٌ, فَلِكُلِّ حَادِثٍ اَزَلٌ مُغَايِرٌ لِاَزَلِ غَيْرِهِ مِنَ الْحَادِثَاتِ, فَأَزَلُ الْمَعْدِنِ غَيْرُ اَزَلِ النَّبَاتِ لِاَنَّهُ قَبْلَهُ اِذْ لاَ وُجُوْدَ لِلنَّبَاتِ اِلاَّ بًعْدَهُ وُجُوْدُ الْمَعْدِنِ وَاَزَلِيُّ الْمَعْدِنِ فِيْ حَالِ وُجُوْد الْجَوْهَرِ, وَاَزَلِيَّةُ الْجَوْهَرِ فِيْ حَالِ وُجُوْدِ الْهُيُوْلِيِّ, وَ اَزَلِيَّةُ الْهُيُوْلِيِّ فِيْ حَالِ وُجُوْدِ الْهَبَاءِ. وَاَزَلِيَّةُ الْهَبَاءِ فِيْ حَالِ وُجُوْدِ الطَّبَائِعِ. وَاَزَلِيَّةُ الطَّبَائِعِ فِيْ حاَلِ وُجُوْدِ الْعَنَاصِرِ. وَاَزَلِيَّةُ الْعَناَصِرِ فِيْ حَالِ الْوُجُوْدِ الْعِلِّيِّيْنَ كَالْقَلَمِ الْاَعْلَى وَ الْعَقْلِ وَ الْمَلِكِ الْمُسَمَّى بِالرُّوْحِ وَاَمْثَالِهِ ذَلِكَ, وَهُوَ جَمِيْعُ الْعَالَمِ, فَاَزَلُهُمْ كَلِمَةُ الْخَضْرَةِ, وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ لِلشَّيْءِ (كُنْ فَيَكُنْ) [الانعام 73 ]
“Azali merupakan ungkapan dari sesuatu yang masuk akal yang berupa sifat terdahulu (ketidakberawalan) yang disematkan kepada Allah, ditinjau dari tuntutan sisi kesempurnaan Allah. Bukan ditinjau dari sisi, bahwa Allah mendahului perkara hadis, dengan zaman yang lama masanya. Maka diungkapkanlah kata azali, agar memudahkan memahami Allah, bagi orang yang belum makrifat kepada-Nya. Allah Mahaluhur dari hal tersebut, kebatilannya pun sudah saya terangkan di kitab ini.
Azali tersebut tetap ada sampai saat ini, sebagaimana keberadaan azali terebut sebelum keberadaan kita. Serta azali tersebut tidak berubah-ubah dan tidak hilang selamanya. Untuk keterangan perihal keabadian saya insyaAllah akan menerangkan pada bab selanjutnya.
Ini adalah hukum azali dalam hak Allah. Adapun keberadaan makhluk, maka ia memiliki azalinya tersendiri. Azali yang dimaksud ialah sebuah istilah untuk waktu yang keberadaan perkara hadits tersebut belum tercipta.
Setiap perkara baru memiliki azalinya masing-masing. Azali tersebut berubah-ubah kepada azali yang lain dari perkara baru.
Sifat azali mineral, bukanlah azali dari tumbuhan. Karena mineral itu ada sebelum tumbuhan. Karena tidak ada keberadaan tumbuhan kecuali setelah keberadaan mineral. Mineral pun memiliki azali, yakni ketika masih menjadi materi inti. Materi inti pun juga memilki azali, yakni ketika masih berupa Hyle (sebuah istilah dalam filsafat yang mengacu pada barang yang menjadi penyebab material). Hyle pun memiliki azali ketika berupa partikel. Partikel sendiri memiliki azali, yakni masih menjadi tabiat (barang alami dasar). Tabiat sendiri memiliki azali, yakni ketika berupa elemen dasar. Elemen tersebut juga memiliki azali, yakni ketika berupa benda agung, seperi al-qalam al-a’la, al-‘aql, al-malak yang bernama ar-ruh, dan sesamanya. Pada dasarnya semua alam azalinya adalah firman Allah kun fa yakûn.“
‘Ala kulli hâl, jika azali disematkan kepada Allah dan sifat-Nya, sama-sekali tidak ada kaitannya dengan zaman. Semisal perkataan seseorang, “al-Quran sudah ada sejak zaman azali,” dalam kajian ilmu kalam, perkataan semacam itu tidak benar. Karena al-Quran/kalamullah merupakan sifat Allah. Perkataan yang benar adalah: al-Quran azali. Maksud azali di sini, ialah tidak berawal. Sampai saat ini pun, al-Quran tetap azali, alias tidak berawal.
Bisa dinisbatkan dengan zaman, bila mana istilah azali untuk makhluk. Semisal, ungkapan, “Kita masih belum ada, ketika zaman azali”. Perkataan semacam itu benar. Karena memang yang dibahas adalah zaman.
Dengan memahami ragam definisi azali tersebut, saya kira sudah cukup kalau hanya sekadar untuk memahami #SerialAkidahAwam yang akan datang. Semoga artikel ini membantu Anda!
Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.id