Nabi Muhammad ﷺ diutus ke dunia dengan membawa syariat Islam. Ketika orang kafir ingin memeluk agama Islam, kunci awalnya adalah membaca dua kalimat syahadat. Tak ayal dua kalimat syahadat memiliki kedudukan penting dalam agama Islam. Bahkan membaca dua kalimat syahadat menjadi rukun Islam yang pertama karena ibadah seseorang tidak diterima sebelum mengucapkannya. Dalam agama Islam dua kalimat syahadat yang diajarkan Nabi adalah:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allahﷻ dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allahﷻ ”
Apakah menggunakan lafal أَشْهَدُ (saya bersaksi) menjadi ketetapan dalam pengakuan beragama Islam atau boleh diganti أَعْلَمُ (saya mengetahui) dan sebagainya, sehingga orang bisa melafalkan sesuai selera.
Menurut al-Imam Nawawi al-Bantani iman adalah membenarkan dalam hati, sementara pengakuan hanya untuk memberlakukan hukum syariat Islam di dunia. (Syarah Sullamul Munâjah, hlm. 7) Hal ini membikin orang mukmin terbagi menjadi dua. Pertama, orang yang beriman dalam hatinya, tapi tidak melaksanakan pengakuan dua kalimat syahadat. Orang tersebut dinamakan mukmin di akhirat, akibatnya hukum-hukum syariat di dunia tidak diberlakukan, seperti menikah secara Islam, menyalati jenazahnya, memandikan dan sebagainya. Kedua, orang yang beriman di hatinya dan mengakui dengan lisannya, orang tersebut mukmin di dunia dan akhirat. Orang tersebut mendapatkan keistimewaan berupa syariat Islam diberlakukan kepadanya.
Menurut al-Imam Nawawi al-Bantani ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tidak boleh mengganti lafal “asyhadu” dengan lafal “a’lamu”. Bahkan hal tersebut tidak dapat mengubah predikat kafir pada diri seseorang. Dalam kitab Syarah Sullamul Munâjah, beliau menjelaskan:
فَلَا بُدَّ فِي صِحَّةِ إِسْلَامِ اْلكَافِرِ مِنْ لَفْظِ أَشْهَدُ وَلَوْ بِاْلعَجَمِيَّةِ
“Harus dalam keabsahan Islamnya orang kafir menggunakan lafal asyhadu (saya bersaksi), walaupun dengan bahasa non-Arab (terjemahan)”.
Hal ini karena menurut al-Imam Nawawi al-Bantani, Syari’ (Allah ﷻ) sudah menentukan kata syahadat untuk masuk Islam, dan juga “asyhadu” itu lebih khusus daripada kata “a’lamu”. Karena syahadah (persaksian) itu perbuatan yang timbul dari tahu (ilmu) terlebih dahulu, yang mana tahu itu dihasilkan dengan musyahadah (menyaksikan langsung) secara penglihatan mata kepala atau dengan mata hati. Jadi setiap syahadah itu timbul dari ilmu (sudah ada pengetahuan), dan tidak sebaliknya.
Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri menambahkan keterangan serupa saat melafalkan dua kalimat syahadat. Kalimat tersebut memiliki kriteria tertentu yang harus dipenuhi; a.) Harus melafalkan kalimat “asyhadu” tidak boleh mengganti dengan selainnya. Meskipun lafal tersebut Muradif (satu arti), b.) Mengulangi lafal “asyhadu” ketika bersaksi bahwa Nabi Muhammad ﷺ utusan Allah ﷻ, c.) Mengurut kalimat syahadat, d.) Sambung antara satu dengan yang lain, e.) Harus mengakui terutusnya Nabi Muhammad ﷺ kepada selain Arab jika ia termasuk orang yang meyakini bahwa Nabi terutus pada kaum Arab saja. (Tuhfatul-Murîd Syarhu Jauharatit Tauhîd. Hal 54)
Aris Daniyal | Annajahsidogiri.id