Dalam artikel sebelumnya kami telah paparkan penafsiran ulama mengenai ayat Al-Maidah 21, selanjutnya kita perlu mengetahui bagaimana sejarah Baitul Maqdis, sehingga kita bisa mengetahui sebenarnya Baitul Maqdis milik siapa? Muslim Palestina atau Yahudi Israel. Berikut pemaparannya:
Sejarah Baitul Maqdis
Jika melihat sejarah, maka tentu kita akan menyadari bahwa tanah Baitul Maqdis atau Palestina adalah tanah milik kaum Muslim. Bahkan orang pertama kali yang membangun atau membuat tanah tersebut adalah bapak para manusia, Nabi Adam.
Banyak para nabi yang pernah memiliki sejarah penting dalam Islam di tanah tersebut, seperti Nabi Musa yang ber-mukalamah dengan Allah ﷻ, ketika Allah ﷻ menundukkan gunung dan burung kepada Nabi Daud, ketika Allah ﷻ mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman, ketika Allah ﷻ memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim dan Sarah tentang kelahiran Nabi Ishak, dan ketika Allah ﷻ mengembirakan Nabi Zakariya tentang Yahya.[1]
Tidak hanya itu, pada masa Rasulullah ﷺ, tanah ini memiliki catatan penting dalam sejarah. Yakni menjadi tempat tujuan ketika beliau Isra’ dari Masjidil Haram. Hal tersebut dikenang dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 1.
Tanah Yerussalem ini juga pernah ditaklukkan oleh Umar bin al-Khattab ketika sebelumnya pernah ditaklukkan pada masa Rasululah ﷺ dan Abu Bakar namun belum berhasil.[2]
Penaklukkan terhadap tanah Palestina juga dilakukan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, pada bulan Ramadan tahun 584 H, di mana beliau bersama para pasukan Muslim Arab mampu menang atas pasukan salib yang merampas, sehingga tentara Arab menyebrangi terusan Suez dan menghancurkan tentara salib yang tak terkalahkan.[3]
Sejarah Bangsa Yahudi di Palestina
Sejarah keberadaan Yahudi di Palestina tidak lepas dari sejarah runtuhnya Turki Usmani pada Perang Dunia I (1914-1917) dari Inggris dan sekutunya. Sebab, Palestina merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani.
Sejak dulu, Inggris sangat berambisi untuk menguasai tanah Palestina, dengan beralasan ingin merelokasi Yahudi yang bermasalah di Eropa. Berkali-kali Inggris mencoba untuk menguasai tanah tersebut, namun karena Turki Usmani masih kuat akhirnya percobaan tersebut selalu gagal.
Oleh karena itu, sejak Turki Usmani mulai lemah dan bahkan diruntuhkan oleh Inggris, Sultan Abdul Hamid, sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mencegah Inggris. Bahkan, Arthur Balfour, menteri luar negeri Inggris, secara terang-terangan memperbolehkan orang-orang Yahudi untuk membangun perumahan di Palestina.[4]
Pada tahun 1917, terdapat kesepakatan aneh yang terjadi antara Inggris dan Yahudi. Tepatnya pada tanggal 2 November 1917. Arthur Balfour menjanjikan bangsa Yahudi bahwa mereka akan dibangunkan negara khusus mereka oleh Inggris di kawasan Palestina.
Kesepakatan tersebut diangap aneh oleh kebanyakan orang. Sebab, tidak ada satu pun sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa Yahudi pernah menetap di Palestina, apalagi menaklukannya. Tiba-tiba mereka yang tidak memiliki hak apapun terhadap tanah Palestina, ingin mendirikan negaranya di tanah tersebut. Ini merupakan awal mula kezaliman yang terjadi di Baitul Maqdis.[5]
Kezaliman yang mereka lakukan, mendapat perhatian dari berbagai ulama, salah satunya adalah Syekh Abdul Halim Mahmud. Beliau, dalam kitab fatwanya, menganggap bahwa bangsa Palestina telah diusir dari rumah mereka dengan tanpa hak oleh bangsa Yahudi. Hal tersebut beliau istinbath dari Al-Qur’an yang berbunyi:
(الحج [٢٢]: ٣٩) اُذِنَ لِلَّذِيۡنَ يُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّهُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَـصۡرِهِمۡ لَـقَدِيۡرُ ۙ
“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka“. (QS. Al-Hajj [22]: 39).
Walhasil, dari beberapa pemaparan tadi, sangat jelas kiranya bahwa tanah tersebut memang milik kaum Muslimin, bukan milik bangsa Yahudi, bahkan sejak zaman Nabi Adam. Wallâhu a‘lam.
Moh. Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Ibnu al-Jauzi, Târîkh Baitul-Maqdis, hlm. 71.
[2] Muhammad Sahil Thaqusy, Târîkhul-Khulafâ’ ar-Râsyidîn al-Futûhât wal-Injâzât as-Siyâsiyyah, hlm. 275.
[3] Fatâwasy-Syabakah al-Islâmiyyah, juz 4, hlm. 315.
[4] Dirâsah Manhâjiyyah fîl-Qadhiyyah al-Filasthîniyyah, hlm. 31.
[5] Ibid, hlm. 34.