Ustaz, saya ingin bertanya. Bolehkah mujadalah sesama muslim? Tolong juga lampirkan dalilnya! Sekian, jazakumullah!
Abdul Aziz, Probolinggo
Mengenai mujadalah sesama orang Islam, boleh-boleh saja, asalkan sesuai porsinya. Hal ini selaras dengan firman Allah yang berbunyi:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِیلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِیلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS. an-Nahl [16]: 125)
Imam al-Ghazali dalam al-Qishthas al-Mustaqim (44) menjelaskan bahwa obyek dakwah dengan hikmah, mauizah, dan mujadalah ada porsinnya masing-masing. Beliau menjelaskan:
وَعُلِمَ أَنَّ المَدْعُوَ الَى اللهِ تَعَالَى بِالْحِكْمَةِ قَوْمٌ، وَبِالْمَوْعِظَةِ قَوْمٌ، وَبِالمُجَادَلَةِ قَوْمٌ
“Telah diketahui bahwa sasaran dakwah menggunakan hikmah ada kaum tertentu, sedangkan dengan mauizah ada kaum tertentu, dan untuk mujadalah hanya untuk kaum tertentu.”
al-Qishthas al-Mustaqim (44)
Cara dakwah tentu harus sesuai dengan porsinya, bila tidak, sebagaimana kata Imam al-Ghazali, akan membahayakan. Layaknya memberi makan anak yang baru lahir dengan daging burung. Beliau mengatakan dalam kitab yang sama:
وَأَنَّ الحِكْمَةَ إِنْ غُدِيَ بِهَا اَهْلُ المَوْعِظَةِ أَضَرَّبِهِمْ، كَمَا يُضِرُّ بِالِّطْفلِ الرَّضِيْعِ التَّغْدِيَةُ بِلَحْمِ الَّطْيرِ
“Bila mennyodorkan hikmah kepada orang yang layak diberi mauizah (bukan hikmah), maka itu akan membahayakan. Layaknya memberi makan anak yang masih menyusu dengan daging burung.”
al-Qishthas al-Mustaqim (44)
Nah, Imam al-Ghazali mentukan porsi dakwah meninjau ragam manusia. Untuk orang awam, cocoknya menggunakan mauizah hasanah. Untuk orang khusus, cukup menggunakan hikmah. Sedangkan bagi para perusuh dan provokator (ahlusy-syaghab) menggunakan mujadalah. Dalam al-Qishthas al-Mustaqim (125), Imam al-Ghazali menyebutkan:
فَاَدْعُوْ هَؤُلَاءِ إِلَى اللِه تَعَالَى بِالمَوْعِظَةِ، كَمَا اَدْعُو أَهْلَ البَصِيْرَةِ بِاْلحِكْمَةِ، وَاَدْعُوا اَهْلَ الشُّغْبِ بِالْمُجَادَلَةِ. وقد جَمَعَ اللهُ تَعَالَى هَذِهِ الثَلَاثَةِ فِيْ اَيَة وَاحِدَةٍ كَمَا تَلوتُهُ أَوَّلًا، وَهُوَ قََوْلُهُ: ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِیلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُۚ
“Saya berdakwah kepada mereka (orang awam) menggunakan mauizah. Saya berdakwah kepada ahlul-bashirah menggunakan hikmah. Saya berdakwah kepada para perusuh menggunakan mujadalah. Ketiga cara ini telah Allah kumpulkan dalam satu ayat sebagaimana telah saya sebutkan di awal, yakni firman Allah: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”
al-Qishthas al-Mustaqim (125)
Alhasil, mujadalah tidak masalah, asalkan sesuai porsinya. Semoga bermanfaat!
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id