Masih membahas mengenai surat resmi pemerintah Kades Panaguan Proppo, Pamekasan, yang pon ketiga berbunyi, “Barang siapa yang melanggar setelah mendaptkan teguran dari Kades maka siap ludes dengan api membara.” Ada netizen yang mengarahkan bahwa pembakaran itu adalah toko/barangnya, bukan orangnya.
Meski merekamengarahkan hal ini pada membakar barang, tentu juga tidak benar. Setidaknya ada dua gambaran yang masuk ke penulis, perihal gambaran pembakaran pruduk Prancis:
Pertama, gambaran pembakaran dari surat resmi pemerintah Kades Panaguan Proppo, Pamekasan tersebut, bila artinya: pemerintah memberi sanksi dengan membakar produk Prancis yang mereka beli. Denda seperti ini tidak banar, lantaran tergolong ta’zir bi akhdzil-mal.
Pada dasarnya, hukuman yang dapat dibenarkan, sebatas pada raga, bukan kepada harta:
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا تَضْعَفُ الْغَرَامَةُ عَلَى أَحَدٍ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا الْعُقُوْبَةُ فِي الْأَبْدَانِ لَا فِي الْأَمْوَالِ
“Imam asy-Syafi’i berkata: hukuman tidak terjadi kepada barang, melainkan sebatas raga, bukan harta.”
Sunanul-Kubra lil-Baihaqi (VIII/279)
Baca Juga: Lima Karakteristik Islam Liberal
Dalam Bughyatul-Musytarsyidin, Sayyid Abdurrahamn al-Masyhur menjelaskan bahwa dalam mazhab Syafi’i denda dengan cara mengambil harta tidak benar. Beliau berkata:
لَا يَجُوْزُ التَّعْزِيْرُ بِأَخْذِ المَالِ عِنْدَنَا
“Tidak boleh denda dengan cara mengambil harta menurut kita (mazhab Syafi’i)”
Dalam mazhab Hambali pun ulama menjelaskan bahwa mentakzir dengan merusak barang itu salah total. Dalam Mathalibu-Ulin-Nuha (VI/224) dijelaskan:
يَحْرُمُ تَعْزِيْرٌ بِأَخْذِ مَالٍ أَوْ إِتْلَافِهِ
“Haram denda dengan cara mengambil harta atau merusaknya”
Ada netizen lain yang mengomentari tulisan saya, seraya meyumbangkan ‘ibarat dari kitab Bahrur-Raiq. Langkapnya sebagaimana berikut:
وَلَمْ يَذْكُرْ مُحَمَّد التَّعْزِيْرَ بِأَخْذِ الْمَالِ وَقَدْ قِيْلَ رُوِيَ عَنْ أَبِيْ يُوْسُفَ أَنَّ التَّعْزِيْرَ مِنَ السُّلْطَانِ بِأَخْذِ الْمَالِ جَائِزٌ كَذَا فِي الظَّهِيْرِيَّةِ وَفِي الْخُلَاصَةِ سَمِعْتُ عَنْ ثِقَةٍ أَنَّ التَّعْزِيْرَ بِأَخْذِ المَالِ إِنْ رَأَى القَاضِي ذَلِكَ أَوِ الوَالِي جَازَ وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ رَجُلٌ لَا يَحْضُرُ الجَمَاعَةَ يَجُوْزُ تَعْزِيْرُهُ بِأَخْذِ المَالِ اهـ
وَأَفَادَ فِي البَزَازِيَّةِ أَنَّ مَعْنَى التَّعْزِيْرِ بِأَخْذِ المَالِ عَلَى القَوْلِ بِهِ إِمْسَاكُ شَيْءٍ مِنْ مَالِهِ عَنْهُ مُدَّةً لِيَنْزَجِرَ ثُمَّ يُعِيْدُهُ الحَاكِمُ إِلَيْهِ لَا أَنْ يَأْخُذَهُ الحَاكِمُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَيْتِ المَالِ كَمَا يَتَوَهَّمُهُ الظَلَمَةُ إِذْ لَا يَجُوْزُ لِأَحَدٍ مِنَ المُسْلِمِيْنَ أَخْذُ مَالِ أَحَدٍ بِغَيْرِ سَبَبٍ شَرْعِيٍّ وَفِي المُجْتَبَى لَمْ يَذْكُرْ كَيْفِيَةَ الأَخْذِ وَأَرَى أَنْ يَأْخُذَهَا فَيُمْسِكَهَا فَإِنْ أَيِسَ مِنْ تَوْبَتِهِ يُصَرِّفُهَا إِلَى مَا يَرَى وَفِي شَرْحِ الآثاَرِ التَّعْزِيْرُ بِاْلمَالِ كَانَ فِي اْبتِدَاءِ الإِسْلَامِ ثُمَّ نُسِخَ . ا هـ
“Imam Muhammad sama-sekali tidak pernah menyebutkan takzir dengan cara mengambil harta. Namun, ada qil dari Imam Abi Yusuf bahwa pemerintah menakzir seseorang dengan cara mengambil harta itu boleh. Tersebut dalam al-Khulasah: saya mendengar dari seseorang yang bisa dipercaya, bahwa takzir dengan cara mengambil harta jika qadhi atau wali berpendangan demikian maka berhukum boleh.
Namun, ada keterangan dalam al-Bazzaziyah bahwa makna dari takzir dengan mengambil harta itu adalah dengan cara: menahan barang hingga jera, lalu mengembalikan kepada pemiliknya. Bukan dengan cara diambil hakim, atau diserahkan ke baitul mal, lantaran tidak boleh umat Islam mengambil harta orang lain dengan tanpa sabab syar’i.
Dalam al-Mujtaba tidak disebutkan cara pengambilan harta, dan shahibul-mujtaba berpandangan bahwa hakim menahan harta, apabila tidak bisa diharapkan tobatnya, maka hartanya ditasarufkan (sesuai maslahat). Dalam Syarhil-Atsar tersebutkan bahwa ta’zir bil-mal ada pada waktu awal peradaban Islam, lalu dinasakh.”
Bahrur-Raiq
Baca Juga: Boleh Boikot, Asal Jangan Mengharamkan!
Alhasil, tidak ada satu pun riwayat yang membenarkan untuk membakar harta orang lain, dengan dasar denda. Paling full, diambil lalu dikembalikan lagi, atau ditasarufkan kepada yang maslahat. Bukan dibakar!
Kedua, ada kasus viral pula, oknum mengatasnamakan boikot produk Prancis dengan cara memborong produk Prancis, lalu membekarnya bersama-sama. Kasus kedua ini sangat janggal, dengan beberapa alasan:
Alasan pertama, terjadi menyiakan harta (idha’atul-mal). Ini perbuatan tercela dalam agama Islam.
Alasan kedua, hal itu malah bertolak belakang dengan tujuan boikot itu sendiri, lantaran oknum itu malah membeli produk Prancis. Seharusnya, atas dasar boikot, menahan untuk tidak membeli produk Prancis, apalagi memborongnya. Malah dengan memborongnya, kita menguntungkan pemilik produk itu sendiri.
Lantas, Bagaimana Boikot yang Benar?
Untuk menyukseskan boikot, seharusnya hati kita tidak tergerak untuk membeli produk Prancis. Itu saja. Tidak sampai mengancam membakar, atau malah memborongnya. Wallahua’lam!
Muhammad ibnu Romli |Annajahsidogiri.id