Di sebagian wilayah Indonesia, maupun berbagai belahan dunia, ada kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat, bahwa apabila burung gagak terbang berputar-putar di atas rumah seseorang, maka membawa pertanda akan adanya kematian. Tak sampai di situ, muncul juga sebuah mitos yang menyebut saat ada gagak yang menyalak atau berisik, maka menandakan dirinya tengah menunjukkan kemampuan dalam mengenali orang yang sedang sekarat.
Kendati demikian, gagak di sejumlah negara justru dikaitkan dengan hal yang lain. Misalnya saja di Inggris yang menganggap burung gagak sebagai perusak tanaman gandum yang ditanam oleh para petani. Lalu ada juga kepercayaan lain terkait burung gagak di wilayah Asia Timur, bahwa burung tersebut justru mampu membawa keberuntungan bagi siapa saja.
Lantas bagaimana kehadiran burung gagak menurut Islam? Perlu di ketahui, bahwa burung gagak merupakan binatang pertama kali yang menyaksikan pembunuhan pertama yang terjadi di dunia. Hal itu dapat kita ketahui dari kisah Qabil dan Habil yang merupakan putra dari Nabi Adam.
Baca Juga; Allah adalah Dewa Bulan?
Dikisahkan karena sebuah alasan Qabil membunuh saudaranya sendiri yaitu Habil. Setelah melakukan aksinya, Qabil merasa bingung untuk mengurus jasad saudaranya tersebut. Peristiwa tersebut membuat Allah ﷻ memberikan pelajaran melalui burung gagak yang menggali-gali tanah dan menguburkan burung lainnya yang telah mati.
Qabil pun seketika mendapatkan ilham dari kejadian tersebut dan memutuskan untuk segera menguburkan jasad Habil.
فَبَعَثَ اللّٰهُ غُرَابًا يَّبْحَثُ فِى الْاَرْضِ لِيُرِيَهٗ كَيْفَ يُوَارِيْ سَوْءَةَ اَخِيْهِۗ قَالَ يٰوَيْلَتٰٓى اَعَجَزْتُ اَنْ اَكُوْنَ مِثْلَ هٰذَا الْغُرَابِ فَاُوَارِيَ سَوْءَةَ اَخِيْۚ فَاَصْبَحَ مِنَ النّٰدِمِيْنَۛ ٣١
“Kemudian, Allah mengirim seekor burung gagak untuk menggali tanah supaya Dia memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana cara mengubur mayat saudaranya. (Qabil) berkata, ‘Celakalah aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini sehingga aku dapat mengubur mayat saudaraku?’ Maka, jadilah dia termasuk orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah [5]: 13)
Lalu bagaimana hukum mempercayai keyakinan di atas, mengingat bahwa keyakinan tersebut telah berkembang pesat di kalangan masyarakat dahulu dan bahkan sampai sekarang. Menanggapi hal tersebut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan;
وَقَدْ ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي “الْفَتْحِ” أَنَّ التَّشَاؤُمَ بِالْغُرَابِ وَالِاسْتِدْلَالَ بِالْنَّاعِبِ عَلَى الشَّرِّ وَالْخَيْرِ مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبْطَلَ الإِسْلَامُ ذَلِكَ، قَالَ: وَكَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَشَاءَمُونَ بِهِ فَكَانُوا إِذَا نَعَبَ مَرَّتَيْنِ قَالُوا: “آذَنَ بِشَرٍّ” وَإِذَا نَعَبَ ثَلاثًا قَالُوا: “آذَنَ بِخَيْرٍ” فَأَبْطَلَ الإِسْلَامُ ذَلِكَ وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِذَا سَمِعَ الْغُرَابَ قَالَ: “اللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ.
Dan telah disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari bahwa rasa pesimis terhadap burung gagak dan menjadikannya sebagai tanda keburukan atau kebaikan adalah salah satu amalan zaman Jahiliyah, yang mana Islam membatalkannya. Beliau berkata: ‘Orang-orang Jahiliyah biasa merasa pesimis terhadap burung gagak, maka apabila gagak berbunyi dua kali, mereka mengatakan itu adalah pertanda keburukan, dan jika berbunyi tiga kali, mereka mengatakan itu adalah pertanda kebaikan.’ Islam membatalkan hal itu. Dan Ibn Abbas ketika mendengar suara gagak, beliau berdoa: ‘Ya Allah, tidak ada burung di dunia ini kecuali ciptaan-Mu, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau.[1]
Mitos semacam itu sebenarnya juga pernah terjadi pada masa khilafah Umar Al-Khattab, lebih tepatnya pada kisah sungai Nil yang meminta tumbal. Saat setelah Mesir ditaklukkan oleh Amr bin Al-Ash, ia ditemui oleh para penduduk pada saat memasuki bulan Ba’unah (bulan sebangsa qibtiyah). Mereka datang untuk menceritakan tradisi turun temurun yang dilakukan pada setiap malam ke-12 bulan itu.
Penduduk Mesir berkata, “Wahai Amir (pemimpin), sesungguhnya kami memiliki tradisi berkaitan dengan sungai, dan sungai ini tidak akan mengalir kecuali dengan (menjalankan) tradisi itu.” Amr bin al-Ash sang Gubernur Mesir bertanya kepada mereka, “Tradisi apakah itu?” Penduduk Mesir menjawab, “Apabila telah berlalu 12 malam dari bulan ini, kami mengambil gadis perawan dari kedua orang tuanya baik secara terpaksa ataupun tidak. Kami mempercantik gadis perawan itu dengan perhiasan dan pakaian yang terbaik, lalu melemparkannya ke Sungai Nil sehingga air sungai pun kembali mengalir.”
Baca Juga; Sekte Al-Azāriqah: Kelompok Paling Intoleran di Kalangan Khawarij
Amr bin al-Ash berkata, “Perbuatan itu tidak diperbolehkan dalam Islam, dan sesungguhnya Islam datang untuk meruntuhkan ajaran yang ada sebelumnya.”
Hari berganti dan bulan berlalu, namun Sungai Nil tidak kunjung mengalir bahkan menyusut drastis sejak bulan Ba’unah. Pada bulan Abib dan Masra (bulan sebangsa Qibtiyah) tepatnya pada bulan ke-10, 11 dan 12, penduduk Mesir pun bersiap-siap untuk mengungsi meninggalkan Mesir mencari mata air dan kehidupan baru. Mengetahui hal itu, Amr bin Al-Ash menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khattab melaporkan hal tersebut.
Menanggapi persoalan itu, dalam suratnya Khalifah Umar menyatakan bahwa keputusan dari Amr bin Al-Ash sudah benar. “Kebijakan yang telah engkau ambil sudah tepat karena Islam meruntuhkan apa yang ada sebelumnya. Di dalam surat ini aku sertakan sebuah kartu untuk engkau lemparkan ke Sungai Nil,” demikian sebagian isi surat Umar.
Amr bin Al-Ash pun membuka kartu yang di dalamnya tertulis. “Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Sungai Nil Mesir amma ba’du. Jika memang engkau mengalir karena keinginanmu sendiri, maka tidak perlu kau mengalir. Akan tetapi jika engkau mengalir karena perintah Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa, sebab Dia-lah yang membuatmu mengalir maka kami memohon kepada Allah agar membuatmu mengalir,” tulisnya.
Dilemparkanlah kartu itu ke sungai tepat sehari sebelum hari salib. Pada pagi harinya, Allah telah mengalirkan air setinggi 16 hasta (6–7 meter) hanya dalam satu malam. Kisah ini pulalah yang mengakhiri tradisi buruk penumbalan gadis perawan bagi penduduk Mesir.[2] Betapa besar kuasa Allah, air tersebut masih mengaliri Sungai Nil hingga saat ini. Kisah ini sangatlah masyhur, dan bukan diceritakan di kalangan umat Islam saja, akan tetapi juga masyhur di kalangan umat kristen Koptik. Serta kisah ini diceritakan secara turun temurun. Cerita tersebut mengajarkan kepada kita, agar tidak memiliki keragu-raguan kepada Allah ﷻ. Kalau kita berprasangka baik kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan memberikan sesuai apa yang menjadi prasangka hamba-Nya.
Sampai di sini, dapat kita simpulkan bahwa mitos tersebut tidak seharusnya kita percayai, karena hal itu merupakan keyakinan orang-orang jahiliyah, yang mana Islam datang untuk membongkar dan meruntuhkan kepercayaan-kepercayaan semacam itu. Selain itu, kita juga harus meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi adalah bagian dari takdir Ilahi, sebagaimana firman Allahﷻ
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
Moh Khafidz | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 10, Hal 44.
[2] Al–Bidayah Wan Nihayah, Juz 7, Hal 77.































































