Sejarah Wahabi sering menimbulkan kontroversi sejak kemunculannya dalam dunia Islam. Aliran ini berkembang dari dakwah seorang teolog Muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) yang berasal dari Najd, Arab Saudi.
Sejarah mencatat, ajaran Wahabi disebarkan dengan pedang dan pertumpahan darah. Dalam menyebarkan ajarannya, Muhammad bin Abdul Wahhab beraliansi dengan kelompok besar Jazirah Arab yang dipimpin Ibnu Sa’ud untuk membangun kerajaan Saudi Arabia dengan akidah mengkafirkan umat Islam, serta menghalalkan darah dan harta benda kaum muslimin. Sekitar setengah juta umat Islam yang dibunuh oleh oleh pendiri Wahabi dan anak buahnya pada waktu itu.
Baca Juga: Bias Tuduhan Liberal dan Radikal
Hingga saat ini, Wahabi masih getol mengkafirkan umat Islam yang tidak seakidah dengan mereka. Mereka dengan sangat mudahnya mensyirikkan pelaku ziarah kubur, istighatsah, tabaruk dan tawasul. Salah satu dalil yang dibuat justifikasi adalah QS. Yunus: 106 (artinya), “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah.” dan QS. Al-Jin: 18 (artinya) “Maka janganlah kalian berdoa kepada Allah dengan menyertakan seseorang.”
Menurut Wahabi, para penyembah patung di zaman Rasulullah menjalani ritual demikian murni sebagai sarana pendekatan diri kepada tuhan. Mereka tidak meyakini patung bisa menciptakan sesuatu, sebab hanya Allah lah yang mampu melakukannya. Sama seperti orang yang menjadikan ziarah kubur, istighatsah, tabaruk dan tawasul sebagai wasilah untuk bertakarub pada Tuhannya. Dalil mereka adalah QS. az-Zumar: 03 (artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”.
Pernyataan di atas tentu sangat bertolak belakang dengan realita yang ada. Para pelaku ziarah kubur, istighatsah, tabaruk dan tawasul tidaklah sama dengan penyembah berhala, antara keduanya terdapat perbedaan layaknya warna hitam dan putih. Sangat jelas!. Meskipun penyembah berhala meyakini patung tidak kuasa menciptakan sesuatu, namun hati mereka mempercayai jika patung-patung itu berhak disembah dan diagungkan sebagai tuhan.
Berbeda dengan orang yang melakukan ziarah kubur, istighatsah, tabaruk dan tawasul, mereka tidak pernah menyekutukan Allah SWT, sebab dalam hati mereka tidak pernah terbersit jika para Nabi, para wali, atau orang-orang shalih yang dibuat perantara berhak dijadikan tuhan. Justru, mereka yakin seyakin-yakinnya jika semuanya adalah makhluk dan hamba Allah SWT.
Baca Juga: Imamah adalah Kebingungan Syiah
Maka sangat tidak pantas, jika ayat-ayat tersebut dijadikan sebagai dalil larangan ritual tawassul, istighatsah, tabaruk dan ziarah kubur, karena tujuan ritual tersebut adalah berdoa kepada Allah tanpa ada i’tikad atau keyakinan bahwa mutawassal bih (yang ditawasuli) akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya.
Mengenai dalil perihal keabsahan mempraktekkan ritual tersebut, Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan Hadis dari Anas bahwa Sayyidina Umar pernah bertawasul dengan Sayyidina Abbas saat Madinah dilanda paceklik.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Hadis di atas adalah landasan dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Dzawil-Fadhli (orang yang memiliki keutamaan) selain Nabi Muhammad. Dalam hadis tersebut, Sayyidina Umar tidak mungkin bertawassul dengan Sayyidina Abbas jika beliau tidak mempunyai keutamaan.
Di samping itu, dalam cerita Sayyidina Umar di atas menetapkan hukum kebolehan bertawassul dengan Dzawil-Fadhli yang masih hidup. Beliau juga mengisyaratkan kebolehan berwasilah dengan Dzawil-Fadhli yang sudah wafat sebagai mata rantai terkabulnya doa. Dibuktikan dalam teks hadis di atas, beliau berkata, “اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا”.
Baca Juga: Tidak Mau Ziarah Kubur, Ketinggalan Zaman!
Demikian juga dengan praktek ziarah kubur, istighatsah dan tabaruk. Begitu banyak dalil yang menjelaskan kebolehkan praktek ritual tersebut. (Lihat kitab Mafâhim Yajibu An-Tushohhah, karya Abuya Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani)
Selain itu, klaim kafir sekte Wahabi terhadap sesama muslim tersebut sekaligus menjadi bukti akan kesesatan mereka. Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditegaskan bahwa mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i merupakan salah satu ciri-ciri dari aliran sesat. Berikut sepuluh kriteria yang menjadi indikator aliran sesat yang disampaikan MUI dalam penutupan rakernas MUI di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin, Jakarta, Selasa (6/11/2007).
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran.
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran.
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Penulis: Moh. Kanzul Hikam anggota ACS semester II, Redaksi sidogiri.net