Cukup sedih ketika mendengar berita wafatnya ulama di zaman ini. Terlebih ulama tersebut adalah ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang sangat giat belajar, berdakwah dan memberikan pencerahan yang banyak kepada manusia. Kini, yang tersisa adalah dai akhir zaman saja. Dalam kitab Hilyatul-‘Auliya karya Abu Nu’aim al-Ashbihani (III/9), Imam Ayyub RA pernah berkata, “Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafat-nya seorang ulama Ahlusunah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuh-ku”. Sebab ilmu dicabut dari dunia ini melalui wafatnya para ulama. Dengan wafatnya para ulama, berarti Allah SWT mulai mengangkat ilmu dari manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan diwafatkan-nya para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka ditanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.“ (Shahihul-Bukhari I/ 32)
Dan ketika ulama banyak yang wafat, maka akan bermunculan orang-orang bodoh berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat menyesatkan. Orang-orang bodoh itu memang pintar berorasi namun goblok tentang ilmu fikih atau ilmu syariat. Tapi anehnya mereka terus antusias menjadi penceramah, meskipun tanpa belajar ilmu agama terlebih dahulu. Sehingga usai ceramah, yang paling diingat adalah leluconnya bukan nasihatnya yang memang hampir tidak ada. Bukan menjadi tambah lebih takut kepada Allah SWT justru akan lebih berani kepada-Nya. Na’uzubillah min dzalik
Tidak lain sebabnya adalah minim-nya ilmu agama yang mereka miliki. Inilah yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيْرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيْلٍ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيْلٍ سُؤَّالُهُ، كَثِيْرٍ مُعْطُوهُ، الْعَمَلُ فِيْهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ. وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيْلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيْرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيْرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيْلٌ مُعْطُوهُ،الْعِلْمُ فِيْهِ خَيْرٌمِنَ الْعَمَلِ
“Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqaha-nya (ulama) banyak dan penceramah-nya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulama-nya sedikit dan penceramah-nya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (Mu’jamut-Thabrani III/ 341[T1] )
Baca juga: Meneliti Ahli Orasi Namun Goblok Syariat
Ketika kita merenungi kembali hadis ini. Biasanya, ketika ada dai akhir zaman yang bodoh tentang ilmu agama, ia akan mendiskriminasi ulama yang memiliki ilmu agama lebih banyak dari-nya. Tidak lain tujuan-nya adalah agar masyarakat lebih bersimpati kepada-nya dan agar masyarakat mencela ulama yang lebih mumpuni dalam ilmu agama. Padahal termasuk tanda-tanda kiamat adalah dimuliakan-nya orang-orang buruk dan dihinakan-nya para ulama saleh. Sebagaimana keterangan hadis berikut ini:
مِنْ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ تُرْفَعَ الأَشْرَارُ وَ تُوْضَعَ الأَخْيَارُ
“Di antara (tanda) dekat-nya hari kiamat adalah dimuliakan-nya orang-orang yang buruk, dihinakan-nya orang-orang yang terpilih (shalih).” (Kanzul-‘Ummal XVI/286).
Maka dari itu, ketika kita akan mendengarkan ceramah. Dengarkan-lah ceramah dari penceramah yang memiliki ilmu agama yang banyak dan mumpuni. Telusuri dulu latar belakang pendidikannya. Karena hakikatnya ceramah agama bukanlah soal komedi belaka. Wallahu A’lam.
Penulis: Bagus Zuhdi | Aktivis ACS semester IV