Dekonstruksi bukan sekadar kata yang dapat dengan mudah untuk dipetakan dalam sebuah definisi. Dekonstruksi cenderung menghindari definisi apapun, sehingga sama sekali tidak bisa didefinisikan dan terbuka terhadap berbagai penafsiran. Lebih jauh dekonstruksi bersifat anti teori atau bahkan anti metode.
Baca Juga: Dekonstruksi Syariah Menurut Ummul-Barâhîn
Namun dalam pemahaman umum, kata dekonstruksi biasa diartikan sebagai ‘pembongkaran’ terhadap sesuatu dalam wacana pemikiran, dekonstruksi biasanya digunakan bukan sekadar mengkritik, melainkan sekaligus merombak bahkan mencari kontradiksi-kontradiksi yang berhubungan erat dengan agama dalam bangunan pemikiran tersebut. Namun upaya dekonstruksi tidak selamanya ‘mengagumkan’ karena pada dasarnya setelah melakukan pembogkaran besar-besaran konsep ini membiarkan begitu saja dan tidak memungkinkan untuk dibangun kembali. Hasilnya adalah relativitas makna (kebinguna makna) yang tak berujung.
kami memberikan contoh kecil bentuk dari adanya dekonstruksi dalam teks al-Quran mengenai diferensiasi (proses pembedaan) teks al-Quran; antara qathi dan dzanni yang digeluti oleh kaum liberalis. Mungkin tak perlu menjelaskan secara terperinci tentang tingkatan kualiatas teks yang qathi (valid) dan dzanni (bemakna ganda) yang terdapat dalam al-Quran, sebab penulis menduga para pemikir liberal cukup resourceful (banyak akal). Meskipun, berlaku semena-mena (pura- pura tidak tahu) atau bahkan menafikan persoalan ini, tentu bukan sikap yang terpuji.
Dalam banyak tulisan kaum liberal, seringkali ditemukan upaya mencampurkan isu-isu yang memperoleh dukungan petunjuk al-Quran yang dianggap valid (qathil-wurud) dan nyaris juga valid maknanya (qathil-dilalah) seperti jilbab dan potong tangan, dengan yang dukungan tekstualnya bersifat kontroversial seperti memelihara jenggot, memendekkan celana, bahkan hukum rajam (meskipun hukun rajam sama sekali tak disebut dalam al-Quran) Kenyataannya, keharusan memakai jilbab dalam makna pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan kerudung (khumur) Secara eksplisit diungkap dalam al-Quran, Allah Swt berfirman;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 59)
Baca Juga: Lima Karakteristik Islam Liberal
Namun jika kaum liberal hendak menafsirkan secara lain, tentu diperlukan argumentasi yang valid dan menyakinkan, hal ini sama tidak berdasarnya dengan sebuah pernyataan bahwa yang lebih esensial adalah keharusan untuk memenuhi standar kepantasan umum dalam berpakain (public defency) bahkan, pakar tafsir kenamaan sekaliber Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A pun berpendapat demikian berdasarakan kualifikasi al-Quran sendiri atas ayat jilbab itu, yakni potongan ayat yang berbunyi; إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا “kecuali yang (selayaknya) terlihat dari (aurat itu)” (QS. An-Nur : 13)
Berkaitan dengan hukuman potong tangan pun ulama mempunyai ragam pendapat, mulai penerapan secara ‘boros’ pemotongan telapak tangan, hingga secara reluctant menjadikan pemotongan dua jari sebagai hukuman maksimal bagi tindakan pencurian yang tak memiliki alasan.
Muhlasin Sofiyulloh | Annjahsidogiri.id