Jika Anda ketik di Google kata “Catur Haram”, tentu yang akan muncul di halaman pertama-atau malah hingga beberapa halaman berikutnya- berita beberapa waktu lalu ketika ada seorang tokoh Agama yang diisukan mengharamkan catur, sehingga menuai banyak pro-kontra.
Juga, sempat viral pernyataan tokoh Agama yang seolah menyatakan bahwa “Tak ada dalil dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah ada!” Hal ini lebih menuai pro-kontra.
Padahal jika maksud dari kedua tokoh Agama itu benar-benar dicermati, semua penyimak akan mengangguk-angguk setuju atas pernyataannya. Sebab mereka mengkritik tanpa benar-benar memahami maksud dari si tokoh. Meskipun mereka berdalih dengan nahi-munkar, yang harus disegerakan, tetap tak bisa dibenarkan. Karena ada dua langkah yang harus dilakukan sebelum nahi-munkar. Apa saja itu? Simak dua poin di bawah ini!
Meneliti Kebenaran Berita
Langkah pertama ketika menemukan berita yang menyinggung Agama, hendaknya ditabayun terlebih dahulu. Sebab, besar kemungkinan berita tersebut dibuat untuk mengadu domba antar satu pihak dengan pihak lain.
Setidaknya kita bisa mengambil hikmah dari sebab turunnya ayat 06 surah al-Hujurat. Yakni, ketika Nabi mengutus Walid bin Uqbah untuk memungut zakat dari Bani Mushthaliq. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Walid bin Uqbah merasa takut karena pernah terjadi pertikaian antara kaumnya dan bani Mushthaliq. Akhirnya ia banting setir kembali pada Nabi dan mengatakan bahwa Bani Mushthaliq tidak mau membayar zakat bahkan hendak membunuhnya.
Memahami Permasalahan
Setelah benar-benar jelas kebenaran berita yang ada, maka langkah selanjutnya adalah memahami permasalahan yang terjadi. Sebab jika ternyata permasalahan yang ada masih dalam ranah ijtihad maka tidak perlu dipermasalahkan. (al-Inshâf fî mâ Utsîra Haulahû al-Khilâf)
Misalnya pengikut mazhab Syafii, mereka tidak bisa menyalahkan pendapat mazhab Malik yang menganggap anjing adalah suci. Pun, sebaliknya pengikut mazhab Malik tidak bisa menyalahkan pendapat mazhab Syafii yang menyatakan salat jamaah merupakan fardu kifayah.
Catatan
Perlu dipahami bahwa dalam mencegah kemungkaran, seseorang tidak bisa serta-merta main kritik. Ada beberapa tahapan yang harus dipenuhi dengan runtut. Setidaknya Imam al-Ghazali dalam Ihya’-nya menyebut tahapan-tahapan tersebut menjadi lima bagian.
Pertama, memberi tahu akan kemungkaran dan memberi pemahaman yang benar. Kedua, menasihati dengan lembut. Ketiga, mencela terhadap perilakunya. Keempat, mencegah kemungkaran bagi pihak yang berwajib. Kelima, menakzir dengan hukuman yang membuatnya berhenti mengulangi kemungkaran tersebut.
Ghazali | Annajahsidogiri.id