Sebagaimana sudah maklum, bahwa para pemikir kiri (barisan Muslim liberal dan para mukalid akal Barat) begitu gandrung membedah berbagai aspek nilai dan ajaran Islam dengan metodologi dan sudut pandang asing, terutama sekali dengan memakai teropong perangkat-perangkat filsafat Barat, baik yang bersumber dari Yunani Kuno maupun produk-produk pemikiran Barat Modern. Salah satunya adalah filsafat proses, atau Process Philosophy, yang juga biasa diistilahkan dengan The Philosophy of Becoming (Falsafah ash-Shairūrah).
Baca Juga: Haruskah Kita Perjuangkan Syariat?
Filsafat proses adalah filsafat yang mengatakan bahwa segala sesuatu “selalu menjadi” (becoming / shairūrah). Pengertian “proses” ini mengandung makna adanya perubahan berdasarkan mengalirnya waktu dan kegiatan yang saling berkaitan. Kemudian realitas dipahami bukan sebagai sesuatu yang statis, melainkan terus bergerak dan berubah dalam suatu dinamika pergerakan yang berkelanjutan, tanpa henti. Apa yang Anda lihat sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah dan statis, sebenarnya ia senantiasa bergerak, berubah-ubah, dan dinamis.
Lumrahnya, sumber-sumber konvensional mengatakan bahwa filsafat ini dicetuskan oleh Alfred North Whitehead (15 Februari 1861 Ramsgate, Kent, England – 30 Desember 1947 Cambridge, Massachusetts, USA) seorang guru besar Matematika Trinity College yang selanjutnya menjadi guru besar filsafat di Universitas Harvard. Namun demikian, al-Buthi tidak menyinggung nama Whitehead sama sekali di manapun dari buku-buku beliau. Barangkali beliau menganggap bahwa Whitehead hanya sekadar mempertegas sesuatu yang telah lama ada; bukannya menciptakan suatu teori filsafat tersebut dari ketiadaan.
Alih-alih mengutip Whitehead, al-Buthi menegaskan bahwa ide filsafat proses telah ditemukan dalam banyak pernyataan para filsuf sejak zaman dahulu hingga masa kini. Di antara filsuf yang mula-mula menjelaskan filsafat proses itu adalah filsuf Yunani, Heraclitus (6 SM) yang menggambarkan bahwa segala sesuatu di alam ini larut dalam suatu proses yang tak berkesudahan. Heraclitus berkata: “Kita tidak akan pernah mandi di sungai yang sama dua kali, karena airnya akan senantiasa baru, mengalir di sekitar kita”.
Baca Juga: Syariat dan Hakikat tidak Bisa Dipilah-pilih
Ide dasar dari filsafat proses menurut para filsuf kuno itu adalah, bahwa materi memiliki kekuatan atau energi intrinsik untuk menggerakkan unsur-unsur kecil yang membentuk dirinya. Energi intrinsik di dalam benda itulah yang mereka sebut dengan inti benda.
Kehadiran sains modern semakin mengukuhkan eksistensi filsafat proses ini, di mana para ilmuwan naturalis dalam penelitian-penelitian mereka terhadap materi apapun, pasti menjelaskan bahwa ia tersusun dari himpunan atom, neutron, dan elektron, yang senantiasa berdinamika, bergerak dan berubah-ubah secara terus menerus tanpa berkesudahan.
Lalu bagaimana para penulis liberal membedah berbagai nilai dan konsep dalam Islam dengan menggunakan perangkat filsafat proses ini sebagai medianya? Hal inilah yang akan kita diskusikan pada tulisan berikutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri