Sudah tidak tabu lagi di kalangan Ahlusunah wal Jamaah terutama warga NU, jamak ditemukan orang membaca al-Quran, bersedekah, dan sederet amaliah lain yang pahalanya dihadiahkan pada ahli kubur, atau lebih pasnya hadiah pahala. Sebenarnya bagaimana dengan penghadiahan atau transfer pahala ini. Sampaikah pahalanya pada si mayat? Legalkah praktek ini secara syariah? Ulasan berikut akan menjawab pertanyaan tersebut.
Baca Juga: Mengqada’i Salat Orang Mati
Di kalangan ulama, terjadi silang pendapat mengenai menghadiahkan pahala. Ada yang tidak melegitimasi, dan ada yang melegitimasi tapi dibatasi. Di antara acuan ulama yang tidak melegitimasi amaliah trasfer pahala, adalah QS. an-Najm yang berupa;
وَاَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلَّاَ مَاسَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah dia usahakan.” (QS. An-Najm [53]:39)
Sebab konteks ayat tersebut berkisah syariat Umat terdahulu, akan tetapi argumentasi ini ditolak. Dalam syariat Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, semua dosa memang ditanggung sendiri dan pahala tidak bisa dihadiahkan pada orang lain. Akan tetapi, untuk umat Nabi Muhammad SAW, tidak berlaku demikian. Juga, ayat ini di kalangan ulama Tafsir masih diperbincangkan. baik masalah muatan hukum, atau lain sebagainya.
Baca Juga: Menghadapi Sakratulmaut
Adapun ulama yang melegitimasi amaliah ini, masih membatasinya pada media yang digunakan. Beberapa media seperti doa dan sedekah terbukti ampuh dan pahalanya sampai pada mayat. Imam an-Nawawi dalam komentarnya pada Kitab Shahih Muslim menyatakan, bahwa manfaat doa dan sedekah serta sampainya pahala keduanya pada mayat sudah menjadi konsensus ulama.
Sedangkan ibadah shalat dan puasa, pahalanya tidak bisa dihadiahkan pada mayat. Kecuali mayat memiliki tanggungan saat hidup, maka pihak keluarga atau simpatisan bisa menggantinya (meng Qadha’-nya). Dalam Kitab Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khatib, Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami mengatakan, “Siapapun tidak bisa menghadiahkan pahala salatnya pada orang lain, baik sudah mati atau masih hidup.”
Terkhusus pahala bacaan al-Quran, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dengan mengutip pernyataan Imam an-Nawawi, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Kitab Fathul–Mui’n–nya menyebutkan perbedaan ini. Yang masyhur di kalangan Syafi’iyah, pahala bacaan al-Quran tidak sampai pada mayat. Tetapi menurut sebagian Ashhabusy-Syafi’iyah pahalanya sampai. Di antara yang menyatakan sampai adalah Ibnu shalah, Muhibbuddin at-Thabari, Ali Abi Saad. Para Imam yang hidup jauh setelahnya banyak yang mengunggulkan pendapat ini, seperti Imam al-Ghazali dan Imam as-Subki.
Baca juga: Hukum Selamatan dari harta Tirkah
Akhiran, begitulah sekelumit pembahasan tentang penghadiahan atau transfer pahala pada mayat. Uniknya, ternyata ulama Wahabi juga mengamini amaliah ini. Hal ini seperti yang termaktub dalam Kitab Majmu’ul-Fatawa Li Ibni Taimiyah juz 24 halaman 323 dan Kitab ar-Ruh karya Imam Ibnu Qayyum al-Jauziyyah. Wassalam.
Ulin Nuha|AnnajahSidogiri.id