Indoesia dikenal sebagai negara yang sukses menerapkan kerukunan antar umat beragama, enam pemeluk agama bisa hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan satu negara. Meski Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, namun tidak lantas membuat umat muslim berbuat semena-mena terhadap pemeluk agama lain yang posisinya adalah minoritas bahkan tetap saling menghargai perbedaan yang ada, hal ini membuktikan bahwa muslim di Indonesia sangat menjaga nilai-nilai toleransi. Namun, sering ditemukan sebagian Muslim salah dalam memaknai toleransi. Mereka menganggap toleransi tidak cukup dengan saling menghargai, tapi juga harus ikut berpartisipasi dalam beberapa ritual non-muslim. Nah, apakah yang demikian itu dapat dibenarkan dalam prespektif Ahlusunah wal-Jamaah? Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita simak hasil wawancara A. Sholahuddin Al Ayyubi dariAnnajahsidogiri.id kepada Dr. Kholili Hasib, M.UD, selaku dosen Sejarah Perdaban Islam di IAI Dalwa:
Bagaimana pandangan Islam tentang hidup rukun antara umat beragama?
Mengenai hubungan antara umat Islam dengan non-Muslim sudah banyak dijelaskan dalam al-Quran, hadis, dan kitab-kitab ulama yang kesimpulannya bahwa Islam tidak melarang untuk hidup rukun dengan pemeluk agama lain dengan ketentuan:
Pertama, hidup rukun itu sama dengan konsep toleransi dalam Islam, yaitu boleh apabila tidak sampai mencampuradukkan antara ajaran-ajaran agama.
Kedua, hidup rukun di sini berarti membiarkan pemeluk agama lain untuk melakukan ibadah sesuai dengan ketentuan mereka, bukan membenarkan keyakinannya.
Ketiga, dalam hidup rukun, tidak ada penghormatan terhadap ajaran agama lain, kalau hormat kepada agama lain itu tidak boleh. Islam tidak memperbolehkan takzim kepada simbol-simbol atau ritual agama lain. Itulah batasan dalam bertoleransi. Demikian ini bukan berarti melecehkan, tetapi tidak sampai mengagungkan.
Nah, kesalahan dalam toleransi itu bukan sekedar membiarkan, namun sampai ikut-ikut mengagungkan, kalau sampai mengagungkan itu Sinkretisme yang tidak boleh.
Bagaimana memahami ayat al-Quran maupun hadis yang seakan-akan mendiskriminasi non-Muslim?
Cara pandang Islam itu tidak memandang semua setara bahkan di kalangan umat Islam sendiri, atau yang dikenal dengan istilah hierarki. Dalam Islam sendiri ada yang alim, awam dll. Yang tentunya masing-masing punya hak berbeda yang harus kita penuhi.
Jadi, hierarki itu asasnya adalah keadilan, nah keadilan dalam Islam itu tidak harus setara (fifty–fifty), namun menempat sesuatu sesuai kedudukannya, termasuk umat Islam dengan non-Muslim itu tidak sama kedudukannya. Maka dari itu, sikap berbeda yang diajarkan oleh Islam itu bukan berarti mendiskriminasi pemeluk agama lain. Karena orang islam itu kedudukannya tentu lebih tinggi dari pada yang tidak beriman. Bahkan, dalam Islam sendiri, orang yang ahli ibadah kedudukannya lebih tinggi dari orang yang suka bermaksiat. Dan sikap yang harus kita lakukan harus berbeda, tidak mesti menyetarakan antara dua hal yang berbeda.
Intinya, diskriminasi itu adalah istilah barat yang digunakan secara tidak tepat dalam hubungan antara Muslim dengan non-Muslim. Muslim dan non-Muslim itu relasinya adalah hierarki, yang asasnya adalah keadilan.
Bagaimana cara mengantisipasi doktrin barat yang sedang berusaha menghancurkan ajaran Islam?
Pemikiran-pemikiran barat itu masuk kedalam dunia Islam melalui penggunaan istilah-istilah baru. Mereka memasukkan nilai-nilai sekularisme, melakukan westernisasi melalui penggunaan istilah baru. Mereka menciptakan istilah baru, namun tidak dijelaskan definisi dan batasan pasti dari istilah tersebut, maka dari itu kenapa orang mudah terpengaruh dengan framing barat, sehingga mudah memvonis radikal, ekstrem, teroris dll. Makanya ada ulama yang sampai menulis kitab Gazwul-Musthalahat (perang istilah) untuk mengantisipasi framing istilah barat.
Untuk menghindari hal tersebut, kita sebagai umat Islam harus mengenal terlebih dahulu definisi dari istilah tersebut. Terkadang kita lebih bangga menngunakan istilah asing yang aromanya lebih ilimyah apalagi di kalangan intelektual dan akademis. Berbeda dengan ulama, seperti dalam ilmu mantiq, istilah-istilah yang digunakan ulama merupakan istilah yang sudah melalui pengkajian yang mendalam. Maka dari itu, kita harus populerkan istilah-istilah ulama itu supaya pemikirannya mudah diterima, kita harus mengembalikan pemikiran ulama salaf dengan cara mengenalkan istilahi-istilah mereka ke khalayak umum.
Seperti yang dikatakan Syed Naquib al-Attas, “pemikiran umat modern itu rusak oleh golongan modernis memalui istilah-istilah baru”. Istilah arab diinggriskan sehingga tidak tepat sesuai yang telah ditetapkan oleh ulama.
Bagaimana pandangan anda mengenai wacana moderasi beragama?
Wacana moderasi ini sudah menjadi proyek. Namun masih lemah dalam aspek pemikiran; belum diketahui dengan jelas bagaimana arti istilah tersebut? Tiba-tiba moderasi beragama langsung diterjemahkan wasatiyah yang merupakan salah satu sifat akidah Ahlusunah, kemudian moderasi beragama itu dimaknai pluralisme; sehingga mengindikasikan orang yang bermoderasi beragama adalah orang yang toleransi secara berlebihan dan mencampuradukkan ajaran agama.
Jadi, moderasi itu tidak identik dengan wasatiyah, yang disebutkan dalam al-Quran sebagai “Ummatan wasathan”. Padahal moderasi itu berasal dari kata “moderat” yang memilik arti banyak, yang di antara artinya adalah liberal. nah, ini yang kita tolak dan tidak sesuai dengan ayat al-Quran. Kalau menggunakan kata “wasatiyah” enak tidak usah diterjemahkan.
Proyek moderasi beragama itu mengandung banyak probelematika pemikiran; pemikiran sekularisme dan pemikiran liberalisme. Dan setelah saya kaji moderasi itu lebih cenderung kepada liberal berbeda dengan wasatiyah yang merupakan kebenaran.
Pesan antum untuk masyarakat dalam menghadapi gejolak perang pemikiran modern?
Peran pondok pesantren itu penting, karena pondok pesantren itu yang menjaga tradisi keilmuan ulama, maka penting kalau pondok pesantren itu kaya Sidogiri, bukan hanya membahas persoalan fikih, tapi juga membahas persoalan akidah, dan memang persoalan yang paling urgen dalam umat ini, adalah persoalan akidah. Dawuhnya Abuya Sayid al-Maliki, “Azimatul muslim itu adalah memperbaiki akhlak dan akidah”.