Modernitas dan perkembangan zaman akan terus melaju tanpa bisa dibendung. Banyak kemanfaatan yang didapat umat manusia, banyak pula nilai-nilai agamis dan akhlak yang digerus olehnya. Semisal, manusia zaman sekarang banyak yang lebih mementingkan dan memusingkan harta daripada mengurus bekal kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Agama sudah tidak diindahkan. Padahal, jika si anak kelak tersesat jalan, orang tualah yang pertama kali akan dituntut pertanggung jawabannya. Rasulullah bersabda,
من ترك ولده جاهلا كان كل ذنب عمله عليه
“Barang siapa membiarkan anaknya dalam keadaan bodoh (tidak mengetahui permasalahan agama), maka setiap dosa anak itu akan ditimpakan pada orang tuanya.” (Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts: 51).
Baca Juga: Pentingnya Generasi Al-Asyariyah
Kewajiban Menanamkan Akidah
Di dalam Islam ada beberapa kewajiban yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Kewajiban itu terkait pendidikan anak mengenai tiga hal, yaitu Akidah, Syariah dan Tasawuf.
Pertama, mengajari akidah; meliputi hal-hal yang berhubungan dengan, a) ‘aqâid 50 (sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya), b) Namanama 25 nabi yang disebutkan di dalam al-Quran, c) Profil singkat Baginda Nabi, meliputi tempat kelahiran beliau, tempat wafat, dan juga tempat.
beliau hijrah. Selain hal-hal tersebut ulama masih khilâf (berbeda pendapat mengenai status wajibnya), termasuk juga hukum mengetahui tahun lahir Baginda Nabi, putra-putri Nabi dan istri-istri Nabi, d) Empat kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya (Taurat, Zabur, Injil dan al-Quran).
Kewajiban yang dibebankan adalah makrifat atau tahu (bukan hafal). Seorang anak bisa dianggap makrifat (tahu) sekiranya ketika dia ditanya, “Kamu tahu Yusuf itu nama siapa?” si anak bisa menjawab dengan yakin, “Nama salah seorang nabi”. Hal itu sudah dianggap cukup di dalam hal makrifat. Jika seorang anak menjelang usia bâligh ditanya, “Di mana Nabi Muhammad dilahirkan?” kemudian dia menjawab, “Tidak tahu”. Maka orang tuanya berdosa, karena tidak mengajari hal yang wajib diketahui oleh anak.
Pentingnya Mengetahui Sifat Dua Puluh
Dua puluh sifat wajib bagi Allah adalah hal yang paling mendasar dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah. Saking pentingnya, dulu, setiap anak kecil diajarkan untuk menghafalnya—dan di sebagian daerah tradisi hafalan ini masih terus berlanjut, WalillâhilHamd—. Hafalan tersebut menjadikan dua puluh sifat wajib itu terus melekat di dalam lubuk hati si anak. Selain tradisi hafalan, ada pula tradisi di sebagian daerah yang sebetulnya sangat penting namun kini sudah mulai tergerus waktu, yaitu pembacaan syair sifat-sifat wajib bagi Allah (Allah wujûd qidam baqâ, mukhâlafatuhu lillhawâditsi’ …) menjelang pelaksanaan shalat fardlu. Hal itu selain sebagai media mengulang hafalan (takrâr) juga sangat penting untuk menyemarakkan syiar Islam di daerah tersebut.
Jika Islam diibaratkan sebuah bangunan, akidah adalah pondasinya. Bangunan akan menjadi kokoh jika pondasinya kokoh. Begitu pun sebaliknya, jika pondasinya rapuh atau bahkan tidak ada, karena sang anak tidak diajari untuk memperkuat pondasi tersebut, maka keislaman si anak juga menjadi rapuh. Dan itu sangat berbahaya. Utamanya di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini. Wallâhul-muwaffiq.
Mustafid Ibnu Khozin | Annajahsidogiri.id