Dengan seabrek alasan, pembenci sahabat Nabi selalu berusaha mengulik kesalahan para sahabat. Berusaha meyakinkan bahwa mereka memang layak untuk dicaci maki. Berbagai cara pun ditempuh termasuk cara-cara kotor, seperti memalsukan sejarah ataupun menebar hadis-hadis palsu.
Beginilah yang terjadi ketika benih kebencian telah mengakar kuat dalam diri seseorang, maka segala sesuatu akan selalu dilihat menggunakan kaca mata kebencian. Sekalipun kebenaran nampak, selama itu pula mereka tidak akan pernah menggubris kebenaran tersebut.
Padahal jelas sekali bahwa dalam Islam perbuatan caci maki merupakan hal terlarang. Jangankan kepada sesama orang Islam, kepada orang non-muslim pun kita juga dilarang melakukannya (Sullam-Taufiq, I/83). Lantas bagaimana kalau yang dicaci adalah sahabat Nabi? Tentu perkara tersebut jauh lebih dilarang, bahkan bisa menyebabkan pelakunya terjerembab pada lubang kekafiran. (al-Ajwibah al-Ghaliyah fi Aqidatil-Firqoh an-Najiyah, Hal. 204).
Menurut Ahlusunah wal-Jamaah sendiri, membenci sahabat merupakan sikap ekstrim. Keberadaanya jelas melabrak aturan al-Qur’an dan hadis yang meniscayakan kita untuk senantiasa mencintai para sahabat Nabi, sosok yang tidak diragukan lagi akan sumbangsihnya terhadap perjuangan Islam.
Tentang hal ini ada banyak sekali alasan yang menjelaskan mengapa kita harus mencintai sahabat, tapi yang jelas dari semua alasan itu, kekuatan cinta akan tetap menjadi pendorong utama mengapa kita harus mencintai mereka. Kenapa demikian? Karena benih-benih cinta itulah yang sejak dulu mewarnai kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya, bukan perilaku caci maki yang dipenuhi rasa kebencian. Hal ini bisa kita lihat dari ikatan cinta yang terbangun indah antara para sahabat dengan Rasulullah. Berikut merupakan beberapa fakta yang mengemukakan hal itu.
Pertama, hadis fari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabatku! Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu di antara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka.” (HR. Muslim). Hadis ini membuktikan bagaimana besarnya kekuatan cinta Rasulullah kepada seluruh sahabatnya.
Kedua, kisah tentang Sayidina Ali yang memuji Sayidina Umar. Ketika sahabat Umar dimandikan dan dikafani, Sayidina Ali masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorang pun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayidina Umar). (Ma’ani al-Akhbar, hlm. 117)
Ketiga, hadis dari Sayidah Aisyah, Sayidina Abu Bakar berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah lebih aku cintai dari pada kerabatku sendiri.” (HR. al-Bukhari).
Ketika kita menyaksikan kenyataan ini, masihkah kita akan sewenang-wenang menebarkan benih kebencian terhadap para sahabat?