Beliau populer dengan sebutan al-Asyari. Nama lengkapnya Ali bin Ismail bin Abil Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa al-Asyari.
Riwayat Ibnu Asakir menyebutkan beliau lahir di kota Basrah pada tahun 260 H. Sedang riwayat Ibnu Khallikan menyatakan al-Asyari lahir pada tahun 170 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam al-Kindy, seorang filsuf Arab yang nasabnya juga bersambung pada Abi Musa al-Asyari, sahabat senior Rasulullah.
Pada umur 10 tahun, al-Asyari berkenalan dengan Abu Ali bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubai (w. 303 H), pemimpin tertinggi sekte Muktzilah di kota basrah ketika itu. Tak lain karena al-Jubai menikahi ibu kandung al-Asyari, setelah ditinggal wafat oleh suaminya.
Al-Asyari kemudian belajar dan menggeluti pemikiran Muktazilah kepada al-Jubai selama 30 tahun, hingga ia menjadi imam besar dikalangan cendekiawan Muktazilah. Bahkan sering menggantikan gurunya dalam berbagai forum perdebatan. Sampai umur 40 tahun, Al-Asyari banyak menulis karya yang membantu dan membesarkan sekte Muktazilah.
Keajaiban yang tidak disangka-sangka terjadi. Suatu saat al-Asyari mengisolasi diri dari hiruk-pikuk manusia selama 15 hari di rumahnya. Kemudian beliau keluar menuju masjid Jami’ Basrah pada hari jum’at, menaiki mimbar dan berteriak-teriak seraya berkata bahwa dirinya telah keluar dari paham Muktazilah dan bertaubat dari keyakinannya terdahulu. Kemudian al-Asyari melepas baju kebesaran Muktazilah yang sedang dipakai dan melemparkannya pada kerumunan orang-orang saat itu.
Menarik untuk dikaji mengenai latar belakang keluarnya Imam al-Asyari dari sekte Muktazilah. Pemicunya, beliau bermimpi Nabi Muhammad sebanyak tiga kali. Dalam mimpinya itu Rasulullah memerintah al-Asyari untuk menolong madzhab yang para pembawa riwayatnya bersambung pada Rasulullah. Pada mimpi kali terakhir, Rasulullah menjanjikan pertolongan dari Allah jika sang imam menyanggupi permintaan tersebut.
Disamping itu, yang mendasari perpindahan al-Asyari adalah beliau sering menemukan kerancuan (musykilat) dalam dirinya—baik yang berpengaruh secara langsung pada lahir maupun batin beliau, saat masih berideologi Muktazilah. Ketika serius berdiskusi dengan al-Jubbai, yang sering ditemukan bukannya solusi tapi malah jalan buntu.
Mengacu pada pendapat yang di-tasheh oleh Ibnu al-‘Asakir dalam karyanya Kidzbil-Muftari fi Akhbaril-Imam Abil-Hasan al-Asyari, Imam al-Asyari wafat pada tahun 324 H dan dikebumikan di kota Baghdad berdekatan dengan makam Imam Ahmad bin Hanbal.
Abdul Hamid/Annajah.co