Diskursus terkait perkara gaib, merupakan salah satu pembahasan yang agak rumit dikaji. Bagaimana tidak, hal gaib adalah suatu yang tidak tampak, tetapi harus diyakini akan keberadaannya. Kita harus meyakini dan memercayai adanya sesuatu yang tak terjangkau oleh panca indera. Percaya bahwa ada entitas di luar dunia inderawi manusia, serta yakin dengan adanya realitas yang tak bisa dicapai oleh daya visual dan daya pikir manusia.
Secara bahasa, perkara gaib diartikan sebagai sesuatu di luar jangkauan inderawi. Sedangkan menurut istilah, yaitu perkara yang diberitakan oleh Allah dan rasul-Nya, berupa perkara yang tak dapat digapai oleh panca indera manusia (Mujmalu Ushuli Ahlis-Sunnah (5/02). Sedangkan definisi perkara gaib versi Syekh Ramadhan al-Buthi ialah segala hal yang tidak dapat diyakini kecuali melalui berita pasti (al-Khabar al-Yaqînî). Keterangan tersebut tertera dalam salah satu kitab fenomenal Syekh al-Buthi yang bertajuk Kubra al-Yakqniyat (hlm. 301).
Baca juga : Bukti Keberadaan Tuhan
Perkara gaib terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fenomena yang terjadi dalam dunia berupa masa yang akan datang dan masa lampau. Kedua, tidak terjadi dalam dunia, alias tidak ada kaitan dengan kehidupan manusia. Bagian yang kedua ini, terklasifikasi menjadi dua. Berupa Kauniyah, seperti berita langit, Arsy, dan Kursi. Juga berupa kejadian-kejadian, seperti hari Kiamat, hari pembangkitan, dan lain sebagainya. (Mujmalu Ushuli Ahlis-Sunnah (5/02).
Tugas kita sebagai orang Islam dalam menyikapi perkara gaib adalah cukup mengimani hal tersebut, tanpa harus meneliti lebih jauh kemudian membuktikan perkara tersebut secara nyata. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 3:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [02]: 03)
Ajaran inilah yang menjadi pembeda antara Ahlusunah Wal jamaah dengan kelompok Ateis. Ateis berasumsi bahwa Tuhan hanyalah hasil buatan manusia belaka. Tatkala manusia sudah kalah menghadapi realitas hidup, berada di posisi terpuruk, dan tidak ada lagi harapan melanjutkan hidup, di saat itulah manusia menciptakan Tuhan sebagai tempat bersandar. Tidak hanya itu, ternyata Ateis juga mengatakan bahwa surga dan neraka hanyalah sebuah mitos. Dengan kata lain, surga adalah ajaran penghibur dan penyemangat agar manusia giat dalam beribadah. Sebaliknya, neraka diasumsikan sebagai alat untuk menakut-nakuti umat manusia agar tidak berbuat seenaknya dalam dunia ini.
Walhasil, perkara gaib benar-benar nyata keberadaannya. Kita sebagai insan bertakwa mesti mengimani hal tersebut. Meskipun perkara gaib itu tidak dapat dicapai oleh indera manusia. Karena, sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam Ihya’-nya (4/500), bahwa sejatinya mata kita saja yang tidak pantas memandang sesuatu yang gaib, sehingga kita terhijab untuk menyaksikannya. Mata yang sering dibuat maksiat, tidak pantas melihat Ghaibiyat.
Ismail | Annajahsidogiri.id