Bidah Idzafiyah adalah salah satu amaliah yang dianggap tercela oleh kelompok Wahabi. Amaliah yang dipraktikkan sesuai cara, tempat, dan waktu ini merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh Kaum Ahlussunah wal Jamaah, salah satunya adalah tahlilan. Lantas, bagaimana kita menanggapi pernyataan Wahabi tentang Bidah Idzafiyah tersebut?.
Perdebatan bidah atas suatu amaliah tidak kunjung usai. Entah sampai kapan masalah ini terus mengganjal di antara tumpukan masalah keumatan yang kian menjulang. Hal ini tentu didasari oleh perbedaan metodologi pemahaman bidah yang berbeda.
Amaliah yang diperdebatkan hampir pasti berupa suatu amalan yang sebenarnya disepakati memiliki dalil yang sharih di dalam agama, hanya saja dalil itu bersifat mutlak, tetapi tertentu waktu, cara dan tempatnya. Amaliah yang dalilnya bersifat mutlak namun dipraktikkan dengan cara, tempat atau waktu yang khusus (taqyidul-muthlak) disebut dengan bidah idzahfiyah. Contoh pengkhususan waktu seperti yasinan malam Jumat, pengkhususan cara seperti perayaan maulid Nabi, pengkhususan cara, waktu dan tempat seperti tradisi tahlilan.
Sejak masa dahulu, para ulama berbeda pendapat tentang status bidah idzafiyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa bidah ini adalah bidah tercela. Tokoh utama kubu ini adalah as-Syathibi dan Ibnu Taimiyah yang kemudian diikuti oleh Salafi-Wahabi dewasa ini. Menurut mereka, suatu ibadah yang dianjurkan secara general, maka pengkhususannya membutuhkan dalil khusus. Sedangkan mayoritas ulama dari mazhab empat, utamanya Syafi’iyah, berpandangan bahwa bidah idzafiyah termasuk bidah hasanah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa bidah idzafiyah bukanlah bidah yang diancam dalam hadis-hadis Nabi. Justru para sahabat dan ulama salaf lainnya banyak yang telah mencotohkannya. Contohnya seperti shalat sunah setelah wudhu’ yang dilakukan sahabat Bilal bin Rabah. Ia tidak pernah mendengar Nabi ﷺ menganjurkan shalat sunah khusus setelah wudhu’, tetapi ia melakukannya. Mengetahui itu, Nabi ﷺ tidak melarangnya, malah hal itulah yang membuat Nabi ﷺ bermimpi mendengar suara sandal Bilal di surga. Mengomentari hadis Bilal ini, al-Hafiz Ibnu Hajar berkata:
“Hadis ini menunjukkan bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu khusus dalam ibadah karena Bilal melakukan shalat tersebut berdasarkan ijtihad dan itu dibenarkan oleh Nabi ﷺ.” (Fathul-Bari, III/34)
Meski jumhur ulama memperbolehkannya, bidah idzafiyah tidak lantas dibebaskan secara liar. Ada syarat yang harus terpenuhi, antara lain: (1) Tidak ada dalil khusus yang melarangnya, seperti shalat sunah setelah subuh dan ashar, atau puasa saat hari raya (2) Tidak meyakini bahwa ibadah yang dikemas dengan penentuan khusus tersebut sebagai sunah Nabi yang warid. (Al-Bidah al-Mahmudah wal-Bidah al-Idzafiyah, 87)
Hal yang harus kita garis bawahi di sini, bahwa perbedaan ini adalah bagian dari ijtihad yang legal dalam agama. Bahkan, baik Ibnu Taimiyah maupun as-Syathibi yang menjadi tokoh utama dalam hal ini, terbilang sangat longgar dalam menyikapi bidah idzafiyah. As-Syathibi mengategorikan bidah idzafiyah pada bidah yang makruh. Ibnu Taimiyah berpandagan orang yang mengamalkan bidah idzafiyah ia mendapatkan pahala dari sisi ibadahnya secara umum dan ia diampuni dari sisi penentuan khusus dari ibadahnya bersebab ijtihad atau taklid yang shahih (Iqtidha’us-Shirath al-Mustaqim, I/290). Wallâhu-A’lam bish-Shawwâb.
Bachrul Widad | Annajahsidogiri.id