Ahlussunnah wal-Jamaah merupakan terma yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat, keutuhan, dan kesempurnaan Islam. Artinya, Ahlussunnah wal-Jamaah adalah hakikat dari Islam itu sendiri, sesuai dengan apa yang dibawa oleh Nabi, serta diajarkan dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabat beliau (ma ana ‘alaihi wa ashhabi). Karena itu, Ahlussunnah wal-Jamaah tidaklah setara dengan firkah-firkah yang menyempal dari Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, dan semacamnya. Karena Ahlussunnah wal-Jamaah adalah nama lain dari hakikat Islam itu sendiri, maka bisa dikatakan bahwa firkah-firkah itulah sebenarnya yang menyempal dari Ahlussunnah wal-Jamaah.
Lalu dari sini muncul pertanyaan: jika memang yang mempresentasikan kemurnian dan kesempurnaan ajaran Islam itu adalah Ahlussunnah wal-Jamaah, lalu mengapa secara penamaan kok terwakili oleh kata “Sunnah” dan bukannya oleh “al-Quran”, sehingga memakai nama “Ahlussunnah” dan bukannya “Ahlul-Qu’an”? Bukankah al-Quran itu jelas lebih inti dalam Islam tenimbang sunnah, dan tidakkah al-Quran itu nomor satu sedangkan sunnah hanya nomor dua?
Baca Juga: Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah
Sebenarnya ada banyak sumber yang bisa memberikan penjelasan terhadap pertanyaan atau kejanggalan di atas, mulai dari isyarat yang termaktub dalam sejumlah hadis, pernyataan tegas dari sebagian sahabat terhadap istilah “Ahlussunnah” itu sendiri, dan pernyataan tersirat dari sebagian sahabat yang lain, hingga pernyataan dari para tokoh ulama generasi tabiin dan sesudahnya. Namun, jawaban yang hendak penulis kemukakan di sini adalah: karena “al-Quran” tidak bisa dijadikan sebagai penanda untuk membedakan satu firkah dengan firkah yang lain dalam Islam. Penyebabnya karena masing-masing firkah atau sekte dalam Islam sudah pasti menjadikan al-Quran sebagai landasan utama mereka dalam ber-Islam, dan tak ada satupun firkah dalam Islam yang menyatakan terbebas dari al-Quran. Karena itu, jika golongan yang mempresentasikan keutuhan dan kemurnian ajaran Islam itu memakai nama “Ahlul-Qu’an”, maka kelompok yang lain pun juga Ahlul-Qu’an, dalam arti sama-sama menjadikan al-Quran sebagai pedoman utama dalam beragama.
Nah, kekaburan seperti itu akan terhapuskan manakala yang digunakan untuk menandai golongan yang mempresentasikan keutuhan dan kemurnian ajaran Islam itu adalah kata “sunnah”, sehingga menjadi “Ahlussunnah”. Sebab faktanya, firkah-firkah yang menyempal dari Ahlusunah wal-Jamaah itu rata-rata memiliki masalah dengan sunnah, dan karenanya mereka sendiri tak berani mengklaim sebagai “Ahlussunnah”. Barangkali mengecualikan firkah Wahabiyah (dan soal klaim Wahabi ini perlu kita bahas dalam tulisan tersendiri).
Sebagian dari firkah-firkah itu menolak mentah-mentah kehujahan sunnah dalam agama Islam, dengan alasan karena sunnah itu tidak qath’i, atau karena masih simpangsiur keberadaannya; ada yang sahih, lemah, dan bahkan palsu. Sehingga kelompok ini hanya menjadikan al-Quran sebagai pedoman dalam beragama. Kelompok ini dikenal sebagai golongan Qur’aniyyun, atau munkirus-sunnah. Dari sini jelas, bahwa kelompok ini punya masalah dengan sunnah sehingga mereka tak bisa disebut Ahlussunnah.
Kelompok yang lain melakukan diskualifikasi terhadap sebagian besar mata rantai utama dari sumber sunnah, dalam hal ini adalah para sahabat. Yang satu menolak sunnah yang datangnya dari jalur selain Ahlul-Bait dan segelintir sahabat yang diklaim pro terhadap Ahlul-Bait. Kelompok ini selanjutnya kita kenal sebagai sekte Syiah. Sedang yang lain menolak sunnah yang yang bersumber dari para sahabat yang terlibat konflik dan perang saudara, karena dianggap telah tenggelam dalam dosa, dan itu menyebabkan kekafiran. Selanjutnya kita mengenal kelompok ini sebagai sekte Khawarij. Dengan demikian jelas bahwa dua kelompok tersebut punya masalah dengan sunnah, dan itulah yang menjawab kenapa keberagamaan mereka dalam hampir semua aspeknya tak sama dengan mayoritas umat Islam, yakni Ahlussunnah wal-Jamaah.
Kelompok yang lain lagi tidak ragu menolak sunnah-sunnah yang dianggap bertentangan dengan akal, di samping melakukan takwil terhadap nash-nash al-Quran yang dianggap bertentangan dengan akal. Kelompok ini selanjutnya kita kenal dengan aliran Muktazilah. Sedang kelompok yang lain lagi terjerumus kedalam kubangan serupa karena berusaha memurnikan ajaran Islam dengan cara membuang jauh-jauh hadis yang dinilai lemah (dha’if) lalu melemparkannya ke tong sampah yang sama dengan hadis-hadis palsu (maudhu’), sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Wahabi, yang salah satunya sangat terwakili oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah.
Dari sini tentu sudah terlihat dengan sangat terang benderang, jika sekte Wahabi ini punya masalah dengan sunnah. Mereka menafikan hadis lemah hingga tak boleh diamalkan sama sekali, padahal para ulama dan umat Islam sejak generasi yang paling awal berlomba-lomba mengamalkan amanat yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi, sekalipun nilainya lemah, tentu dengan kriteria dan standard yang telah mereka tetapkan secara metodologis dan ilmiah.
Sejak generasi yang paling awal, tak ada satupun ulama ahli hadis atau lainnya yang menolak keabsahan hadis lemah untuk diamalkan dan diletakkan pada proporsi yang semestinya, hingga asy-Syaukani (w. 1255 H) memunculkan pernyataan yang aneh dalam hal ini, yang selanjutnya dipertegas serta dipraktikkan oleh al-Albani. Padahal, kata Muhammad Zahid al-Kautsari, asy-Syaukani bukanlah pegangan atau rujukan dalam bidang hadis, melainkan dalam bidang ushul fikih. (Lihat, Muhammad Awwamah, Hukmul-‘Amal bil-Hadits adh-Dha‘if; Bain Nazhariilyyah wat-Tathbiq wad-Da‘wa, hlm. 138 dst.).
Intinya adalah bahwa sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlussunnah wal-Jamaah itu memang punya masalah dengan sunnah, sehingga mereka tidak tergolong Ahlussunnah wal-Jamaah, dan karena itu kelompok yang benar yang merepresentasikan kemurnian serta keutuhan ajaran Islam menggunakan nama “Ahlussunah”, sebab faktanya “sunnah” memang benar-benar menjadi faktor pembeda antara kelompok yang benar dan yang menyimpang dalam Islam.
Barangkali itu sebabnya, ketika Sayyidina Ali mengutus Sayyidina Ibnu Abbas untuk berdebat dengan sekte Khawarij, beliau menyarankan agar tidak mendebat mereka dengan al-Quran, melainkan menyarankan agar mendebat mereka dengan hadis, karena sekte-sekte sempalan tak akan bisa menghindar jika dihujahi dengan hadis. Belum lagi kalau kita meninjau sekian banyak hadis yang mengecam kelompok-kelompok yang terfokus hanya pada al-Quran dalam beragama, lalu memisahkannya dari hadis serta metodologi dan pemahaman para ulama. Hadis-hadis dalam bab ini sangat banyak dan umumnya berkaitan dengan peringatan akan bahaya sekte Khawarij dan yang semacamnya.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)