Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah artikel bertajuk “Maulid Nabi” karya Ustaz Yazid Jawaz pada salah satu portal media. Ia mengemukakan 14 alasan mengapa maulid Nabi bidah dan kufur pelakunya. Beberapa poin yang ia cantumkan akan kami bahas berikut. Namun, tidak semuanya, sebab kebanyakan bantahannya dalam poin-poin tersebuat sama sekali tidak berbobot. Lebih banyak yang memakai akal-akalan. Berikut beberapa poin yang perlu pelurusan:
Kesalahan Pertama:
“Peringatan Maulid Nabi adalah bidah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau”
Jawaban:
Ustaz Yazid dengan pede-nya mengatakan bahwa maulid Nabi adalah bidah sebab Nabi tidak pernah mengajarkannya. Tentu ini adalah pemahaman yang kacau. Kalau beliau berpandangan demikian, mestinya baju, kendaran dan beberapa perkara duniawi lainnya yang ia pakai adalah bidah. Sebab Nabi tak pernah memakainya apalagi menyuruh seseorang untuk memakainya.
Perlu penggarisbawahan, bahwa tidak semua sesuatu yang Nabi tinggalkan berhukum bidah yang jelek. Ada bidah yang baik seperti yang Imam al-Baihaqi haturkan dalam kitab Manâqibus-Syâfi’î [1/169] berikut:
اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلاُموْرِ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا مَا أَحْدَثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اَثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَلَالَة وَالثَّانِيْ مَا اَحْدَثَ مِنْ الخَيْر لاَ خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
“Perkara yang baru (muhdasat) terbagi jadi dua hal; Pertama, hal baru yang menyalahi al-Qur’an, hadis, atsar dan ijma maka ini bidah tercela. Kedua, perkara baru yang baik dan tak bertentangan dengan empat hal tadi maka ini bidah yang tidak tercela.”
Syaikh Abdullah al-Ghumari dalam kitab Itqâbus-Shan’ah fî Tahqîqi Ma’nal-Bid’ah [hlm. 9] berujar:
وَكَذَلِكَ تَرْكُ السَّلَفِ لِشَيْءٍ أَيْ عَدَمُ فِعْلِهِمْ لَهُ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَحْظُوْرٌ قَالَ الإِمَامُ الشَافِعِي كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَد مِنْ الشَرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَلَفُ لِأَنَّ تَرْكَهُمْ العَمَلَ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍ قَامَ لَهُمْ فِيْ الوَقْتِ أَوْ لمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوُ لَعَلَّهُ لَمْ يبلغ جَمِيْعهُمْ علم بِهِ
“Begitupula hal-hal yang ulama salaf tinggalkan, bukan berarti merupakan sebuah larangan. Imam Syafii berkata, ‘Setiap hal yang memiliki landasan dalam syarak maka bukanlah bidah, meskipun ulama salaf tidak mengamalkannya. Sebab apa yang mereka tinggalkan bisa jadi karena uzur, ada yang lebih utama atau mungkin pengetahuan terhadap hal yang baru itu belum sampai pada mereka.”
Lantas, apakah maulid Nabi ini memiliki landasan syarak atau tidak? Jelas memiliki landasan syarak. Rasanya saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar landasan syarak tersebut. Telah banyak pembahasan tentang dalil legalitas maulid seperti artikel, “Inilah 11 Ulama Yang Mengomentari Maulid Nabi”, “Komentar Tentang Maulid; dari Imam Suyuti Hingga Ibnu Taimiyah”, dan “Memahami Hukum dan Sejarah Maulid”. Tinggal Ustaz Yazid Jawaz dan kawan-kawan saja yang perlu membacanya.
Kesalahan Kedua:
“Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan yang lalu. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis”
Jawaban:
Ustaz Yazid Jawaz mengatakan bahwa orang yang menciptakan maulid adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah yang berasal dari kalangan Yahudi, Majusi ataupun Atheis. Beliau mengatakan demikian dengan mengutip dalam kitab al-Bidâyah wan-Nihâyah karangan Ibnu Katsir.
Namun ternyata riwayat yang mengatakan bahwa yang menciptakan acara maulid Nabi pertama kali adalah Fathimiyah Ubaidiyah merupakan riwayat buatan. Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab al-I’lâm bi Fatâwâ Aimmatil Islâm Haula Maulidihi ‘Alaihis-Shalatu was-Salam [hlm. 32-33] berkata:
إِنَّ اْلحَافِظَ ابْن كَثِيْر ذَكَرَ فِيْ البِدَايَة وَالنِهَايَة أَنَّ الدَّوْلَةَ الفَاطِمِيَّةَ العُبَيْدِيَّةَ المُنْتَسبَة اِلَى عُبَيْدِ الله بْنِ مَيْمُوْن القَدَاح اليَهُوْدِي وَالتِيْ حَكَمَتْ مِصْرَ مَا بَيْنَ سَنَتَيْ 357 ه – 567 ه اَحْدَثَتْ اِحْتِفَالَاتٌ بِأَيَّامٍ كَثِيْرَةٍ وَمِنْهَا الاِحْتِفًالُ بِمَوْلِدِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم،
“Ibnu Katsir menyebut dalam kitab al-Bidâyah wan-Nihâyah ‘bahwasannya Daulah Fathimiyah al-Ubaidiyah yang penyandarannya pada Ubaidillah bin Maimun al-Qadah al-Yahudi, penguasa Mesir pada tahun 357-567 Hijriah, membuat beberapa perayaan selama berhari-hari, salah satunya adalah perayaan maulid.”
هَذَا مَا نَقَلَهُ عَنْ الحَافِظ ابن كثير
“Inilah yang mereka (orang yang menganggap maulid bermula dari Daulah Fathimiyah al-Ubaidiyah) nukil dari Ibnu Katsir.”
وَحسب المَرْجِع الذِيْ أَشَارُوْا إِلَيْهِ نَقُوْلُ لَهُمْ كَذَّبْتُمْ وَاللهِ!! فَإِنَّنَا وَجَدْنَا مَا ادَعَيْتُمُوْهُ عَلىَ الحَافِظِ وَمَا نَقَلْتُمُوْهُ عَنْهُ هُوَ عَيْنُ اْلكِذْبِ وَاْلإِفْتِرَاءِ وَالتَّدْلِيْسِ وَاْلخِيَانَةِ فِيْ النُّقُوْلِ عَنْ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ وَإِنْ كُنْتُمْ مصرين عَلَى ذَلكَ فَنَقُوْلُ لَكُمْ أَخْرِجُوْهُ لَنَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Saya mengatakan, ‘Demi Allah kalian adalah pendusta’ terhadap orang yang berdalil dengan ucapan yang disandarkan pada Ibnu Katsir tersebut. Sungguh Saya tahu bahwa apa yang kalian nukil dari Ibnu Katsir tersebut adalah sebuah kebohongan, mengada-ada, penggelapan dan pengkhianatan terhadap ulama. Jika memang benar apa yang kalian nukil tersebut maka datangkanlah padaku dengan dalil!”
Jadi jelas riwayat yang mengatakan bahwa yang pertama kali melakukan maulid adalah Daulah Fathimiyah adalah sebuah penggelapan dan penghianatan terhadap Ibnu Katsir. Sebab mereka membuat riwayat palsu dengan mengatasnamakan Ibnu Katsir.
Imam as-Suyuthi, dalam kitab al-Hawi lil-Fatawi [hal. 221] menyebutkan bahwa yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah raja Muzaffar.
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا؟
“Terdapat pertanyaan terkait peringatan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal. Apa hukumnya menurut kacamata syarak? Terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapat pahala atau tidak?”
الْجَوَابُ: عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ – هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
“Jawaban: Menurutku hukum asal perayaan maulid Nabi, yaitu berkumpulnya manusia, membaca al-Qur’an, pembacaan hadis tentang kisah-kisah teladan Nabi dan hal-hal yang berkaitan tentang kelahiran Nabi dalam ayat-ayat al-Qur’an, hidangan yang dimakan bersama lalu setelah itu mereka pulang, (hanya itu yang mereka lakukan) tidak lebih maka merupakan bidah yang baik dan pelakunya mendapat pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan suka-cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.”
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ إِرْبِلَ الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُو سَعِيدٍ كُوكْبُرِي بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ بكْتَكِينَ
“Adapun orang pertama yang melakukan hal itu (perayaan maulid Nabi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya) adalah penguasa Irbil; Raja Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin.”
Lebih-lebih, Raja Muzafar merupakan ulama Ahlusunah wal Jamaah yang berbudi pekerti baik. Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubala’ [1/221] menceritakan profil beliau:
سُلْطَانُ الدِّيْنِ الْمَلِكُ الْمُعَظَّمِ مَظَفَّرِ الدين أَبُوْ سَعِيْدٍ كـُكْبُرِيْ بِنْ عَلِي بِنْ بُكْتِكِيْن بِنْ مُحَمَّدُ التُرْكُمَانِي صَاحِبُ إِرْبِلَ ... وَكَانَ مُتَوَاضِعًا خَيِّرًا سُنِّيَّا يُحِبُّ الفُقَهَاءَ وَالْمُحَدِّثِيْن مَاتَ سَنَةَ ثَلَاثِيْنَ وَسِتِّ مِائَةٍ وَعَاشَ اِثْنَتَيْنِ وَثَمَانِيْنَ سَنَةْ
“Raja Muzafarud-Din Abu Said Kukburi bin Ali bin Buktikin bin Muhammad at-Turkumani, penguasa Irbil… Beliau merupakan seorang yang sangat rendah hati, baik budi, seorang Suni yang mencintai para ahli Fikih dan Hadis. Beliau wafat tahun 630 H di usia 82 tahun.”
Kesalahan Ketiga:
“Yang disyariatkan bagi seorang muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, ‘Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.’ Jadi yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau”
Jawaban:
Ustaz Yazid Jawaz mengatakan bahwa jika memang benar-benar mau merayakan kelahiran beliau maka harus dengan tata cara yang dicontohkan Rasul, yakni berpuasa. Sebenarnya ini merupakan salah satu kesempitan berpikir Ustaz Yazid Jawaz dalam mengungkapkan kegembiraan pada kelahiran Nabi.
Syaikh Muhammad Abdur-Rahman as-Sakhawi Syamsud-Din di dalam kitabnya, Fatâwîs-Sakhâwî fil-Ajwibah al-Mardhiyah berkata:
وَالشُّكْرُ لله تَعَالَى يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ اْلعِبَادَةِ: كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالتِّلَاوَةِ، وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوْزِ هَذَا النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ ذَلِكَ اْليَوْمِ وَعَلَى هَذَا يَنْبَغِيْ اَنْ يَقْتَصِرَ فِيْهِ عَلَى مَا يُفْهَمُ الشُكْرُ لله تَعَالَى مِنْ نَحْوِ مَا ذُكِرَ. أَمَّا مَا يَتْبَعُهُ مِنَ السِّمَاعِ وَالْلَهْوِ وَغَيْرِهِمَا فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقَالَ: مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يُعَيَّنُ السُرُوْرُ بِذَلِكَ اْلَيوْمِ فَلَا بَأْسَ بِإِلْحَاقِهِ وَمَهْمَا كَانَ حَرَامًا اَوْ مَكْرُوْهًا فَيُمْنَعُ وَكَذَا مَا كَانَ خِلَافُ اْلاَوْلَى
“Bersyukur kepada Allah (atas sebuah nikmat) bisa hasil dengan pelbagai macam ibadah seperti sujud, puasa, membaca al-Qur’an. Maka nikmat apa yang lebih agung ketimbang kelahiran Nabi Muhammad hari itu. Dari sini, seyogianya mengambil cukup dengan pelaksanaan semacam itu. Adapun hal-hal yang mengiringi semua pelaksanaan itu seperti nyanyian dan musik maka berhukum tafsil; Jika berhukum mubah sekiranya membuat bahagia dengan datangnya hari itu maka tak masalah penyamaan dalam macam-macam lingkup syukur. Namun apabila haram atau makruh maka harus ada pencegahan ataupun juga yang berhukum khilaf.”
Baca Juga: Membantah Statement Firanda Tentang Maulid
Kesalahan Keempat:
“Perayaan hari kelahiran Nabi merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau, padahal Allah dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw”
Jawaban:
Syaikh Izud-Din dalam kitab al-Adilah asy-Syar’iyah fî Jawâzil-Ihtifâl bi Mîlâdi Khairil-Bariyah [hlm. 54-55] memberi penjelasan terhadap orang-orang yang berkata seperti perkataan Ustaz Yazid Jawaz. Syaikh Izud-Din menjelaskan bahwa perayaan maulid yang tidak diperbolehkan jika sampai memuji Nabi hingga tingkat ketuhanan sebagaimana yang dilakukan umat Nabi Isa kepadanya. Padahal kenyataannya, dalam majmuk-majmuk maulid ada penyebutan sifat kemanusiaan Nabi. Lantas, dari mana pemujian yang sampai menyamakan Nabi pada tingkatan ketuhanan?
Adapun pujian-pujian pada Nabi, sebenarnya sudah banyak para shahabat yang melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Dan Nabi tidak mengingkari pujian mereka itu. Misalnya pujian masyarakat Madinah ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah berikut ini:
طَلَعَ اْلبَدْرُ عَلَيْنَا * مِنْ ثَنِيَّاتِ اْلوَدَاعِ
“Telah datang bulan purnama (Nabi Muhammad) kepada kita”
“Dari arah bukit Tsaniyah al-Wada”
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا * مَا دَعَى لله دَاع
“Wajib bagi kita untuk bersyukur”
“Selagi ada dai yang menyeru karena Allah”
أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا * جِئْتَ بِاْلأَمْرِ المُطَاع
“Wahai yang diutus untuk kami”
“Engkau datang dengan membawa amanat yang suci ”
جِئْتَ شَرَفْتَ اْلمَدِيْنَة * مَرْحَبًا يَا خَيْرَ دَاع
“Kedatanganmu memuliakan Madinah”
“Selamat datang wahai baik-baiknya penyeru”
Kesalahan Kelima dan Keenam:
“Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa roh Nabi Muhammad menghadiri acara-acara maulid yang mereka adakan. Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau”
Jawaban:
Ternyata ucapan Ustaz Yazid Jawaz, jauh-jauh abad telah dibantah oleh Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, an-Ni’mah al-Kubrâ ‘alâ-‘Âlam fî maulidi Sayidi Waladi Âdam [hlm. 64].
اِعْتِقَادُ قُدُوْمِ رُوْحِهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ عَالَمِ اْلاَرْوَاحِ إِلَى عَالَمِ الشَّهَادَةِ وَحُضُوْرِهِ فِيْ المَجَالِسِ اَلَّتِيْ يَذْكُرُ فِيْهَا لَا بَأْسَ بِهِ فِيْ الدِيْنِ وَلَا بُعْدَ فِيْ وُقُوْعِهِ لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم وَإِنْ كَانَ جَسَدُهُ المُقَدَّس فِيْ قَبْرِهِ الكَرِيْمِ بِاْلمَدِيْنَة المُنَوَّرَة لَكِنَّهُ حَيٌّ فِيْ قَبْرِهِ وَرُوْحُهُ المُقَدَّسَة كَالشَّمْسِ المُنِيْرَة لِجَمِيْعِ اْلآفَاقِ مَشَارِقهَا وَمَغَارِبهَا
“Keyakinan terkait datangnya roh Nabi dari alam roh menuju alam syahadah (yang bisa dilihat) dan hadirnya Nabi di majelis-majelis yang namanya disebutkan di sana adalah keyakinan yang diperbolehkan dalam agama dan memungkinkan kebenarannya. Sebab, meskipun jasad Nabi berada dalam kuburan Kota Madinah namun ia hidup di alam kubur. Roh Nabi bagaikan matahari yang menerangi penjuru Timur dan Barat.”
وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ كَثِيْرٍ مِنْ أَهْلِ اْلكَشفِ اِجْتِمَاعُهُمْ بِهِ صلى الله عليه وسلم يَقْظَةً وَأَخْذُهُمْ العُلُوْم وَاْلحِكَم عَنْهُ بِلَا وَاسِطَةٍ مَعَ فَنَاءِ دِيَارِهِمْ فَلَا يَبْعَدُ أَنْ تَحْضُرَ رُوْحُهُ المُقَدَّسَة عَلَيْهِ الصَلَاةُ وَالسَّلَامُ فِيْ كُلِّ مَجْلِسٍ يَذْكُرُ فِيْهِ وَإِنْ كَانَ فِيْ مَوَاضِع كَثِيْرَة وَبُلْدِان مُتَبَاعِدَة وَهُوَ أَمْرٌ مسلم عِنْدَ أَهْلِ الذَّوْقِ الصَحِيْحِ الكِرَامِ
“Sudah menjadi ketetapan dari banyak ahli kasyaf bahwasanya mereka berkumpul dengan Nabi dalam keadaan sadar. Lalu mereka mengambil beberapa ilmu dan hikmah darinya tanpa ada perantara. Maka mungkin saja roh Nabi hadir pada tiap majelis yang menyebutkan namanya, meskipun majelis itu berada pada tempat yang banyak dan dalam beberapa negara yang saling berjauhan. Itu adalah perkara yang benar menurut orang yang punya perasaan yang benar.”
وَيشهد بِصِحَّةِ ذَالِكَ مَا ثَبَتَ فِيْ قِصَّةِ اْلمِعْرَاجِ مِنْ أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اِجْتَمَعَ بِاْلأَنْبيَاءِ فِيْ بَيْتِ اْلمُقَدَّسِ ثُمَّ لما عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَوَاتِ اِجْتَمَعَ بِآدَمَ وَيَحْيَى وَعِيْسَى وَمُوْسَى وَإبْرَاهِيْم وَغَيْرِهِمْ وَمِمَا يقرب ذَلِكَ القَوْل أَنَّ مَلَكِ اْلمَوْت المُوَكِّل لِقَبْضِ اْلأَرْوَاحِ يَتَوَلَّى قَبْضَ أَرْوَاحِ مَنْ يَمُوْتُ فِيْ سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ فِيْ مَشَارَقِ اْلأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا وَشَمَالِهَا وَجَنُوْبِهَا وَهُوَ مَلَكٌ وَاحِدٌ بِنَصِّ قَوْلِهِ تَعَالَى :قُلْ يَتَوَفَىكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِيْ وُكِّلَ بِكُمْ
“Penguat hal itu adalah cerita mikraj Nabi ketika ia berkumpul bersama para Nabi di Baitulmaqdis. Kemudian ketika Nabi Muhammad menuju langit, ia berkumpul dengan Nabi Adam, Nabi Yahya, Isa, Ibrahim dan lain-lainnya. Dan penguat lainnya juga tentang Malaikat Izrail yang mendapat amanah untuk mencabut nyawa sesorang di waktu yang sama dan dari segala arah. Padahal yang melakukan amanah itu hanyalah satu malaikat sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an, ‘Katakanlah, ‘Malaikat Maut yang diserahi untuk mencabut nyawamu akan mematikanmu. Kemudian pada Tuhanmu kamu dikembalikan.”
Penjelasan tersebut merupakan bukti bahwa mungkin saja Nabi hadir ketika pembacaan maulid Nabi. Selanjutnya, Sayid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyati dalam kitab I’ânatuth-Thâlibîn [3/414] menyebutkan tentang kesunahan mahallul-qiyam sebagai penghormatan akan kehadiran Nabi:
فَائِدَةٌ جَرَتْ العَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ يَقُوْمُوْنَ تَعْظِيْمًا وَهَذَا القِيَامُ مُسْتَحْسِنٌ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِنْ عُلَمَاءِ اْلأُمَّةِ الذِيْنَ يَقْتَدِى بِهِمْ
“Telah menjadi kebiasaan manusia ketika mereka mendengan kelahiran Nabi Muhammad, mereka berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Berdiri semacam ini bagus karena mengagungkan Nabi. Banyak ulama yang telah melakukan demikian ini”
Walhasil, itulah semua ulasan ulama yang membantah para anti-maulid. Semoga artikel ini bukan hanya sekadar dalil akan legalitas maulid melainkan juga dalil (bukti) akan kecintaan kita pada Nabi.
Ghazali | AnnajahSidogiri.id