Dalam beragama, kita sering mendengar sebagian kelompok yang menyatakan agar dalam mempelajari ajaran agama, kita tidak perlu bermazhab kepada imam tertentu, karena cukup langsung merujuk pada al-Quran dan sunah. Akhirnya, jargon kembali pada al-Quran dan sunah pun kian gencar mereka orasikan baik dalam pidato keagamaan atau melalui media massa. Sebenarnya, bagaimana yang dimaksud dengan bermazhab dalam beragama? Apakah bersifat wajib atau hanya sebatas anjuran? Dan bagaimana dengan jargon mereka yang selalu mereka orasikan? Berikut adalah wawancara Mohammad Iklil dari Buletin Tauiyah Sidogiri dengan K.H. Muhyiddin Abdus-Somad, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Jember.
Apakah bermazhab merupakan sebuah kewajiban atau hanya sekadar anjuran?
Jika merujuk pada potongan surah al-Anbiya’ ayat ke 07 “Tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”, maka bermazhab merupakan sebuah kewajiban. Adapun orang yang terlepas dari mazhab, yakni mereka-mereka yang enggan bermazhab, maka akan masuk dalam kategori orang yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Karena sesungguhnya bermazhab itu adalah bagaimana menjadikan pemahaman keagamaan kita sama dengan pemahaman keagamaan para salafus-salih. Dan hal demikian secara teori bisa terjamin keotentikan ajaran tersebut jika disampaikan secara tatap muka dari guru ke guru.
Mengapa harus empat mazhab yang diikuti?
Sebenarnya tidak ada batasan empat mazhab. Hanya saja persoalannya, para murid dari empat mazhab tersebut rajin mengumpulkan data, sehingga itulah yang menjadi populer dan diakui keabsahan serta keotentikannya. Oleh karena itu, kitab-kitab Madzâhibul-Arba’ah, khususnya yang berbentuk ensiklopedia seperti Majmû’ Syarhil-Muhadzab, semua pendapatnya diambil sebagai rujukan.
Apa konsekuensi orang yang tidak mau bertaklid?
Ini masalah keyakinan dan keimanan. Dalam pandangan kita, orang-orang yang tidak mau bertaklid bisa dihukumi haram. Karena tidak ada jaminan otensitas makna dan pemahaman dari ajaran tersebut. Dan pada kenyataannya mereka juga bermazhab, artinya merujuk pada yang ahli. Karena sebenarnya bermazhab adalah taklid.
Biasanya orang yang anti mazhab selalu membawa jargon harus kembali pada al-Quran dan sunah, pandangan kiai?
Jargon demikian hanya bagian dari orasi dan narasi saja. Sebenarnya, mereka juga bertaklid yakni meniru produk dari imam yang diikuti, bukan murni dari pendapat pribadi.
Ada statemen bahwa bermazhab merupakan bentuk pengagungan imam mazhab sehingga berpotensi meninggalkan al-Quran dan Sunah?
Itu hanya keluar dari orang yang tidak berilmu dan tidak berdalil. Karena, di mana saja, baik NU, MUI dan Majelis Tarjih, masih menggali hukum melalui pendapat-pendapat para imam mujtahid. Bahkan Muhammadiyah pun dari awal berdiri hingga sekarang –meski pun ada pergeseran- juga melakukan kajian di dalam memutuskan suatu hukum. Meski pun mereka mengaku tidak bermazhab, tetapi pada hakikatnya mereka juga ikut pendapat para imam. Dan hal demikian hanya bentuk kamuflase saja.
Pesan Kiai?
Bermazhab merupakan suatu hal yang menenangkan. Karena yang kita ikuti adalah guru yang biasanya melalui proses tatap muka (manhaj talaqqi). Jadi, ada sanadnya. Dan orang yang mengatakan tidak mau bermazhab menurut saya hanya bentuk narasi saja. Karena pada hakikatnya mereka juga ikut pendapat para imam.
Mohammad Iklil | Annajahsidogiri.id