Mengutus para utusan ke muka bumi adalah hal yang jaiz bagi Allah ﷻ, oleh karena itu, Syekh Ahmad al-Marzuqi meletakkan nazam tentang pengutusan para utusan setelah nazam tentang sifat jaiz bagi Allah ﷻ. Berbeda dengan sekte Muktazilah, mereka memiliki pandangan bahwa Allah wajib berbuat baik dan berbuat yang terbaik (Wujubus-Shalah wal Ashlah), sehingga Muktazilah berkeyakinan Allah ﷻ wajib mengutus para utusan, sebab itu adalah hal yang maslahat bagi umat. Lantas, benarkah pandangan Muktazilah tersebut?
Sahabat #SerialAkidahAwam!, perlu kita ketahui dan imani bersama bahwa Jaiz (boleh) bagi Allah ﷻ untuk menciptakan hal-hal yang bersifat mumkin, sebagaimana Syekh Ibrahim al-Laqqani sebutkan dalam Nazam Jauharatud-tauhīd:
وَجَائِزٌ فِي حَقِّهِ مَا أَمْكَنَا ۞ اِيْجَادًا اِعْدَامًا كَرِزْقِهِ الغِنَى
“Boleh bagi Allah untuk menciptakan atau mentidakan segala Hal yang bersifat mumkin seperti memberi rezeki kekayaan.”
Jika Allah wajib berbuat suatu yang maslahat, tentu hal-hal yang bersifat negatif yang tidak bersifat maslahat tidak akan terjadi. Namun realitanya, banyak bencana dan kejadian yang bersifat negatif terjadi di muka bumi ini[1]. padahal Allah adalah dzat yang Maha Kuasa, apapun yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, mustahil apa yang Allah kehendaki tidak terealisasi.
Ada kisah menarik tentang Syekh Abil-Hasan al-Asy’ari ketika berdialog dengan Al-jubba’i salah satu tokoh sekte Muktazilah. Imam Asy’ari bertanya: ”Apa pendapatmu tentang tiga bersaudara, salah satu mereka mati pada usia dewasa dan dia adalah orang yang taat pada Allah. Yang kedua mati pada usia dewasa dan ia adalah orang yang maksiat. Sedangkan yang ketiga mati pada usia dini.”
Al-jubbai pun menjawab: “Orang pertama mendapat pahala surga, orang kedua disiksa di neraka, sedangkan orang ketiga tidak mendapat pahala dan tidak disiksa.”
Baca Juga; Mengenal Sifat Jaiz Allah
Imam Al-Asy’ari kembali bertanya: “Bagaimana jika orang ketiga mengatakan’ wahai tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku pada usia dini dan tak membiarkanku tumbuh dewasa? sehingga aku bisa melakukan ketaatan padamu kemudian memasuki surga’ apa yang akan tuhan katakan?”
Al-jubbai menjawab: “Tuhan akan menjawab ‘Aku tau jika engkau tumbuh dewasa, maka engkau akan bermaksiat, sehingga engkaupun masuk neraka. Maka yang terbaik untukmu adalah mati pada usia dini.”
Imam Al-Asy’ari kembali bertanya: “Jika orang kedua bertanya pada tuhan ‘wahai tuhan, mengapa engkau tidak mencabut nyawaku pada usia dini? Sehingga aku tidak akan masuk neraka.’ Apa jawaban Allah?”. Maka Al-Jubba’i pun kebingungan.
Jika kita lihat dari bungkus luar, maka pemikiran Mu’tazilah yang berupa “Wajib berbuat baik dan berbuat yang terbaik” adalah hal yang indah. Tapi, pada hakekatnya pemikiran ini adalah pemikiran yang rusak lagi rancu. Sebab, jika Allah wajib berbuat baik dan yang terbaik pada hamba-hambanya niscaya Allah tidak akan menciptakan orang kafir yang miskin, ia disiksa di dunia dengan kemiskinan kemudian disiksa di akhirat dengan siksaan yang pedih tiada habisnya[2].
Allah adalah dzat yang melakukan segala sesuatu atas kehendaknya, jika Allah wajib melakukan atau meninggalkan suatu hal, niscaya Allah bukanlah dzat yang maha berkehendak.[3] Wallahu A’lam bis-Shawâb.
Muh Shobir Khoiri | Annajahsidogiri.id
[1] Imam Muhammad bin Yusuf as-sanusi, Ummul-barâhîn hlm.147
[2] Syekh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfatul-Murîd ‘alâ Jauharatud-Tauhîd, hlm.73
[3] Syekh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfatul-Murîd ‘alâ Jauharatud-Tauhîd, hlm.73