Salah satu fatwa Ibnu Taimiyah yang menjadi diskusi tak kunjung selesai kalangan pemuka agama adalah vonis kafir atau syirik bagi muslim yang berdoa seraya bertawasul kepada nabi atau ulama yang dianggap mulia dan dekat kepada Allah. Dalam masalah tawasul, para ulama fikih telah sepakat atas legalitas praktik tawasul, bahkan menganggapnya sebagai sunah. Selain itu, tawasul merupakan amaliah yang telah ada sejak periode awal Islam, mulai dari zaman Nabi, shahabat, hingga kalangan tabiin.
Baca Juga: 5 Klasifikasi Kesalahan Akidah Imam Ibnu Taimiyah
Imam Taqiyuddin as-Subki dalam Sifa’us-Saqâm berkata, “Ketahuilah, bahwa hukum bertawasul dan meminta tolong kepada Allah melalui Rasulullah SAW adalah boleh dan baik. Boleh dan kebaikan ini termasuk perkara yang telah maklum secara pasti oleh setiap pemeluk agama ini (Islam). Perbuatan ini juga termasuk amaliah nabi, ulama salaf, orang-orang salih dan kaum Muslimin yang masih awam. Tidak ada satu pun yang mengingkarinya dari masa ke masa sampai datang Ibnu Taimiyah. Ia berkata dengan perkataan yang membingungkan orang yang akal dan agamanya masih lemah. Ia menciptakan sebuah pendapat baru yang sebelumnya takpernah ada.”
Adapun salah satu argumentasi Ibnu Taimiyah untuk membenarkan fatwanya adalah surat az-Zumar ayat 3:
اَلَا لِلَّهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهِ اَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَا اِلَى اللهِ زُلْفَى
“Ketahuilah, bahwa agama yang bersih itu milik Allah, dan orang-orang yang mengambil auliya’ (pelindung) selain dari Allah mengatakan: “Kami tidak menyembahnya melainkan untuk mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.”
Dengan ayat tersebut Ibnu Taimiyah menjustifikasikan bahwa orang-orang yang berdoa seraya bertawasul sama dengan orang kafir yang menyembah berhala yang bermaksud untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah memvonis kafir atau syirik kepada Muslim yang berdoa seraya bertawasul.
Baca Juga: Imam al-Maturidi; Perancang Konstruksi Akidah Aswaja
Kalangan Ahlusunah wal Jamaah dengan tegas menolak fatwa Ibnu Taimiyah dan menerangkan bahwa berdoa seraya bertawasul tidak sama dengan orang kafir yang menyembah berhala.
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Mafâhîm Yajibu an Tushahhah menjelaskan bahwa orang Islam yang berdoa seraya bertawasul tidak menyembah kepada para nabi, wali, atau ulama. Melainkan hanya membawa nama-nama mereka ke hadapan Allah, karena mereka merupakan kekasih Allah.
Baca Juga: Allah Bertangan, Benarkah?
Sejurus dengan itu, Imam Syaukani mengatakan, “Ketahuilah bahwa tawasul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi hanya sebagai perantara atas kesalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah. Selain itu kemanfaatan tidaklah datang dari manusia, melainkan dari Allah yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih.”
Dengan demikian, vonis kafir yang diarahakan kepada Muslim yang bertawasul sebagaimana tuduhan Ibnu Taimiyah jelas tidak bisa dibenarkan, sebab dalam bertawasul orang-orang Islam tidak menyembah apa yang dijadikan perantara sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang kafir. Di samping itu, semua Muslim juga meyakini bahwa yang memberi manfaat dan mudarat adalah Allah semata bukan lainnya.
Ahmad Zaini | Annajahsidogiri.id