Dalam sekte pecahan Khawarij, terdapat golongan kecil yang menyangsikan keberadaan surah Yusuf, yaitu Maimuniyyah. Golongan ini menganggap bahwa surah Yusuf bukanlah termasuk daripada Al-Quran disebabkan terdapat kisah cinta yang hal tersebut sangatlah tidak pantas untuk dianggap sebagai Kalāmullāh. Bagaimana kita menaggapi asumsi ini?.
Surah Yusuf bukan al-Qur’an, benarkah?
Perlu diketahui, pada awalnya Maimuniyyah adalah salah satu dari dua pecahan Khawarij yang dianggap telah keluar dari koridor ajaran Islam. Hal ini disampaikan oleh al-Baghdadi dalam karyanya al-Farqu baina al-Firoq [hlm.212]. Golongan ini (Maimuniyyah) telah mengadopsi dua pemikiran sesat yang salah satunya adalah yang kita bahas pada kali ini.[1] Namun, perlu juga diketahui, meskipun kebanyakan ulama seperti al-Baghdadi, as-Syahrastani, al-Ayiji tetap menisbatkan pemahaman tersebut (surah Yusuf bukan Al-Quran) terhadap sekte ini (Maimuniyyah), ternyata al-Imam Abu Hasan al-Asyari tampil berbeda dengan mengatakan, bahwa penisbatan tersebut belum dipastikan kebenarannya.[2]
Maka terdapat beberapa point penting yang kiranya bisa untuk menanggapi asumsi ini, berikut;
- Jika memang mereka menganggap bahwa surah Yusuf bukan bagian dari Al-Quran, berarti mereka telah mentiadakan sebagian sesuatu yang telah dibawa oleh Nabi ﷺ. Yang telah diketahui secara aksiomatis, bahwa orang yang tidak mengimani (mentiadakan) sesuatu yang dibawa oleh Nabi ﷺ maka orang tersebut belum mengimani secara total rukun-rukun Iman yang menjadi penyebab seseorang bisa mendapatkan predikat mukmin sejati. Sebab, salah satu rukun Iman adalah percaya pada kitab-kitab Allah ﷻ yang berarti juga mengimani terhadap sesuatu yang dibawa oleh Nabi ﷺ.
baca juga: Mengenal Mushaf Fatimah
Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Nabi Muhammad ﷻ pernah bercerita kepada sahabat tentang seorang lelaki yang menunggangi seekor sapi. Dalam cerita itu, sapi tersebut memberontak seraya berkata, “Aku tidak diciptakan untuk ini (ditunggangi), akan tetapi untuk membajak sawah”. Kemudian disela-sela tersebut sahabat berkata, “Wahai Rasul, apakah seekor sapi berbicara? Tapi aku mengimani itu, begitu juga Abu Bakar dan Umar”.[3]
Maka lihatlah, dalam masalah sapi yang berbicara saja -yang jelas-jelas tidak masuk akal- sahabat Nabi ﷺ tetap mengimaninya. Sebab, hal tersebut diceritakan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ yang tidak mungkin untuk berbohong. Lalu apa yang menghalangi mereka untuk tidak mengimani surah Yusuf hanya dengan alasan surah tersebut mengandung kisah asmara?
- Saat mereka mengatakan bahwa surah Yusuf bukan tergolong Al-Quran dikarenakan mengandung kisah cinta, berarti mereka tidak memahami al-Quran dengan metode pemahaman mereka sendiri, yang berupa Al-Quran tidak butuh tafsir sebab Kalamullah lebih jelas daripada Kalam Basyar (manusia).[4]
Sebab, jika mereka memahami Al-Quran dengan metode mereka, maka mereka akan mengetahui bahwa Surah Yusuf dari awal surahnya saja, sudah menerangkan bahwa Surah Yusuf adalah sebaik-baiknya kisah (qhasas) yang tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu. Maka, toh meskipun Surah Yusuf adalah kisah cinta, tapi itulah yang dinilai terbaik didalam Al-Quran dengan beberapa hikmah yang akan diterangkan setelah ini.
- pengingkaran golongan ini terhadap surah Yusuf hanya akan menunjukkan betapa bodohnya mereka terhadap hikmah yang terkandung dalam surah yusuf. Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya, Marah Labid [hlm.522] menyebutkan beberapa kandungan hikmah yang bisa dipetik dari surah Yusuf seperti, tidak ada penghalang dari takdir Allah, kedengkian adalah penyebab kehinaan, kesabaran adalah pelenyap kegundahan. Di sisi lain, al-Imam al-Baghawi juga menyebutkan beberapa hikmah tersebut, salah satunya adalah dahsyatnya tipu daya wanita.[5]
Maka bisa disimpulkan, bahwa pengingkaran mereka terhadap surah Yusuf sebab surah tersebut mengandung kisah cinta yang tidak pantas jika dianggap sebagai kalamullah adalah suatu yang absurd dan justru mengada-ada. Sebab, meskipun suatu surah ataupun ayat mengandung perkara yang syubhat maka tugas dan kewajiban orang yang berilmu (Rasikh fi Ilmi) adalah mengimaninya sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. al-Imran [3] (7).
Moch Rizky Febriansyah | AnnajahSidogiri.id
[1] Abu Zahra, Tarikhul-Madzahib al-Islamiyyah, hlm.77
[2] Doctor Ahmad Abu Syabab, al-Khawarij Tarikhuhum Firoquhum wa Aqoiduhum, hlm.256
[3] Syekh Muhammad bin Salim ba-Bashil, Is’adu ar-Rofiq, vol.2, hlm.2
[4] Ahmad Muhammad Jali, Dirasah anil-Firoq fi Tarikhil-Muslimin, hlm.139
[5] Al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil fi at-Tafsiri wa at-Ta’wil, hlm.253