Masjid merupakan salah satu simbol penting dalam peradaban Islam. Al-Quran dan hadis melukiskan betapa mulia dan urgensinya bangunan khas tersebut dalam khazanah Islam. Orang yang membangunnya pun akan mendapatkan pahala luar biasa kelak di surga. Rasulullah bersabda; “Barangsiapa membangun masjid karena Allah, kecil atau besar, maka Allah akan membangunkan rumah baginya di surga” (HR. at-Tirmidzi)
Menurut Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba ’Alawi al-Masyhur, pahala mendapatkan rumah kelak di surga juga dapat diperoleh oleh sekelompok orang yang bergotong-royong saling sumbang-urun dalam membangun masjid (Bughyatul-Mustarsyidîn Hamisy Hasyiyah asy-Syathirî ‘Alal-Bughyah, I/482)
Baca Juga: Membantah Pajangan Foto Kiai di Gereja
Akan tetapi, bagaimana dengan orang yang mengubah bangunan lain menjadi masjid? Dan bagaimana jika semisal bangunan tersebut awalnya berupa gereja (rumah ibadah non-Muslim)? Apakah diperbolehkan oleh syariat sehingga pelakunya bisa meraih pahala yang agung dari Allah? Ataukah justru mendapat murka sebab ia telah zalim dengan merampas hak ibadah non-Muslim? Simaklah kajian berikut;
Hukum Mengubah Bangunan Menjadi Masjid
Mayoritas ulama bersepakat bahwa mengubah suatu bangunan menjadi masjid hukumnya boleh. Di antara ulama yang berpendapat adalah Imam Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Makki al-Haytami (Tuhfahtul-Muhtâj bi Syarhil-Minhâj, VI/251). Bahkan menurut Syaikh Khatib Syarbini, jika ada seseorang memiliki sebuah gedung, kemudian ia berkata; “Aku mengizinkan siapa pun yang ingin beriktikaf di bangunanku ini” maka seketika bangunan tersebut berubah fungsi menjadi masjid, sebab diksi (sighât) yang digunakan adalah ‘Iktikaf’ yang mana diksi tersebut khusus kepada masjid (Mughnîl-Muhtâj, VI/382).
Hukum Mengubah Gereja Menjadi Masjid
Dalam hal ini, para ulama mengetok palu bahwa hukum mengubah gereja, sinagoge, candi, kuil dll. menjadi masjid adalah boleh dan sama sekali bukan perbuatan zalim, sebab dalam kasus ini sama sekali tidak ada unsur ‘penghancuran’ melainkan hanya sebatas ‘mengubah’ fungsi saja. Hal ini berlandaskan redaksi hadis, dari Utsman bin Abul Ash, sesungguhnya Nabi memerintahkannya agar menjadikan suatu tempat yang menjadi sesembahan orang kafir menjadi Masjid Thaif (Sunan Abi Dawud, 1/123).
Menurut Abu at-Tayyib Muhammad Syams al-Haqq bin Amir ‘Ali, hadis tersebut mengindikasikan bolehnya mengubah rumah ibadah non-Muslim menjadi masjid, dengan catatan rumah ibadah non-Muslim tersebut berada di negara kekuasaan orang Islam (sudah ditaklukkan). Hal demikian kerap dilakukan oleh para sahabat setelah menaklukkan banyak negara non-Muslim dengan cara mengubah tempat-tempat peribadatan mereka menjadi masjid-masjid. Cara ini dilegalkan sebagai hukuman dan tekanan kepada orang non-Muslim karena mereka telah beribadah kepada selain Allah (‘Aunul-Ma’bûd II/84).
Kesimpulannya, orang yang ikut andil dalam mendirikan masjid, baik melalui proses membangunnya dengan cara bergotong-royong maupun personal, atau mengubah gereja menjadi masjid sekalipun, semuanya diperbolehkan oleh syariat dan akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Wal-lâhu a’lam.
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id