Belakangan ini, orang-orang liberal mulai memberanikan dirinya untuk melakukan penafsiran pada beberapa ayat al-Quran. Termasuk ayat yang dimaksud adalah kutipan dalam QS. Ali Imran [3]: 19, yaitu “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam”. Kata “islam” dalam ayat tersebut, mereka menafsirkannya dengan makna pasrah. Lalu mereka menyimpulkan bahwa inti daripada “Islam” adalah pasrah. Ringkasnya, semua agama yang di situ mengajarkan kepasrahan, baik itu agama Islam ataupun selainnya, maka agama tersebut diridai di sisi Allahﷻ.
Lantas, bagaimana kita menyikapi pemikiran itu?
Seharusnya, pertama kali yang kita perhatikan dalam mengkaji suatu ayat adalah mengetahui apa penyebab diturunkannya ayat tersebut, yaitu yang sering kita kenal dengan Asbabun-nuzul. Nah, ternyata penyebab diturunkannya ayat ini adalah klaim orang-orang yahudi yang mengatakan tidak ada agama yang lebih utama daripada agama Yahudi, dan pada waktu yang bersamaan pula, orang-orang nasrani juga mengklaim bahwa tidak ada agama yang lebih utama daripada agama Nasrani. Demikian disebutkan dalam kitab Marah-Labid (hal. 117/DKI), karya Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni.
Baca juga: Mewaspadai Paham Pluralisme Agama
Dapat kita ketahui dari asbabun-nuzul tersebut, bahwa ayat ini diturunkan sebagai penolakan atas klaim orang yahudi dan nasrani tadi. Artinya, tidak ada agama yang diridai di sisi Allahﷻ melainkan agama Islam. Maka seharusnya dalam konteks ini, kata “Islam” yang dalam pandangan orang liberal memiliki banyak arti pasrah, adalah bermakna agama Islam bukan bermakna pasrah sebagaimana interpretasi mereka. Dari penyebab turunnya ayat ini saja, dapat kita saksikan betapa kurangnya mereka akan memahami ayat yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membentengi paham sesat mereka.
Kemudian, Al-Imam as-Suyuthi dalam karya tafsirnya, Tafsir al-Jalalain (hal.68/Dar al-Hadis), menafsirkan ayat tersebut dengan “ajaran agama/syariat yang dibawa nabi-nabi yang diutus oleh Allah dalam rangka mengajarkan at-Tauhid (mengesakan Allahﷻ).” Dan tentunya, pemahaman agama itu hanyalah ada dalam agama Islam. Berikut redaksinya;
إنَّ الدِّين﴾ الْمَرَضِيّ ﴿عِنْد اللَّه﴾ هُوَ ﴿الْإِسْلَام﴾ أَيْ الشَّرْع الْمَبْعُوث بِهِ الرُّسُل الْمَبْنِيّ عَلَى التَّوْحِيد
Dalam kitab tafsir Khawâtiru asy-Sya’rawi Haula al-Qur’ân al-Karîm, Syekh Mutawalli as-Sya’rawi menjelaskan bahwa yang membedakan antara agama yang dibawa Nabi Muhammadﷺ dengan nabi-nabi sebelumnya adalah Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammadﷺ tidak hanya sekedar kandungannya saja, yang berupa beriman dan mengesakan Allahﷻ. Akan tetapi, agama tersebut juga menjadi nama atas ajaran agama Islam itu sendiri. Berbeda halnya dengan agama yang diajarkan oleh nabi sebelumnya, yaitu hanya sama dalam kandungan ajarannya saja.
Baca juga: Akidah Islam: Doktrinal atau Ilmiah? (2)
Atapun, jika memang memaksa bahwa arti kata Islam dalam ayat itu adalah pasrah, maka seharusnya pasrah yang benar adalah kita mengakui dengan hati dan lisan sebagai hamba yang patuh pada apa yang Allah ﷻ perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Dan pada ujungnya, kita tidak boleh menyekutukan-Nya dengan cara trinitas atupun yang lain. Maka hal itu adalah yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Sebagaimana yang dijelaskan al-Imam at-Thabari dalam karya tafsirnya Tafsir at-Thabari (hal. 212/juz 3/DKI).
Maka dapat kita saksikan, betapa minimnya pemahaman mereka dalam hakikat makna pasrah yang terkandung dalam kata “al-Islam” dengan pernyataan mereka sendiri, bahwa agama apapun yang mengajarkan pasrah, maka agama tersebut dapat dibenarkan di sisi Allah. Wallahu A’lam.
Moch Rizky Febriansyah|annajahsidogiri.id