Setelah kita memahami tentang hakikat dari Ahlussunah wal Jamaah yang merupakan hakikat, keutuhan, dan kemurnian ajaran Islam itu sendiri, sehingga Ahlussunah wal Jamaah bukan termasuk sekte yang menyempal dari agama Islam, dan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah tidaklah setara atau sejajar dengan sekte-sekte semacam Syiah, Khawarij, Muktazilah, dan seterusnya, yang dengan ungkapan lain bisa dikatakan bahwa Syiah, Khawarij, Muktazilah, dan lain-lain itulah yang menyempal dari Ahlussunnah wal Jamaah, yakni menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Maka setelah memahami hakikat Ahlussunnah wal Jamaah itu, selanjutnya penting bagi kita untuk juga memahami rumusan Ahlussunnah wal Jamaah.
Memang sudah masyhur bahwa rumusan final dari Ahlussunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti Asyairah atau Maturidiyah dalam akidah, mengikuti salah satu Mazhab Empat dalam fikih, dan mengikuti al-Junaid atau al-Ghazali dalam tasawuf. Namun yang hendak penulis diskusikan di sini adalah, bagaimana para ulama bisa sampai pada kesimpulan itu? Apa pemikiran yang melatarbelakanginya, dan apa yang terjadi sebelum rumusan itu final? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab agar umat tidak gagal paham terhadap Ahlussunnah wal Jamaah, karena berpikir bahwa rumusannya justru ‘baru matang’ setelah periode al-Ghazali (abad kelima Hijriah).
Bahwa sebelum nama “Ahlussunnah wal Jamaah” itu ada, pemahaman Islam yang murni lagi sesuai dengan ajaran Nabi dan para sahabat yang diikuti oleh mayoritas umat Islam ini belum ada namanya, dan memang belum memerlukan nama khusus, karena sekte-sekte yang menyimpang baru segelintir saja sehingga sangat mudah dikenali identitasnya. Karena keberadaan sekte sesat baru segelintir, tentu itu tidak membikin umat kebingungan, dan relatif mudah bagi mereka untuk membedakan antara golongan yang haq dan yang batil. Jadi mayoritas ulama umat secara akidah tidak berafiliasi pada nama tertentu, namun mereka berafiliasi pada bidang-bidang keilmuan, seperti ahli fikih, ahli hadis, ahli qira’ah, dan seterusnya. Karena itu tidak heran jika di sebagian sumber dijelaskan, bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jamaah pada mulanya diidentifikasi sebagai fuqaha’ wal-muhadditsun (para ahli fikih dan ahli hadis).
Namun bagaimanapun, sebelum munculnya nama Ahlussunnah wal Jamaah, term yang digunakan untuk mendeskripsikan pemahaman Islam yang diikuti oleh masyoritas umat guna membedakan dengan paham sesat yang diikuti oleh segelintir orang itu, adalah term general semisal “ahlul-haq” atau “kelompok yang benar”. Sedangkan kelompok yang sesat sudah teridentifikasi secara spesifik, dan memiliki nama-nama khusus, berdasarkan bidang kesesatan mereka masing-masing, semisal Khawarij karena menjadi pemberontak, Rafidhah karena mencaci maki sahabat, “Qadariyah” karena sesat di bidang takdir, atau “Mujassimah” karena sesat di bidang tajsim.
Nah, karena itu, jika dirunut dari sisi sejarahnya, identifikasi terhadap “kelompok yang benar” atau “ahlul-haq” (yang nantinya diidentifikasi dengan rumusan tertentu, dan diberi nama Ahlussunnah wal Jamaah) ini tampak bertahap, dalam arti identifikasi terhadap “kelompok yang benar” itu terus berkembang mengikuti perkembangan sekte-sekte yang bermunculan dalam sejarah Islam dari waktu ke waktu. Hal itu bisa dijelaskan seperti ini: pada awalnya, semua umat Islam ada dalam faham yang lurus, murni, dan utuh dalam memahami ajaran Islam. Lalu beberapa waktu kemudian, muncul “pemahaman asing”, di mana segelintir orang berani mancaci maki para sahabat Nabi, yang kelak disebut Syiah. Maka saat itu, ketika ditanya: “kelompok yang benar dari umat Islam ini yang mana?”, jawabannya adalah: “kelompok mayoritas umat Islam, yang menghormati para sahabat Nabi dan tidak mencaci-maki mereka.”
Setelah itu muncul bidah yang baru lagi, yaitu kelompok yang memberontak pada pemerintah, lalu punya keyakinan bahwa orang yang melakukan dosa itu hukumnya kafir dan boleh diperangi. Dengan munculnya kelompok menyimpang yang baru ini, identifikasi terhadap “kelompok yang benar” (yang kelak diberi nama “Ahlussunnah wal Jamaah”) itu jadi bertambah. Sehingga saat itu, ketika ditanya “kelompok yang benar itu yang mana?”, maka jawabannya adalah: “kelompok mayoritas umat Islam, di mana mereka menghormati seluruh sahabat, dan tidak mengkafirkan orang Islam bersebab dosa yang mereka lakukan”.
Kemudian muncul lagi syubhat atau bidah yang baru, yang berpandangan bahwa al-Quran itu makhluk, yang disebut dengan kelompok Muktazilah. Maka, identifikasi terhadap “kelompok yang benar” pun kriterianya semakin bertambah. Sehingga dikatakan: “kelompok yang benar (yang nantinya disebut Ahlussunnah wal Jamaah) adalah kelompok mayoritas umat Islam, di mana mereka menghormati para sahabat, tidak mengkafirkan orang Islam karena suatu dosa, dan tidak berpandangan bahwa al-Quran adalah makhluk”. Begitu seterusnya.
Munculnya Sekte non-mâ anâ ‘alaihi wa ash-hâbî
Bertambahnya paham-paham menyimpang dari sekte-sekte yang terus bermunculan, yang tidak sesuai dengan mâ anâ ‘alaihi wa ash-hâbî (segala apa yang diajarkan dan diterapkan oleh Nabi dan para sahabat), itu semakin menambah daftar paham-paham sesat, di mana paham-paham itu dijadikan sebagai penanda perbedaan sekte-sekte yang muncul dan menyempal dari bangunan besar umat Islam, yang dalam hadis Nabi disebut dengan as-Sawâdul-A’zham (kelompok besar umat Islam), yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Ahlussunnah wal Jamaah.
Karena itu, ketika kita membaca akidah al-Imam al-Asy’ari, atau rumusan al-Imam al-Asy’ari terhadap Ahlussunnah wal Jamaah di dalam kitab al-Ibânah, misalnya, maka yang kita dapati di situ tak lain adalah daftar keyakinan-keyakinan pokok yang menjadi keyakinan seluruh umat Islam, ditambah dengan penyangkalan terhadap paham-paham yang tidak sesuai dengan mâ anâ ‘alaihi wa ash-hâbî (segala apa yang diajarkan dan diterapkan oleh Nabi dan para sahabat). Rumusan itulah yang disebut dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam al-Ibânah, al-Imam al-Asy’ari menegaskan:
وجملة قولنا : أنا نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله بما جاؤوا به من عند الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، لا نرد من ذلك شيئًا ، وأن الله عز وجل إلهٌ واحدٌ لا إله إلا هو فردٌ صمدٌ لم يتخذ صاحبةً ولا ولدًا ، وأن محمدًا عبده ورسوله أرسله بالهدى ودين الحق ، وأن الساعة آتيةٌ لا ريب فيها ، وأن الله يبعث من في القبور ، وأن الله مستوٍ على عرشه كما قال : ” الرحمن على العرش استوى “…
وإنا نؤمن بقضاء الله وقدره خيره وشره حلوه ومره ، ونعلم أن ما أخطأنا لم يكن ليصيبنا وأن ما أصابنا لم يكن ليخطئنا ، وأن العباد لا يملكون لأنفسهم ضرًّا ولا نفعًا إلا بالله كما قال عز وجل ، ونلجئ أمورنا إلى الله ، ونثبت الحاجة والفقر في كل وقتٍ إليه ، ونقول إن كلام الله غير مخلوقٍ ، وأن من قال بخلق القرآن فهو كافرٌ ، وندين بأن الله تعالى يُرى في الآخرة بالأبصار كما يُرى القمر ليلة البدر يراه المؤمنون ، كما جاءت الروايات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم …
وندين بأن لا نكفر أحدًا من القبلة بذنبٍ يرتكبه كالزنى والسرقة وشرب الخمر ، كما دانت بذلك الخوارج وزعمت أنهم كافرون ، ونقول إن من عمل كبيرةً من هذه الكبائر مثل الزنى والسرقة وما أشبههما مستحلا لها غير معتقدٍ لتحريمها كان كافرًا…
Nah, dari sini dapat kita lihat dengan jelas, bukankah poin-poin akidah yang ditetapkan Imam al-Asy’ari di atas merupakan keyakinan seluruh umat Islam, tanpa terkecuali? Percaya pada Allah, malaikat, para utusan, dan segala apa yang datang dari Rasulullah SAW. yang telah dibuktikan validitasnya, keyakinan bahwa Allah itu Esa, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, percaya pada hari kiamat, hari kebangkitan, dan seterusnya. Keyakinan ini adalah keyakinan seluruh umat Islam, dan itulah Ahlussunnah wal Jamaah.
Sedangkan kelompok sempalan yang tidak percaya pada hari kebangkitan (seperti sebagian filsuf), menyerupakan Allah dengan makhluk (seperti Musyabbihah dan Mujassimah), menganggap makhluk punya kehendak dan kekuatan yang yang mandiri (seperti Qadariyah), menganggap al-Quran adalah makhluk (seperti Muktazilah), mengkafirkan orang Islam yang melakukan dosa (seperti Khawarij), mencaci maki para sahabat Nabi (seperti Syiah), adalah poin-poin keyakinan asing yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah, dan karenanya keyakinan-keyakinan itu tidak sama dengan mayoritas umat Islam yang ajarannya lurus, murni, dan utuh sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)