Bāṭiniyyah (bahasa Arab: باطنية), Secara Bahasa ialah suatu hal yang samar atau tersembunyi. dalam Islam, Bāṭiniyyah atau yang lebih kita kenal dengan aliran Kebatinan merupakan nama bagi kelompok yang mempunyai keyakinan bahwa setiap nas zahir memiliki makna batin, dan setiap wahyu yang diturunkan pasti bisa ditakwil. Sayangnya, takwil yang dilakukan kelompok Bāṭiniyyah hanya akan menyebabkan runtuhnya tatanan syariat Islam (ibthalusy-syar’i); mengingkari keberadaan Allah, kenabian, kewajiban beribadah, dan adanya hari kebangkitan. inilah ajaran-ajaran sesat aliran kebatinan.
Untuk merealisasikan ajaran tersebut, kelompok Bāṭiniyyah menerapkan konsep takwil batin. Maksud dari takwil batin adalah tafsir kontraproduktif berdasarkan asumsi dasar bahwa ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis Nabi memiliki arti batin, di samping makna zahir yang sudah semestinya. Mereka juga beranggapan bahwa nas atau teks zahir tidak memiliki arti sebagaimana yang dikehendaki syari` (Allah atau Nabi Muhammad), nas zahir ini hanya sebuah isyarah terhadap makna batin yang mereka kehendaki, makna batin ini selanjutnya diklaim sebagai maksud sebenarnya yang dikendaki oleh syari`.
Dalam aliran Bāṭiniyyah, banyak sekali pemikiran yang menyimpang dari syariat Islam, di antaranya berikut ini:
1.Gugurnya taklif syariat
Aliran Bāṭiniyyah ini mempunyai paham Bāṭiniyyah shufiah yang menganggap gugurnya taklif (kewajiban untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan) bagi mereka yang sudah mencapai tingkatan (maqam) makrifat. Pendapat ini merupakan penyimpangan yang paling berbahaya dalam dunia tasawuf. bahkan, orang yang menyakininya bisa menjadi murtad tanpa disadari. Demikian ini terjadi sebab mereka telah masuk kedalam paham ibahiyah (memperbolehkan semua hal tanpa terkecuali), menolak hukum-hukum syariat, dan menganggap sama antara perkara yang halal dan haram. Para pembesar ulama sufi telah menjelaskan, bahwa dalam kondisi apapun dan bagaimanapun taklif mengerjakan syariat Islam tidak pernah gugur bagi siapapun, baik bagi orang yang sudah berada di tingkatan (maqam) makrifat maupun bagi orang awam.
2.Memisah antara syariat dan hakikat
Jika diteliti lebih dalam, paham “gugurnya taklif syariat” ini muncul karena salah memahami syariat dan hakikat. Imam Ibnu Abidin berpendapat bahwa, “tarekat” adalah perjalanan khusus yang harus dilakukan oleh seorang salik, dengan cara meninggalkan sesuatu yang bersifat duniawi serta mulai menekuni ibadah, dzikir dan hal-hal yang membuatnya semakin dekat dengan Allah, guna mencapai suatu maqam (tingkatan tertentu dalam dunia sufi). Sedangkan “hakikat” adalah kemampuan melihat sifat-sifat Allah menggunakan mata hati.Dengan demikian, syariat dan hakikat memiliki keterkaitan satu sama lain, karena untuk bisa wusul kepada Allah harus melewati dua jalan, yakni syariat dan hakikat, yang mana kandungan dari hakikat sendiri adalah syariat dan tarekat. Adanya syariat, tarekat dan hakikat semata-mata hanya untuk melaksanakan ibadah kepada Allah sesuai dengan tuntutan yang telah diajarkan oleh Nabi.
Sementara Imam al-Ghazali dalam kitab At-Thasawwuf Bainal-Ifrath wa Tafrith berpendapat bahwa, syariat adalah hakikat, begitu juga sebaliknya. Syariat adalah sisi zahir dalam suatu ibadah, sedangkan hakikat adalah sisi batinnya. Pekerjaan batin tidak akan bersebrangan dengan pekerjaan zahir, dan orang yang memisah antara syariat dan hakikat itu dihukumi kafir.
3.Menakwil makna zahir Al-Qur’an
Aliran kebatinan atau Bāṭiniyyah ini kerap kali menakwil makna lahir dari ayat Al-Qur’an, yang bertujuan meniadakan syariat. Misalnya, takwil yang dilakukan mereka pada ayat berikut:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini(ajal). (Q.S Al-Hijr [15]:99)
Dalam ayat diatas, kata “al-yaqin” mereka takwil dengan, “mengetahui makna batin ayat Al-Qur’an”. Dengan demikian, seseorang yang telah mengetahui makna batin yang dimaksud, maka ia sudah tidak lagi memiliki kewajiban beribadah kepada Allah, sebab beribadah kepada Allah, sesuai takwil yang dilakukan oleh aliran Bāṭiniyyah, sebatas sampai memahami “makna batin” dari al-quran. Juga takwil yang mereka lakukan pada ayat berikut:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِه وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan (dari) Allah yang telah Dia sediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik. (Q.S Al-A`râf [7]:32)
لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوٓ ا
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan. (Q.S Al-Mâidah [5]:93)
Dengan menggunakan kedua ayat ini, aliran Kebatinan menghalalkan minuman keras dan perjudian. Kata “zinah” pada surah al-A’raf ayat 32 diatas ditafsiri dengan, “Sesuatu yang dirahasiakan dari wanita dan tidak pernah disentuh kecuali oleh orang-orang tertentu”. Demikian ini, karena dalam menafsiri ayat tersebut, mereka mengacu pada surat an-Nur, ayat34
وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), selaian yang (biasa) terlihat, Kecuali kepada suami-suami mereka. (Q.S An-Nûr [24]:31)
Baca Juga: Imam Ibnu al-Qayim dan Doa Setelah Salat
Sehingga hukum yang disimpulkan dari tafsir batin mereka menyatakan, halalnya hubungan suami istri dengan semua perempuan, meskipun belum dinikahi. Dengan kata lain, hukum melakukan zina bagi penganut aliran Kebatinan adalah halal. Karena paham-paham sesat di atas, ulama memvonis aliran Bāṭiniyyah sebagai aliran sesat dalam islam; Syekh Hasyim ‘Asyari menyebutnya sebagai golongan Ibahiyyah, yaitu golongan yang menghalalkan kewajiban syariah. Syekh Ibnu Taimiyah menilai kekafiran Bāṭiniyyah melampaui Yahudi dan Nasrani. Mereka menampakkan wajah tasyayyu’ dan cinta kepada Ahlul Bait. Hakikatnya mereka tidak beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, dan hari kebangkitan.[1]
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Batiniyah fil-‘Alam al-Islamiy, 423.